Iparku Adalah Maut
Sinar mentari pagi menerobos celah-celah gedung pencakar langit Kuala Lumpur, menyinari jalanan yang mulai ramai dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di sebuah rumah kontrakan sederhana berdekatan dengan bangunan KLCC, jam alarm di ponsel Amira berbunyi nyaring, menandakan pukul 7 pagi. Amira, dengan rambutnya yang masih berantakan, terbangun dari tidurnya. Hari ini, seperti biasa, dia harus bergegas bersiap untuk bekerja di Menara KLCC, gedung megah yang menjulang tinggi di jantung kota.
Amira beranjak dari tempat tidur, matanya masih setengah terpejam. Dia berjalan menuju lemari dan mengambil seragam pembersih berwarna biru tua yang sudah familiar dengannya.
Setelah mengenakan seragam itu, Amira melangkah keluar dari kamar kontrakannya.
"Aduh!" Amira tersentak saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.
"Eh, Amira! Lo ngapain sih jalan gak liat-liat?" Ani, rekan kerjanya, memarahi Amira dengan nada tinggi.
Amira hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi omelan Ani. Dia sudah terbiasa dengan sikap Ani yang selalu sinis dan suka mencari-cari kesalahan. Ani memang terkenal sebagai sosok yang keras kepala dan suka membanggakan dirinya sendiri.
"Lo pikir lo cantik banget, sampai gak liat-liat jalan?" Ani mencibir, matanya melotot tajam.
Amira menghela napas, mencoba untuk mengabaikan perkataan Ani. Dia tahu bahwa Ani iri padanya karena Amira selalu menjadi pusat perhatian di tempat kerja. Amira memang ramah dan memiliki paras yang menawan, berbeda dengan Ani yang selalu berwajah masam dan tertutup.
Tanpa membuang waktu lagi, Amira berlari menuju halte bus. Dia harus segera sampai di KLCC sebelum pukul 7.30 pagi, waktu dimulainya jam kerja. Sayangnya, tidak ada bus yang lewat. Amira menggerutu kesal. Dia tidak punya pilihan selain berjalan kaki menuju KLCC.
Amira berlari kecil di sepanjang jalan raya yang ramai. Rambutnya yang terurai tertiup angin, semakin memperlihatkan kecantikannya. Di pinggir jalan, banyak pengendara mobil yang terkesima melihat Amira berlari. Beberapa dari mereka bahkan mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam Amira dan mengunggahnya ke TikTok.
"Eh, itu cewek cantik banget! Kayak model!"
"Iya, bener! Rambutnya juga bagus!"
"Kayaknya dia lagi buru-buru nih."
Amira tidak peduli dengan komentar-komentar orang di sekitarnya. Dia terus berlari, fokus pada tujuannya untuk sampai di KLCC tepat waktu.
Amira akhirnya sampai di KLCC, jantungnya masih berdebar kencang. "Huf, untung gak telat!" gumamnya lega sambil buru-buru menuju mesin punch card. Dia menempelkan kartu kerjanya dan bernapas lega. "Syukurlah, tepat waktu! Lewat satu menit aja, gajiku dipotong."
Ani muncul beberapa saat kemudian, wajahnya masam seperti biasa. Dia menempelkan kartu kerjanya ke mesin punch card, tapi telat dua menit dari Amira. Ani melirik Amira dengan pandangan sinis, tapi Amira cuek aja. Dia udah biasa sama tingkah Ani yang suka cari-cari kesalahan.
Amira mengambil ember dan mop, siap ngelap lantai di seluruh bangunan KLCC. Dia jalan melewati lorong-lorong yang ramai dengan pengunjung, gak peduli sama keramaian. Dia udah terbiasa sama hiruk-pikuk gedung perkantoran ini.
Dua puluh menit berlalu, keringat mulai nempel di kening Amira. Dia mulai ngerasa capek, tapi dia harus tetep semangat.
"Amira, kamu gak boleh capek," gumamnya dalam hati. "Kamu harus cari rezeki buat dirimu dan keluarga kamu yang ada di Jakarta."
Amira menarik napas dalam-dalam, lalu semangat lagi ngelap lantai.
Tiba-tiba, ada yang nepuk bahunya. Amira menoleh dan ngeliat Mirna, sahabat baiknya yang juga kerja di KLCC.
"Hoi, Amira!" sapa Mirna dengan suara ceria.
"Hi, Mirna. Kamu sehat hari ini?" balas Amira.
"Sihatlah, sayangku Amira, hehe," jawab Mirna dengan nada sedikit tomboy.
"Baguslah itu, Mirna," sahut Amira sambil tersenyum.
Mirna mendekat dan ikut bantu Amira ngelap lantai. Mereka berdua ngobrol dan bercanda, bikin suasana kerja jadi lebih asik.
Wakty istirahat pagi pun tiba. Amira dan Mirna memutuskan untuk makan bersama di kafe kecil di dekat kantor.
"Mirna, terima kasih ya udah jadi sahabat terbaik aku selama di Kuala Lumpur," ucap Amira sambil tersenyum.
Mirna terkekeh, "Apa ini? Biasa lah, santai kali."
Tiba-tiba, kepala Amira terasa berputar dan perutnya mual. Dia langsung berlari ke toilet. Mirna mengerutkan kening, bingung. "Dia alergi apa ya?" gumamnya dalam hati.
Di toilet, Amira muntah sedikit demi sedikit. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan jantungnya berdebar kencang. "Tak, tak mungkin..." gumamnya.
Ingatan Amira melayang ke dua bulan lalu, saat dia diajak makan malam oleh Roy, mantan pacarnya. Saat itu, Roy memasukkan pil tidur ke dalam jus Amira.
"Roy, kamu jahat!" teriak Amira dalam hati.
Amira teringat saat dia terbangun di atas tempat tidur, bersama Roy. Dia langsung menampar Roy dan memarahi pria yang selama tiga tahun dia percayai itu.
"Kita belum menikah, Roy! Kenapa kamu buat aku jadi perempuan kotor?" teriak Amira.
Roy hanya tersenyum sinis, "Nggak apa-apa, Amira. Santai aja. Kalau ada apa-apa, aku akan bertanggung jawab."
Setelah kejadian itu, Roy menghilang. Amira berusaha menghubunginya, tapi tidak pernah berhasil.
Amira kembali ke kenyataan dan air matanya mengalir deras. Tiba-tiba, Mirna masuk ke toilet. Amira buru-buru mencuci muka, takut Mirna melihatnya menangis.
"Kau okay, bestieku?" tanya Mirna dengan nada khawatir.
Amira berusaha tersenyum, "Sangat okay, Mir."
Amira dan Mirna kembali ke tempat kerja, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Amira berusaha menenangkan dirinya. "Tak mungkin aku hamil," gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Amira sedang membersihkan lantai di luar bangunan KLCC. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Dia melihat nama "Melissa" tertera di layar ponselnya. Melissa adalah kakak tirinya yang paling disayanginya, yang tinggal di Jakarta. Senyum tipis terukir di bibir Amira.
"Halo, Lis?" sapa Amira, suaranya sedikit gembira.
"Amira, kakak punya kabar buruk," jawab Melissa, suaranya terdengar sedih.
Amira merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa, Lis?" tanyanya, cemas.
"Ayah kita..." Melissa terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara bergetar, "...Ayah kita meninggal dunia."
Amira tercengang. "Hah? Ayah? Ayah meninggal?" tanyanya, tak percaya.
Ponselnya terjatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Air matanya mengalir deras. Dia merasa dunia seakan runtuh.
Lepas itu, Amira balik ke kaunter untuk mengambil beg nya untuk pulang ke rumah kontrakan nya.
Tiba-tiba Mirna sampai.
Mirna, yang melihat Amira menangis membasahi seluruh mukanya, langsung menghampirinya. Dia memeluk Amira erat dan mengelus punggungnya lembut. "Amira, sayang...Kamu kenapa ??," bisik Mirna dengan suara lembut. "
Amira terisak, "Ayahku...ayahku meninggal."
Mirna mengangguk terkejut dan mengucapkan takziah kepada Amira, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu ini berat, Amira. Tapi kamu harus kuat. Ayahmu pasti bahagia melihat kamu tegar."
"Aku harus balik ke Jakarta besok pagi," ucap Amira, suaranya masih bergetar. "Aku akan pakai uang tabungan untuk pesan tiket."
Mirna mengangguk, "Tenang, Amira. Aku akan bantu kamu cari tiket. Kamu fokus aja ke kemas barang kamu di rumah kontrakan kamu ya"
................
Amira bergegas berlari menuju kontrakannya. Dia berjalan kaki sambil berlari, air matanya tak henti-hentinya mengalir deras. Rasa kehilangan dan kesedihan menyelimuti hatinya.
Amira sampai di kontrakannya dan langsung mengunci pintu. Dia terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Dia menangis sepuas-puasnya, melepaskan semua kesedihan yang menghantam hatinya. Rasa kosong dan hampa menyelimuti dirinya. Ayahnya, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya, telah pergi.
Dia membuka tasnya dan mulai mengemas barang-barang. Amira mengambil nasi campur sardin yang sudah dingin di atas meja. Dia makan dengan lahap, tetapi air matanya tak henti-hentinya mengalir. Nasi campur sardin itu terasa hambar, bahkan air matanya pun ikut membasahi nasi itu.
Ingatan Amira melayang ke masa lalu, saat dia berpamitan dengan ayahnya sebelum berangkat ke Kuala Lumpur. Dia teringat pelukan hangat ayahnya dan kata-kata nasihat dari ayahnya.
"Amira, di mana pun kita berada, kita harus jaga harga diri kita sebagai perempuan ya," ujar ayahnya.
"Ayah ingin kamu jaga harga diri kamu di KL nanti. Ayah tak ingin kamu terjebak dengan apa pun. Semenjak ibumu meninggal sejak kamu dilahirkan, kamu adalah tanggung jawab ayah yang paling ayah tak nafikan. Kamu anugerah dari ibumu yang ayah cinta sampai mati. Walaupun ayah sudah menikah dengan Mak Sarah, tetapi ayah takkan melupakan mak kamu."
Amira terisak semakin keras. Dia teringat betapa sayangnya ayahnya padanya. Dia teringat bagaimana ayahnya selalu mendukung dan menjaganya. Dia teringat bagaimana ayahnya selalu memberikan nasihat dan pelajaran hidup yang berharga. Amira merasa kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Ayahnya adalah tempatnya berkeluh kesah, tempatnya mencari perlindungan, dan tempatnya menemukan kekuatan.
Amira menangis sepuas-puasnya, melepaskan semua kesedihan dan kerinduannya. Dia tahu bahwa ayahnya akan selalu ada di hatinya, meskipun kini ayahnya telah pergi untuk selamanya.
Amira masih terisak di lantai, matanya sembab dan wajahnya pucat. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Mirna.
"Mirna?" gumam Amira, matanya langsung berkaca-kaca. Dia membuka pesan dari Mirna.
"Ini uang untukmu, Mira. Gunakan ini untuk balik. Aku minta maaf kalau ini sedikit. Ini duit simpanan aku, Amira. Kamu gunakan ya. Jangan risau, tak usah bayar. Aku ikhlas kok."
Amira terharu membaca pesan Mirna. Air matanya kembali mengalir deras. Dia bersyukur kepada Tuhan karena mengurniakan sahabat sebaik Mirna dalam hidupnya. Mirna selalu ada untuknya, baik dalam suka maupun duka.
Amira membalas pesan Mirna, "Terima kasih, Mirna. Kamu selalu ada dengan aku, tak kira susah dan senang."
Mirna pun membalas pesan Amira "Its okay my bestie"
Amira langsung memesan tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta besok pagi.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments