Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1.
Waktu istirahat adalah waktu yang sangat dinantikan oleh seluruh murid. Mereka akan langsung menyerbu kantin untuk memenuhi perut mereka yang sudah keroncongan. Belajar itu sangat menguras energi membuat perut lapar. Seperti empat sekawan yang sekarang sedang menikmati makanan yang mereka beli di kantin sekolah.
"Tolong, ambilin sambal!" pinta seorang gadis bernama Riana Anjani atau sering dipanggil Ana.
"Nih, satu sendok aja!" teman lelakinya bernama Erlangga Yudistira atau biasa dipanggil Angga, memberikannya seraya mengingatkannya.
"Iya," balas Ana. Setelah dimasukkan satu sendok sambal ke dalam mangkuk ia mulai menyantap mie ayam favoritnya.
Mereka duduk berdampingan. Tak lama minuman pesanan mereka datang. Ana kemudian mengambilkan segelas ice lemon tea lalu ditaruh di depan Angga.
"Terima kasih," ucap Angga diiringi dengan senyuman manis.
"Sama-sama," balas Ana. Angga tiba-tiba menyeka saos yang belepotan di sekitar bibir Ana dengan jari jempolnya.
"Kebiasaan, makan kayak anak kecil!" Angga lalu mengambil tisu dan membersihkan tangannya. Ana hanya tertawa saja, ia sudah biasa dengan sikap Angga, tidak ada rasa canggung atau baper.
Semua yang dilakukan oleh dua orang berbeda jenis kelamin itu disaksikan oleh Senopati atau biasa dipanggil Seno dan Erlina Mutiara, dipanggil Elin. Mereka duduk di depan Angga dan Ana yang terhalang oleh meja. Mereka berempat adalah sahabat.
Angga, Ana dan Elin satu kelas, Seno berbeda kelas, tetapi kelas mereka bersebelahan. Angga dan Ana bersahabat sejak kecil, rumah mereka berdampingan dan mereka selalu satu sekolah juga satu kelas. Sedangkan Elin dan Seno mereka kenal di awal masuk SMA. Karena suatu kejadian mereka akhirnya bisa dekat dan bersahabat hingga sekarang.
Elin melirik Seno, lelaki itu terlihat mengeratkan rahangnya. Matanya menatap nyalang pada Angga. Namun, hanya beberapa detik saja, setelah itu raut wajahnya berubah tersenyum ceria. "Kalian itu udah kayak orang pacaran aja, yang tidak kenal dengan kalian pasti akan salah paham," sindirnya sambil menyuapkan satu bakso ke dalam mulutnya.
"Iya, ih. Gue kadang suka baper lihat kalian. Udah kalian jadian aja, sih! Cocok banget, couple goals!" tambah Elin.
"Jadian? Nggak mungkin, lah! Kita ini sahabatan. Aneh banget kalau jadi pacar, iya nggak, An?"
"Bener! Kita nggak cocok jadi pacar. Dia bukan tipe gue dan gue bukan tipe Angga. Kita malah kayak kakak-adik."
Angga mengangguk membenarkan pernyataan Ana. Elin kembali melirik Seno yang kini tersenyum lebar. "Iya juga, kalau emang ada rasa udah dari dulu kalian jadian," ucap Seno.
"Kalian kayak baru kenal kita aja," celetuk Ana.
Mereka terus berbincang hal yang random sambil menikmati santapan makan siang hingga bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Mereka langsung pergi ke kelas.
"Guys, gue mau ke toilet dulu sebentar, kalian duluan aja." Ana memisahkan diri hendak ke toilet.
"Gue anter!"
"Bareng gue!"
Angga dan Seno mengucapkan secara bersamaan. Seno berniat mengantar Ana sedangkan Angga ingin ke toilet juga. Mereka saling tatap. Ana melihat mereka bergantian.
"Sen, gue udah gede, nggak perlu diantar. Lo duluan aja ke kelas. Ayo, Ga, cepat, gue udah nggak tahan!"
Ana berlari ke toilet, Angga mengikuti Ana dengan berjalan cepat, langkah kakinya yang panjang membuatnya dengan mudah menyusul Ana. Sebenarnya Angga tidak berniat ke toilet, ia hanya tidak ingin membiarkan Ana pergi sendiri. Ia sudah tahu Ana tidak akan mau diantar karena itu ia bilang kalau ia mau toilet.
Ana sudah masuk ke dalam toilet, Angga juga masuk ke toilet samping toilet perempuan. Ia hanya cuci tangan saja, tak lama ia keluar menunggu Ana di depan pintu toilet. Lima menit menunggu akhirnya Ana keluar. Ia lalu tersenyum pada Angga. "Ayo, nanti kita dihukum Pak Sobari kalau telat masuk kelas."
Ana berlari di lorong sekolah. Angga mengikuti di belakang, ia tersenyum melihat Ana. Hatinya bahagia hanya dengan melihat tingkah sahabatnya tersebut. Gadis itu sangat menggemaskan baginya. Tanpa Ana, harinya akan terasa sepi dan membosankan.
Sampailah mereka di kelas, kebetulan guru belum masuk, selamatlah mereka dari hukuman pak Sobari. Ana duduk di tempatnya, Angga duduk di samping Ana. Di belakang Ana tempat duduk Elin, gadis itu menatap Ana dan Angga.
“An!” Elin memanggil Ana.
Ana menoleh dan tersenyum pada Elin. “Pak Sobari nggak masuk, tapi dia ngasih tugas. Mengerjakan soal halaman 20 sampai 30.” Elin memberi tahu Ana.
“Hah, banyak banget soalnya! Nggak kira-kira tuh guru ngasih tugas.” Ana mengeluarkan buku tulis juga buku paket dan LKS nya.
“Nggak apa-apa yang penting kita kan nggak kena hukuman,” ucap Angga. Ia juga mengeluarkan buku dari tasnya.
“Iya, benar, Alhamdulillah.” Ana tertawa bersama Angga.
Mereka mulai mengerjakan tugas yang diberikan. Kadang terdengar suara ribut di kelas, tetapi mereka mengerjakan soalnya sampai selesai lalu dikumpulkan pada ketua kelas.
“Ana, udah belum? Cepat nanti keburu dikumpulin ke kantor,” ucap Elin.
“Sedikit lagi, aduh tangan gue pegel.”
Tanpa banyak kata Angga merebut pena dari tangan Ana. Ia menggantikan Ana menulis. Gadis itu tersenyum, Angga memang sangat pengertian, sahabatnya itu selalu bertindak tanpa diminta, paling tahu apa yang dibutuhkan oleh Ana, sangat perhatian sekali. Entah bagaimana jika tak ada Angga dalam hidupnya?
***
Hari ini Ana dan Angga tidak ada kegiatan ekskul di sekolah, mereka langsung pulang ke rumah. Angga membonceng Ana di motornya. Selain Ana, Angga tak pernah membonceng siapa pun.
Sampailah mereka di rumah Angga. Ana turun lalu membuka helmnya. “Makasih, Angga. Aku pulang dulu, ya.” Ana berjalan menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Angga.
“Ana!” Seorang wanita memanggil Ana. Mendengar namanya dipanggil Ana menoleh begitu juga Angga.
“Apa, Ma?” tanya Ana pada ibunya Angga. Ia memang memanggil ibunya Angga dengan sebutan mama, atas permintaan ibu Angga sendiri. Saking dekatnya mereka, orang tua Angga sudah menganggap Ana seperti putrinya, pun demikian dengan Angga yang memanggil orang tua Ana dengan ayah-bunda.
“Sini! Bunda sama Ayah sedang pergi. Kamu di sini aja dulu.” Ibunya Angga yang bernama Rita melarang Ana pulang.
“Oh, oke,” jawab Ana. Ia lalu melangkah menghampiri Rita yang menyambutnya dengan senyuman tak lupa mencium tangan Rita.
Angga juga senang, ia lalu menaruh helm di dalam garasi. Angga bergegas ke dalam menyusul dua orang wanita yang paling berarti dalam hidupnya.
“Mama, sudah masak makanan kesukaan kamu. Ayo dimakan, harus habis!” ujar Rita. Ia senang ada Ana. Rumah menjadi lebih hidup jika ada gadis itu, mengingat ia hanya punya anak tunggal membuat rumah sepi. Rita sudah menganggap Ana seperti anak perempuannya sendiri.
“Wah! Terima kasih, Ma. Banyak banget makanannya.” Ana takjub melihat banyak makanan di meja, terlebih semua kesukaannya. Mata cantik itu berbinar menatap semua hidangan yang tersaji, perutnya langsung terasa lapar.
“Wah! Ada acara apa, ini? Makanannya banyak banget!” Angga mengambil satu buah bakwan udang lalu menggigitnya.
“Kebiasaan! Cuci tangan dulu, baru makan, jorok!” Rita menggeplak tangan Angga sambil melotot.
“Iya, Ma. Lupa, abis kelihatannya enak banget!”
“Udah sana, ganti baju dulu terus cuci tangan, ajak Ana sekalian!”
...----------------...