Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Sejak aku memutuskan untuk mengambil langkah sendiri, perasaan lega mulai menjalari diriku. Meskipun Dion tidak tahu bahwa aku menjual mas kawin kami untuk membeli iPhone baru, aku merasakan sebuah perubahan kecil yang memberiku harapan. Dengan ponsel itu, aku mulai belajar tentang dunia digital. Bisnis online dan TikTok affiliate kini menjadi fokusku. Tapi, di balik setiap kemajuan kecil yang kucapai, mertuaku tak pernah berhenti datang, seolah mengawasi setiap gerakan yang kulakukan.
Setiap pagi, aku bangun dengan semangat untuk membuat konten baru. Aku belajar teknik transisi sederhana, menata barang-barang promosi di keranjang kuning dengan harapan ada yang tertarik membeli. Namun, sebelum semangatku bisa benar-benar bangkit, ada ketukan keras di pintu.
"Kirana! Kamu ada di rumah?" Suara mertua memekakkan telingaku seperti biasanya.
Aku menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Saya di sini."
Begitu pintu kubuka, ibu mertuaku langsung masuk tanpa permisi. Seolah rumah ini memang miliknya, bukan milikku. "Mana Dion?" tanyanya, sambil melihat sekeliling rumah.
"Dion masih di kantor, Bu."
"Hmmm... Ya sudah, aku cuma mau ambil TV itu. Anak bungsu pamanmu butuh hiburan di rumah. Kasihan, di rumah dia tidak ada TV, sedangkan TV di sini ada dua. Tidak masalah kan?"
Aku terpaku. TV di ruang tamu adalah satu-satunya hiburan yang kumiliki ketika Dion sibuk di kantor. "Bu, TV itu—"
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, dia sudah memotong. "Dion pasti setuju. Ini hanya sementara. Nanti kalau sudah punya uang lebih, ibu belikan TV yang lebih besar untuk kalian."
Aku tahu janji-janji semacam itu hanya kosong belaka. Sejak awal pernikahan, ibu mertuaku selalu membuat janji manis tanpa pernah ditepati. Namun, seperti biasa, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihatnya memanggil tukang untuk mengangkut TV dari ruang tamu kami.
Setelah itu, rumah menjadi semakin sunyi. Tanpa TV, tanpa suara apapun selain detak jarum jam yang terdengar semakin nyaring. Aku terjebak dalam keheningan, dan sekali lagi, aku merasa kehilangan kendali atas rumahku sendiri.
Beberapa hari kemudian, kejadian serupa terulang. Kali ini, ibu mertuaku datang tanpa memperingatkan, seperti biasa, dan kali ini dia membawa berita. “Adik iparmu yang baru melahirkan butuh beras. Aku tahu di rumah ini ada banyak stok beras. Pinjam dulu, ya?”
Aku baru saja selesai memasak ketika dia berbicara, dan entah bagaimana, kali ini hatiku tidak bisa lagi menerima semua ini dengan diam. "Bu, ini beras untuk keluarga kami sendiri. Kalau terus diambil, nanti kami yang kekurangan."
"Ah, kamu ini berlebihan sekali. Kamu kan hanya berdua dengan Dion. Stok sebanyak ini cukup untuk tiga bulan. Adik iparmu butuh sekarang. Kamu bisa beli lagi kapan-kapan," jawabnya enteng, sambil memasukkan karung beras ke dalam mobilnya.
Tanganku bergetar, menahan amarah yang rasanya siap meledak kapan saja. Tapi lagi-lagi, aku menelan protesku. Seperti biasa, tidak ada gunanya berbicara. Aku tahu, Dion akan membela ibunya dan mungkin akan menganggapku terlalu berlebihan. Tapi di balik semua ini, ada sebuah rasa tidak adil yang semakin besar menggerogoti hatiku.
Keesokan harinya, aku duduk di meja makan sambil merenung. TV sudah tidak ada, beras juga diambil, dan sepeda listrik yang kumiliki untuk keperluan pribadi juga sudah dipinjam oleh paman Dion, entah kapan akan dikembalikan. Semua ini membuatku merasa seolah aku hanyalah pelengkap dalam keluarga ini, tanpa hak apapun.
Siang itu, Dion pulang lebih awal dari biasanya. Aku pikir mungkin kali ini dia akan membawa kabar baik, atau setidaknya akan memberikan perhatian setelah melihat perubahan di rumah. Namun, harapanku kembali pupus ketika dia hanya mengeluh tentang masalah di kantornya tanpa peduli pada apa yang terjadi di rumah.
"Dion," aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan setelah makan malam. "Kita harus bicara."
Dia meletakkan ponselnya dan menatapku dengan tatapan datar. "Bicara tentang apa lagi?"
"Aku merasa keluargamu terlalu sering datang dan mengambil barang-barang di rumah ini. TV, beras, bahkan sepeda listrik. Semua diambil tanpa bertanya. Aku juga tinggal di sini, Dion. Aku juga butuh barang-barang itu."
Dion mendesah panjang. "Kirana, aku sudah pernah bilang, ini hanya sementara. Mereka butuh bantuan, dan kita harus berbaik hati."
"Tapi bagaimana dengan kita?" suaraku bergetar. "Kita juga butuh, Dion. Rumah ini milik kita, tapi aku merasa seperti tidak punya kendali apapun. Setiap kali mereka datang, selalu ada saja yang diambil."
Matanya menatapku tajam, ekspresi wajahnya berubah dingin. "Biarkan saja. Mereka keluargaku. Kau tidak perlu mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini."
Hal kecil. Setiap hari aku menyaksikan barang-barang di rumah ini diambil sedikit demi sedikit, dan dia menyebutnya hal kecil?
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Ini bukan hanya tentang barang, Dion. Ini tentang bagaimana aku diperlakukan. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri, sebagai bagian dari keluarga ini."
"Aku sudah bilang, mereka keluargaku. Mereka punya hak untuk meminta bantuan kapan saja. Kalau kamu tidak bisa menerimanya, itu masalahmu," balasnya dengan dingin, sebelum kembali tenggelam dalam ponselnya.
Kata-katanya terasa seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungku. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang kini kembali sibuk dengan dunia luar. Bagiku, itu adalah momen terakhir. Sebuah kesadaran menyadarkanku tidak ada yang akan berubah kecuali aku sendiri yang mengambil tindakan.
Kehidupan yang selama ini kujalani seolah berada di bawah bayang-bayang keluarganya, tanpa ruang bagi diriku sendiri. Aku terjebak dalam rutinitas yang selalu sama, tanpa adanya kesempatan untuk membuat keputusan yang seharusnya adalah hakku sebagai istri. Aku tahu, jika terus seperti ini, aku akan kehilangan diriku sepenuhnya.
Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berusaha lebih keras untuk mendapatkan kebebasan. TikTok, konten digital, dan bisnis affiliate menjadi harapan terakhirku. Aku akan membangun sesuatu dari bawah, meski harus kulakukan sendirian.
Aku tidak bisa lagi terus-menerus hidup dalam bayangan keluarga suamiku. Sudah saatnya aku keluar dari gelap itu dan mencari cahaya untuk diriku sendiri.