Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Jam terakhir adalah pelajaran Bahasa Indonesia, tapi guru mereka tak masuk karena ada perjalanan dinas. Suasana kelas pun menjadi ramai, sebagian besar siswa mulai merencanakan kegiatan mereka sepulang sekolah.
Alana duduk termenung sambil menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya berkelana. Di sebelahnya, Zayn masih rebahan di mejannya sambil sesekali menguap kecil.
"Za, hari ini kamu bimbel, yah?" tanya Alana, mencoba mengobrol untuk mengusir rasa bosannya.
"Iya," sahut Zayn santai, tanpa membuka matanya. Meskipun kelihatannya selalu malas-malasan, ia tak pernah mengabaikan Alana ketika diajak bicara.
Alana mendesah pelan dan kembali tenggelam dalam lamunannya.
Tak lama kemudian, bel panjang berbunyi, menandakan berakhirnya jam pelajaran. Sontak, seluruh siswa berebut keluar kelas sambil menggendong tas mereka. Alana pun ikut bangkit, meraih tasnya, dan beranjak ke luar bersama teman-teman lainnya, sementara Zayn tetap santai mengemasi barang-barangnya di bangku belakang.
Setelah mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah, Alana dan Zayn berhenti sejenak. Di depan mereka, mobil jemputan Zayn sudah menunggu di tepi jalan.
"Aku pergi dulu ya?" ucap Zayn, menatap Alana dengan sedikit ragu. Terlihat jelas bahwa ia tampak berat meninggalkan Alana. Namun, teringat pada permintaan ibunya yang begitu rewel soal nilai-nilainya, Zayn tak punya pilihan selain pergi ke bimbel.
Alana mengangguk pelan, tersenyum tipis meski ada sedikit rasa kecewa. "Iya, nggak apa-apa. Semangat ya, Za. Hati-hati di jalan."
Zayn menghela napas, lalu membuka pintu mobil dan melangkah masuk. Namun, sebelum pintu ditutup, ia menoleh lagi ke arah Alana dan melambaikan tangannya.
Alana membalas lambaian Zayn, melihat mobil itu melaju pergi hingga menghilang di kejauhan. Ia kemudian berbalik dan mulai berjalan sendirian menyusuri jalan menuju rumah.
"Aduh, pulang sekolah sendirian itu membosankan. Masak apa ya hari ini? apa buat ayam geprek aja ya? Zayn kan suka itu”
Lana berfikir sambil terus berjalan ia mengedarkan pandangannya ke tempat-tempat yang menarik di sekelilingnya.
Di saat yang sama tak jauh dari Alana, Zidan, pemuda tampan berambut hitam, tampak kebingungan. Ia bolak-balik menatap ponselnya dan jalanan di sekitarnya, berusaha mencari petunjuk yang familiar.
"Tunggu, bukan di sini juga," ia melirik peta di layar ponselnya. "Kok bisa lupa jalan gini, sih? Lihat peta malah makin bingung. Apa aku bakal sampai sana hari ini?" Gumamnya.
Haaaah... Dari tadi udah muterin tempat ini tapi nggk nemu-nemu juga." keluhnya frustasi.
Zidan melangkah lebih jauh, berharap menemukan tanda yang bisa membantunya. Ia berpapasan dengan Alana yang sedang asyik mengamati sekeliling. Namun ia tak perduli dan tetap melanjutkan langkahnya. Sama halnya dengan Alana, ia sempat melirik lelaki tampan itu. Tapi itu saja, wong dia nggak kenal yah bodo amat lah, ia meneruskan jalannya.
Tiba-tiba, langkah Alana terhenti oleh pemandangan mengejutkan. Seorang siswi SMA berambut bob, mengenakan seragam yang sama dengannya, dipojokkan oleh sekelompok gadis lain. Wajah mereka penuh amarah dan ejekan.
Alana memperhatikan dengan saksama, mencoba memahami situasi.
"Hei! Kalau lihat kami, harusnya berhenti! Kenapa malah jalan terus, sih?!" teriak salah satu gadis berambut lurus dari kelompok itu.
Suaranya menggema di gang sempit yang cukup sepi hingga tak ada yang mendengar teriakan keras itu.
Ia mendorong kuat gadis berambut bob itu ke dinding yang di penuhi lumut berlendir. Tangannya mencengkeram pipi korban dengan kasar, menekan wajahnya hingga memutih.
Gadis itu berusaha berdiri tegak, meskipun wajahnya menunjukkan rasa sakit. Tangannya terkepal kuat, dengan sorot mata yang kian menajam menatap pembuli itu.
“Jangan lihat aku dengan mata menjijikkanmu itu, dasar pecundang!” bentak gadis pembuli yang bernama Maya itu.
Riska, teman Maya, melangkah mendekat dengan senyum mengejek. "Wah-wah... coba lihat deh, dia potong rambut, ya? Pakai riasan juga. Mau jadi artis, nih? Sok cantik," cibirnya dengan nada sinis.
Riska menjumput sedikit rambut pendek gadis itu, lalu menariknya dengan kuat hingga beberapa helainya rontok. melihat tangannya yang penuh rambut, ia mengibaskannya dengan ekspresi jijik. Sementara Maya tetap berdiri di depannya, mengapit wajah gadis itu dengan tatapan yang tajam dan mengintimidasi.
"Kamu pikir dengan pindah sekolah bisa lepas dari kami? Hah?! Tidak semudah itu, Airin!!" bentak Devi, teman Maya dan Riska, suaranya penuh penekanan dan amarah.
Namun, Airin, gadis berambut bob itu, tetap diam, menunduk tanpa ekspresi.
"Heh! Kalau orang ngomong tuh dijawab! Kamu bisu, ya?!" hardik Maya dengan nada geram, semakin mendekatkan wajahnya ke arah Airin.
Ia mengangkat lengannya tinggi-tinggi, telapak tangannya siap mendarat di pipi mulus Airin yang kini sudah memejamkan mata, menunggu hantaman. Namun, tiba-tiba suara keras menghentikan gerakannya.
“Hey, berhenti!” teriak Alana,
Ia tak bisa lagi menahan diri, rasa empati dalam dirinya memuncak melihat gadis berambut Bob diperlakukan seperti itu. Meski ia tahu risiko menghadapi para pembuli itu, hatinya tak mengizinkannya hanya diam menyaksikan.
Maya menoleh gusar.
Dengan langkah mantap, Alana mendekat, matanya menatap tajam ke arah para pembuli itu.
“Kalian nggak malu, ya? Orang yang nggak bisa melawan malah kalian jadikan sasaran,” katanya, nada suaranya penuh amarah yang ditahan.
Maya menyeringai, terlihat tidak terpengaruh sedikit pun. "Oh, lihat siapa yang datang menjadi pahlawan kesiangan. Apa kamu pikir tindakanmu ini akan membuat kami takut?"
Namun, Alana tetap berdiri tegak, tatapannya tidak surut sedikit pun. "Bukan soal pahlawan atau tidak, tapi tentang apa yang benar dan salah. Kalian mungkin merasa hebat sekarang, tapi semua orang tahu siapa yang sebenarnya lemah di sini. Aku nggak bisa diam saat melihat orang lain diperlakukan sekejam ini. Sudah cukup, tinggalkan dia, atau..."
"Atau apa?!" sela Devi, matanya menyipit penuh tantangan. Ia melangkah maju, mencoba menakuti Alana, tetapi Alana tetap berdiri dengan berani di tempatnya.
Di tengah ketegangan itu, Airin melihat kesempatan. Dengan cepat, ia melepaskan cengkeraman Maya yang masih terpaku menatap Alana, lalu melesat lari, napasnya tersengal, sementara tubuhnya gemetar karena takut. Kakinya melangkah cepat, menjauh dari kelompok yang telah menindasnya..
"Wah, dia kabur, May!" seru Riska, menunjuk ke arah Airin yang kini semakin jauh. Ekspresinya panik, menyadari bahwa 'mangsa' mereka lepas begitu saja.
Maya berdecak kesal, menatap Alana dengan penuh amarah. "Ini semua salahmu," gumamnya, matanya berkobar. "Kau pikir bisa lolos begitu saja setelah merusak 'kesenangan' kami?"
Alana balas menatap tajam, tak gentar sedikit pun. "Kalau kesenangan kalian didapat dari menyakiti orang lain, maka kalian adalah orang paling menyedihkan yang pernah aku temui."
Sementara itu, Airin terus berlari, napasnya tersengal-sengal, matanya sesekali melirik ke belakang, memastikan ia sudah jauh dari para pembuli. Jantungnya masih berdegup kencang, campuran antara panik dan lega karena berhasil meloloskan diri.
Namun, tanpa sadar, ia menabrak seseorang. Tubuhnya tersentak, dan ia nyaris terjatuh ke belakang. Sosok itu adalah Zidan, yang tengah berdiri sambil mengamati peta pada ponselnya. Kaget, Zidan segera mengangkat wajah, matanya bertemu dengan gadis yang kini berdiri di hadapannya dengan wajah pucat dan napas tersengal.
"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir, memerhatikan ekspresi panik gadis itu.
Namun, gadis itu terus melanjutkan larinya tanpa melihat ke belakang.
Zidan lalu menoleh ke arah datangnya gadis itu. Ia melihat para pembuli yang kini mengeroyok gadis cantik yang yang berpapasan dengannya tadi. Matanya menyipit, merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak adil.
Disaat Zidan terpaku mengamati gadis cantik tadi, pembuli itu kembali berteriak.
“Heh! Ibumu nggak ngajarin sopan santun ya?!” seru Maya, lalu mencengkeram kerah Alana dengan kasar. Ia mengayunkan kakinya, menendang perut Alana dengan keras.
Alana terhuyung, memegangi perutnya yang sakit. Namun, ia tak tinggal diam. Ia berusaha berdiri, lalu mendekati Maya dan menjambak rambutnya dengan kuat.
“Ahhh...! Hey, Riska! Devi! Cepat bantuin aku!” jerit Maya.
Riska dan Devi berusaha menarik Alana, tetapi cengkeramannya pada rambut Maya begitu kuat. Mereka semua berteriak, berusaha saling menjatuhkan.
Begitu melihat kejadian itu Zidan langsung melangkah mendekat.
"Biasanya aku nggak suka ikut campur urusan orang sih, tapi kalau sudah main keroyok kayak gini, rasanya nggak adil. Kalian mau aku panggil polisi?!” serunya mengintimidasi pembuli itu.
Mendengar ancaman Zidan, nyali ketiga pembuli itu langsung ciut, dan buru-buru pergi. Sebelum kabur, Maya masih sempat mengancam sambil menunjuk Alana, “Awas kamu! Lain kali aku jambak rambutmu sampai botak!” pekiknya.
Alana tak gentar dengan ancaman itu, ia menatap nanar ke mereka yang kini menjauh sambil mengacungkan jari tengahnya.
Setelah kepergian mereka Alana memegangi kepalanya yang berdenyut akibat jambakan tadi. Sementara Zidan memungut sebungkus rokok yang tergeletak di tanah, lalu mendekat ke Alana.
“Hei, kamu menjatuhkan ini?” tanya Zidan sambil menyodorkan rokok.
Alana mengernyitkan kening. “Itu bukan punyaku.” ucapnya.
“Eh, nggak usah malu gitu. Aku bakal pura-pura nggak lihat kok,” ucap Zidan, tersenyum lebar.
“Itu bukan punya saya!” ketus Alana.
“Oke, oke, jangan marah. Jaga kesehatanmu, ya?” katanya dengan nada bercanda.
Alana menghela nafas kasar. “SUDAH DIBILANG... ITU... BUKAN... PUNYA... SAYA!!!”
Kini nada suaranya meninggi penuh kekesalan yang tak terbendung, lalu ia berbalik meninggalkan Zidan yang masih melongo kaget.
Langkahnya cepat, berusaha mengusir semua emosi negatif yang menggangu hatinya. Kedatangan lelaki itu malah membuatnya semakin jengkel. Walau begitu ia tetep menyempatkan singgah ke warung sayur untuk membeli bahan masakan sebelum melanjutkan pulang ke rumah.