Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kritik Pedas dan Senyuman Manis
Bab 3: Kritik Pedas dan Senyuman Manis
Malam itu, di kamar kosnya yang mungil, Rania duduk bersila di atas kasur dengan kertas draft cerita Bintang di tangannya. Lampu meja redup menemani, sementara secangkir kopi buatan sendiri mengepul pelan di sebelahnya.
“Oke, Rania. Waktunya jadi kritikus profesional,” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Judul cerita Bintang adalah “Dua Cangkir, Satu Takdir.” Klise, tapi ada sesuatu yang bikin Rania tertarik untuk membaca lebih jauh. Paragraf pertama cukup kuat, menggambarkan suasana kafe yang mirip dengan tempat kerjanya sendiri. Karakter utamanya, seorang barista cewek pecicilan bernama Maya, langsung mengingatkan Rania pada dirinya sendiri.
“Hah, ini gue banget,” Rania terkekeh pelan. Dia melanjutkan membaca, tertawa di beberapa bagian, dan mengernyit saat menemukan kalimat yang terasa terlalu dramatis. Sesekali, ia mencoret-coret kertas dengan pensil, meninggalkan komentar seperti:
“Ini dialognya terlalu lebay, Mas.”
“Keren, tapi coba tambahin sedikit humor.”
“Bagian ini gue suka! Simpel tapi ngena.”
Sampai halaman terakhir, Rania menyadari satu hal: cerita ini sederhana, tapi punya hati. Bintang berhasil menangkap momen-momen kecil yang terasa nyata, seperti obrolan ringan di meja kafe atau tatapan penuh arti di antara dua karakter.
“Dia punya bakat,” pikir Rania. “Tapi butuh sedikit sentuhan biar lebih hidup.”
---
Keesokan paginya, Bintang sudah ada di kafe saat Rania datang. Dia duduk di meja biasa, kali ini dengan ekspresi cemas seperti anak kecil yang menunggu hasil ujian.
“Udah baca?” tanyanya begitu Rania mendekat.
“Udah.” Rania mengeluarkan kertas draft dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Masih banyak yang harus diperbaiki.”
Bintang membaca catatan Rania dengan serius, sesekali mengangguk-angguk. Lalu, dia tertawa pelan. “Dialog lebay, ya? Pantes gue ngerasa aneh pas nulisnya.”
“Iya, kayak sinetron,” goda Rania sambil menyeduh kopi untuk Bintang. “Tapi ada bagian yang bagus, kok. Lo punya gaya nulis yang enak dibaca.”
“Serius?”
Rania mengangguk. “Serius. Cuma butuh polish dikit. Gue yakin cerita lo bakal keren.”
Bintang tersenyum, senyum yang lebih tulus dari biasanya. “Makasih, Rania. Gue nggak nyangka lo bakal se-supportive ini.”
“Jangan salah sangka, Mas. Gue tetep bakal kritik kalau ceritanya jelek,” balas Rania sambil tertawa.
“Deal. Gue suka orang yang jujur.” Bintang mengangkat cangkirnya, seolah-olah bersulang. “Untuk kritik pedas dan senyuman manis.”
Rania mengangkat alis. “Itu gombal?”
“Enggak, kok. Purely observational.”
“Halah.”
---
Hari itu, mereka ngobrol lebih lama dari biasanya. Bintang bercerita tentang pekerjaannya sebagai penulis lepas, bagaimana dia sering mendapat tekanan dari editor, dan bagaimana kopi menjadi satu-satunya pelarian. Rania, di sisi lain, berbagi impiannya membuka kafe sendiri dan tantangan yang dihadapinya sebagai barista.
“Lo yakin mau buka kafe? Kompetisinya ketat, lho,” kata Bintang, mengaduk-aduk kopinya.
“Yakin. Gue suka tantangan,” jawab Rania mantap. “Lagian, hidup itu kayak kopi. Kalau terlalu manis, nggak seru.”
Bintang mengangguk setuju. “Betul. Kadang, rasa pahit bikin kita lebih menghargai manisnya.”
Mereka saling tersenyum, dan untuk sesaat, dunia terasa lebih tenang.
---
Saat malam tiba, Bintang menutup laptopnya dan bersiap pulang. Tapi sebelum pergi, dia meninggalkan pesan singkat di atas serbet kertas:
“Thank you for making my days less bitter. See you tomorrow, Mbak Barista.”
Rania membaca pesan itu sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, hati kecilnya berharap besok datang lebih cepat.
To be continued...