Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Apakah Aku Seorang Pelakor?
Sore itu pemakaman Abah di iringi rintik-rintik hujan yang membuat suasana semakin dramatis di tengah isak tangis Arania yang tiada hentinya. Gadis itu sungguh begitu rapuh dan terpukul dengan kematian Ayahnya. Berkali-kali gadis itu tumbang kemudian tersadarkan kembali dengan sisa-sisa tenaganya yang semakin melemah. Melihat keadaan itu membuat hati Narendra semakin trenyuh dan semakin merasa bersalah pada istri sirinya itu.
Pria itu dengan setia berada di sisi Arania sembari memayungi kepala gadis itu dari rintik hujan seraya memegangi tubuh ringkih itu agar bisa berdiri di sepanjang pemakaman.
"Ikhlas, Arania. Sudah, cukup-cukup." Ucap Rendra pada gadis yang terus menerus menangis di sampingnya, namun seolah tak mendapatkan respon samasekali karena gadis itu sangat terlarut dalam kesedihannya.
Arania yang hancur kemudian bersandar pada dada kokoh suaminya. Tempat satu-satunya yang tersedia untuknya saat ini. Tiada lagi orang lain atau saudara yang Arania punya saat ini selain hanya suaminya. Tanpa adanya Rendra, Arania memang benar-benar sebatang kara.
,,,
Malam harinya di gubuk bambu tempat tinggal Arania dan Abah, tengah dilakukan pengajian untuk mendoakan arwah Almarhum Abah. Namun gadis itu masih saja terpuruk dalam kesedihan. Arania masih mengurung diri dalam kamarnya. Baju gamis serta kerudung hitam yang tadi sore dikenakannya pada saat pemakaman saat ini sudah terlihat lusuh dan lepek namun masih saja melekat pada tubuhnya tanpa adanya daya untuk berganti pakaian bersih lainnya. Wajah dan matanya sembab dan bengkak akibat terus menerus menangis dari siang tadi hingga saat ini.
"Tuan Rendra, kami permisi dulu." Ucap para pelayat setelah selesai mendoakan dalam pengajian itu.
"Saya ucapkan terimakasih pada bapak-bapak semua, telah memberikan doa untuk mertua saya. Semoga.. kebaikan anda semua di balas oleh Allah SWT.." Ucap Rendra yang kini menjadi posisi tuan rumah.
"Aamiin..." Ujar mereka serentak sebelum akhirnya meninggalkan rumah sederhana itu.
Rendra kemudian berjalan menuju kamar Arania. Menyingkap gorden yang terpasang di pintu kemudian melangkah masuk ke tempat tidur Arania. Gadis cantik itu kini telah terlelap setelah seharian ini menangis. Terdapat sisa-sisa air mata yang mengering serta lengket di pipi mulusnya yang sedikit chubby.
Rendra tanpa sadar mengamati dengan lekat wajah istri sirinya yang terlihat sangat muda dengan rasa kekaguman yang membuncah. Dimana gadis ini memang sangat-sangat cantik bahkan dalam kondisi terberatnya sekalipun saat ini. Seketika itu timbul kembali rasa bersalah pada gadis yang berada di hadapannya ini.
Rendra duduk di tepi tempat tidur. Tangan besarnya meraih jemari lentik Arania yang masih pulas. Ia menggenggam serta mengecup punggung tangan gadis itu dengan lembut.
"Maafkan saya. Saya yang menyebabkan penderitaan mu ini, Arania. Jika saja saya tidak lalai dalam berkendara serta lebih hati-hati, mungkin kejadian ini tak pernah terjadi." Ucap Rendra dengan mata yang berkaca-kaca penuh penyesalan di hatinya.
Malam ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, namun karena keadaan yang sedang berduka tidak mungkin mereka melakukan kewajiban layaknya sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pada umumnya. Rendra hanya membacakan doa di kening Arania kemudian mengecupnya dengan lembut sebagai pembuka awal baru babak pernikahan keduanya dengan Arania. Setelahnya, pria gagah itu keluar dari kamar Arania untuk mencari tempat untuk dirinya berbaring di ruang tamu yang kecil itu.
,,,
Pagi harinya, Arania bangun sangat terlambat tidak seperti biasanya yang selalu bangun sebelum matahari terbit. Akan tetapi kali ini entah mengapa kesadarannya tak lagi bisa terkontrol seperti sebelumnya. Mungkin akibat staminanya yang menurun drastis sehingga gadis itu membutuhkan banyak waktu untuk memulihkannya kembali.
"Kepalaku, sstttt..." Ucapnya seraya mendesis kala merasakan sakit di kepalanya. Arania berusaha untuk bangkit dan duduk bersandar di tepian tepat tidurnya.
Pria tampan yang terlihat bersih dan rapih terlihat memasuki kamar Arania sembari membawa semangkuk bubur ayam yang tadi dibelinya.
Sejenak terlupa, gadis itu tiba-tiba seolah terkejut dengan kehadiran sosok pria asing yang baru kemarin dikenalnya. Itupun tanpa memerhatikan lekat wajah pria yang telah mengikrarkan ijab qobul di hadapan jenazah sang Ayah saat itu.
"Apa aku benar-benar telah menikah?" Ujarnya dalam hati. "Dia suamiku?"
Seolah tak percaya saat ini statusnya telah berubah menjadi seorang istri dari seorang laki-laki yang sama sekali belum dikenalnya. Apalagi pria yang telah menikahinya ini benar-benar tampan dan gagah. Hatinya tiba-tiba berdebar-debar dengan degup jantung yang tak beraturan. Ditambah saat ini pria yang telah menjadi suaminya itu berjalan mendekatinya ke sisi tempat tidurnya.
Rendra duduk di tepi tempat tidur dan menghadap Arania. Gadis itu terlihat sangat gugup hingga rasa sakit yang sedang di rasakan di kepalanya menjadi terlupakan.
"Bagaimana keadaanmu, Arania?"
"A-aku ba-baik, Tuan." Jawabannya dengan dada yang dag-dig-dug.
Rendra tersenyum hangat pada Arania, seraya mengulurkan suapan bubur ke mulut istri sirinya. "Makanlah." Ucap Rendra lembut.
Sekilas gadis itu hanya melirik ke arah sendok berisi bubur itu, sebelum akhirnya kepalanya menggeleng. "Aku tidak lapar." Ujarnya lirih.
"Kenapa? Apa kamu tidak suka? Biar nanti saya buatkan sesuatu untuk sarapan mu."
"Bukan begitu, hanya saja aku sedang tidak berselera, Tuan."
"Makanlah sedikit. Kamu harus memiliki tenaga agar tidak lemah. Saya tidak ingin kamu sakit." Ujar Rendra, "Ayo, buka mulut mu!"
Arania mengerjapkan mata lentiknya mendengar perkataan Rendra, perhatiannya mengingatkan kasih sayang Abah dan Emaknya yang kini telah tiada. Arania membuka mulutnya dengan kesedihan yang kembali terjadi saat makanan itu telah masuk ke dalam mulutnya. Matanya tak kuasa menahan buliran lembut air matanya yang kembali mengaliri pipinya.
Rendra yang melihat hal itu merasa iba pada gadis cantik itu, karena telah merenggut kasih sayang dari sang ayah darinya. Rendra kembali membawa tubuh mungil Arania kedalam pelukannya untuk memberikannya ketenangan.
"Maafkan saya, Arania. Saya telah berbuat jahat kepadamu. Kamu boleh meluapkan amarah mu kepada saya karena memang saya yang bertanggungjawab atas semua keadaan mu ini." Ucapnya pada gadis yang kembali menangis tersedu-sedu itu.
Arania menggeleng, "Mungkin ini memang jalanku. Aku harus hidup sendirian seperti ini." Ucapnya di sela isak tangisnya.
"Ssttt.. Sekarang kamu tidak sendirian lagi. Sekarang ada saya bersamamu, Arania."
Arania mengurai pelukannya untuk memberi jarak antara mereka. Dengan mata yang berlinangan gadis itu menatap manik mata elang Narendra. Lekat sangat lekat dan penuh pertanyaan di hatinya.
'Apakah laki-laki ini benar-benar akan selalu bersamanya?' atau 'Apakah laki-laki ini tulus kepadanya, walaupun tanpa rasa cinta. Apakah ia mampu menjadi imam yang baik untuk dirinya?'. Berbagai pertanyaan muncul di hatinya kini dan membuka harapan hidupnya yang baru.
Rendra menghapus sisa-sisa air mata di pipi mulus Arania. Pria itu mengangguk dan tersenyum pada istri kecilnya itu seakan menjawab pertanyaan dari tatapan mata gadis lugu itu. "Benar. Sekarang ada aku bersamamu. Jadi kamu tak perlu khawatir lagi." Ucapnya lagi.
"Apa benar?" Tanya Arania ragu.
Rendra menganggukkan kepalanya lagi. "Saya adalah suamimu. Saya bertanggungjawab atas dirimu mulai sekarang dan seterusnya. Kamu telah saya nikahi dihadapan jenazah Abahmu kemarin. Apa kamu mengingatnya?"
Arania yang terdiam kemudian menganggukkan kepalanya lagi, "Aku mengingatnya,Tuan."
Rendra lagi-lagi tersenyum hingga membuatnya terlihat semakin tampan di mata Arania. Degup jantung Arania lagi-lagi berdetak semakin kencang kala melihat senyum yang menawan itu.
"Bagus jika kamu mengingatnya. Maka dari itu saya akan memboyong kamu ke tempat asalku. Jadi kamu tidak akan merasa sendirian lagi di sini." Ujar Rendra.
"Memboyongku?"
"Hemm.. kamu akan tinggal bersamaku di Jakarta. Namun ada satu hal yang harus kamu ketahui sebelumnya,"
"Ku ketahui? Apa?"
"Sebenarnya sebelum saya menikahi mu karena wasiat Abahmu, saya telah menikah. Saya telah memiliki seorang istri yang sangat saya cintai."
Braaaakkk....
Bagai dihempaskan dari ketinggian. Tubuh Arania seolah hancur berkeping-keping. Wajah yang tadinya sendu namun mulai tumbuh semangat kini tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi dalam kurun waktu sepersekian detik setelah kalimat itu dilontarkan oleh Narendra. Bibirnya bergetar yang terselubung pada kenyataan pahit yang menamparnya.
"Tidak mungkin." Ucap Arania dengan suara yang bergetar.
"Itu memang kenyataannya, Arania. Saat itu saya tak kuasa menolak keinginan terakhir Abahmu. Memang sudah sepantasnya saya bertanggungjawab atas kesalahan saya dan menebusnya dengan cara menikahi mu. Abahmu ingin ada seseorang yang terus bersamamu serta menjagamu setelah kepergian nya."
"La-lalu, apakah istri anda tau hal ini? Atau jangan-jangan aku telah menjadi seorang pelakor?" Ungkap Arania dengan rasa frustasi yang mendera jiwanya.
***
Terimakasih /Pray//Pray//Pray/