Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Positif Hamil
Dua minggu sudah berlalu, Kania duduk di ruang tamu apartemen miliknya, memandang secarik kertas yang baru saja ia ambil dari rumah sakit.
Hasil tes itu terpampang jelas kalau Kania positif hamil.
Ya, Kania mengandung anak Adrian.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” Kania menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah.
Disaat Kania berusaha untuk melupakan semua kenangan pahit bersama Adrian, Tuhan justru memberinya anugerah yang begitu besar namun berat.
“Mas Adrian…” gumamnya pelan. Nama itu kembali berputar di kepalanya, meski ia sudah berusaha melupakannya.
Ponsel Kania bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari ibunya.
[Kania, kapan kamu mau pulang ke rumah, Nak? Ibu merindukanmu]
Kania membaca pesan itu tanpa membalasnya. Ia belum siap kembali ke rumah apalagi harus menjelaskan apa yang terjadi.
Sejak perceraiannya dengan Adrian yang begitu cepat dan menyakitkan itu, Kania memilih untuk menyendiri. Menghindari keluarga dan juga teman-temannya.
Mereka semua tahu tentang pernikahan Kania, namun tidak ada yang tahu tentang perceraian mereka.
Bahkan sekarang, Kania harus menerima kenyataan kalau dirinya sedang mengandung pewaris keluarga Pratama.
Kania menarik nafas panjang lalu meremas hasil tes tersebut. Kania belum siap memberitahu siapapun, terutama Adrian.
“Bagaimana caraku memberitahunya?” Kania bergumam. “Mas Adrian tidak akan pernah peduli. Bahkan, mungkin dia akan menyuruhku menggugurkan bayi ini.”
Kania mengusap perutnya. Kenangan malam itu kembali menghantui pikirannya. Adrian yang dingin, tak peduli dan tidak menatapnya dengan cinta sedikitpun.
“Tidak! Aku tidak akan pernah memberitahunya.” Kania bertekad dalam hati.
Kania akan melindungi bayinya. Karena hanya ini satu-satunya yang tersisa dari pernikahan singkatnya.
Kania juga akan memastikan kalau ia mampu membesarkannya tanpa campur tangan Adrian dan keluarga besar Pratama.
Ponsel Kania bergetar lagi, kali ini dari sahabatnya–Laila.
“Kania, kamu dimana?” tanya Laila langsung setelah Kania mengangkat panggilannya.
“Aku… di apartemen,” jawab Kania.
“Sejak kapan kamu mengurung diri seperti ini? Aku sudah berusaha menghubungimu berkali-kali!” Laila terdengar khawatir. “Ada apa sebenarnya? Kamu baik-baik saja kan?”
Kania menghela nafas panjang sebelum menjawab, “Aku baik-baik saja, Laila. Hanya ingin menyendiri saja.”
“Yakin?”
“Aku sangat yakin.”
“Aku tahu, terjadi sesuatu dengan pernikahan kalian. Ada masalah, bukan?”
Kania terdiam. Laila memang sahabatnya yang paling dekat. Tapi, untuk membicarakan tentang perceraian dengannya, rasanya terlalu cepat.
“Aku tidak ingin membicarakannya sekarang, Laila. Kumohon kamu mengerti.”
“Tapi, kamu harus bicara dengan seseorang. Jangan dipendam sendiri,” desak Laila. “Aku akan datang ke apartemenmu sekarang.”
“Tidak perlu. Aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu sendiri.” Kania berusaha meyakinkan sahabatnya.
Laila terdiam sejenak di seberang telepon sebelum akhirnya menjawab, “Baiklah kalau itu yang kamu mau. Tapi jika kamu butuh apapun, hubungi aku.”
Kania tersenyum tipis meski Laila tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Laila. Aku akan menghubungimu nanti.”
Setelah panggilan berakhir, Kania kembali duduk di sofa, menatap dinding kosong di depannya.
Kania tahu, Laila benar. Ia tidak bisa terus menerus menyendiri. Tapi, bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini?
Tentang perceraian yang mendadak, tentang kehamilannya dan tentang Adrian yang bahkan tidak tahu bahwa dia akan menjadi seorang ayah.
*
Keesokan harunya, Kania memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan. Ia ingin memastikan kalau bayi yang dikandungnya sehat.
“Semuanya baik-baik saja,” ucap dokter sambil tersenyum. “Usia kandungan baru memasuki minggu ke lima. Masih sangat awal tapi bayi ini sehat.”
Kania mengangguk pelan, lega mendengar kabar baik itu. “Terima kasih, Dokter.”
Dibalik semua rasa lega itu, Kania sebenarnya cemas. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Bagaimana ia akan menjalani semua ini sendirian?
“Apa ayah dari bayi ini tahu?” tanya dokter.
“Maksudnya?”
“Maaf, aku tidak bermaksud lancang. Tapi, aku merasa kamu tidak bahagia dengan kehamilanmu.”
Kania terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Dia tidak tahu. Dan aku tidak berniat memberitahunya.”
Dokter mengangguk mengerti. “Apapun yang kamu putuskan, pastikan itu yang terbaik untukmu dan juga bayimu. Kehamilan adalah perjalanan yang panjang dan kamu butuh dukungan dari suami.”
“Saya akan mengingat itu, Dok.”
Setelah keluar dari ruang periksa, Kania berhenti di lorong rumah sakit. Ia menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca.
“Mas Adrian tidak perlu tahu. Aku bisa menjaga bayi ini sendiri tanpa dia,” gumamnya pada diri sendiri, meyakinkan hatinya yang masih ragu.