Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kantor Toxic
"Brakk!!" Motor Zanya tertabrak dari belakang, dan Zanya terjatuh.
Zanya bangkit dan menegakkan motornya lagi, kemudian ia melihat mobil yang menabraknya. Dengan kesal ia menghampiri mobil itu. Pintu mobil dibuka oleh pengemudi, yang ternyata seorang gadis cantik berambut pendek. Gadis itu melepas kacamata hitamnya dengan wajah kesal, sepertinya usianya lebih muda dari Zanya, mungkin sekitar 20 tahun.
"Kalau nyetir hati-hati dong!" ujar Zanya.
Gadis itu tidak mendengarkan ucapan Zanya, ia malah berjalan ke depan mobilnya, lalu menunduk untuk melihat kondisi mobilnya.
"Untung aja gak lecet parah, kalau lecet parah, gue tuntut ganti rugi!" Ujar gadis itu ketus.
Zanya membelalakkan mata, tak habis pikir dengan kelakuan pemilik mobil itu.
"Sorry...! Ini elu yang nabrak loh, kenapa gue yang harus ganti rugi? Mau mobil lu lecet parah atau penyok pun, gue gak akan mau ganti rugi! Silahkan panggil polisi, gue gak takut! Kita tinggal minta rekaman cctv untuk tau siapa yang harus ganti rugi." Zanya menunjuk kamera lalu lintas yang ada di dekat tempat kejadian.
Gadis itu menatap Zanya dengan sinis, kemudian memakai kacamata hitamnya lagi dan kembali menaiki mobil, dan langsung melaju, meninggalkan Zanya yang sedang sibuk menepuk-nepuk bajunya yang penuh debu karena terjatuh tadi.
Zanya menyalakan motornya, kemudian berkendara lagi menuju kantornya. Sesampainya di parkiran, Zanya mengganti jaketnya dengan Blazer yang masih terlipat rapi di bagasi motornya.
"Untung aja, selalu pake jaket, gak langsung pake blazer buat naik motor. Gak lucu banget kerja pake baju kotor." Gerutu Zanya sambil menyimpan jaket dan helmnya.
***
"Zanyaa...!" terdengar suara Risty, memanggilnya.
Zanya menoleh, melihat gadis itu berlari ke arahnya. Risty adalah teman kuliah Zanya, Risty lebih dulu bekerja di perusahaan ini. Zanya dapat informasi lowongan di sini pun dari Risty, jadi bisa dibilang ia bisa bekerja di sini berkat Risty.
"Eh, kenapa celana lu kotor?" tanya Risty.
"Gue jatoh tadi." Jawab Zanya singkat, ia tidak ingin menceritakan detailnya, karena ia pun masih kesal dengan kejadian tadi.
"Hati-hati makanya...! Untung gak ada luka." Omel Risty. "eh iya, Za. Gimana di GA? Masih betah?" tanyanya kemudian.
Zanya menghela napas. "Gitu deh, Ty... Gue betah-betahin aja, semoga cepat jadi karyawan tetap, kaya elu." Jawab Zanya.
Risty menepuk pundak Zanya. "Semangat, bestie! Nanti kalo ada lowongan di divisi gue, gue kabarin ya, supaya lu bisa ajuin ke HRD untuk pindah divisi..." ujarnya. Zanya sering berkeluh kesah kepada Risty tentang perlakuan senior dan atasannya. Risty pun sudah lama tahu tentang hal itu, karena sudah banyak karyawan dari divisi General Affair yang pindah ke divisi lain karena tidak betah.
"Makasih banyak, bestie...!" Jawab Zanya.
Mereka pun berjalan menuju lift, kemudian berpisah di lantai 3, karena disana lah kantor Zanya berada, sementara kantor Risty, divisi accounting, ada di lantai 4, satu lantai dengan divisi marketing.
Zanya duduk di kursinya sambil merapihkan meja, kemudian ia menyalakan komputernya, dan memeriksa email. Karyawan lain pun sudah di meja mereka masing-masing, beberapa dari mereka masih mengobrol, dan sisanya melakukan hal yang sama seperti Zanya.
Andi datang, berjalan melewati meja para staf, kemudian ia bertepuk tangan dengan keras. "Ayo! Kerja, kerja!" ujarnya setengah berteriak. Para staf yang masih mengobrol pun segera memulai aktifitas mereka.
"Zanya, ke ruangan saya!" Ujar Andi saat melewati meja Zanya.
Dengan terburu-buru, Zanya mengikuti Andi. Sampai di pintu ruangannya, Andi membuka pintu, lalu masuk dan langsung membanting pintu sebelum Zanya ikut masuk.
Zanya tersentak saat pintu terbanting hingga menutup rapat. Ia menepuk jidat, ia lupa bahwa Andi menegaskan untuk mengetuk pintu jika akan masuk ke ruangannya, tidak boleh mengekor seperti yang akan Zanya lakukan tadi. Zanya pun mengetuk pintu.
"Masuk!" teriak Andi.
Zanya membuka pintu pelan-pelan, kemudian masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa, Pak?" tanya Zanya.
"Kamu ngajuin pindah divisi ke HRD?" tanya Andi penuh selidik.
Zanya terkejut, ia bahkan belum mendapat info lowongan dari divisi lain, apalagi mengajukan pindah divisi.
"E-enggak, Pak. Kenapa memangnya, Pak?" Tanya Zanya.
"Trus kenapa Bu Amel mau mindahin kamu?" Tanya Andi.
"Gak tau, Pak..." Zanya benar-benar bingung.
"Hmm.. Gini aja, nanti kalau dipanggil Bu Amel, kamu tolak aja ya! Supaya kamu tetap di sini. Tapi jangan bilang saya yang nyuruh nolak." Ujar Andi.
Zanya tertawa dalam hati, apa? Menolak pindah divisi, sedangkan ia sudah muak di sini. Untuk apa ia menolak tawaran yang mungkin akan memberikannya tempat kerja yang lebih nyaman.
"Liat nanti, Pak. Lagian saya dipanggil HRD juga belum tentu karena pindah divisi. Bisa jadi saya diangkat jadi karyawan tetap." Ujar Zanya. Setidaknya itulah harapan terbesarnya saat ini.
"Ya udah, intinya kalau nanti Bu Amel manggil kamu dan mau mindahin kamu, tolak aja!" ujar Andi.
"Kalau gitu, saya permisi, Pak." Pamit Zanya.
"Cek email kamu, saya udah kirim email dari kemarin sore untuk kamu kerjain hari ini." ujar Andi.
"iya, Pak. Itu udah mulai saya kerjain. Permisi, Pak." Zanya keluar setelah mendapat anggukan kepala dari Andi.
Zanya telah menyelesaikan pekerjaan yang Andi berikan padanya, masih pukul 09:45, masih ada waktu untuk minum kopi, sebelum ia mengerjakan tugas hariannya, mengecek status barang inventaris yang rusak, yang sedang diperbaiki, dan yang sudah di kembalikan ke masing-masing divisi.
"Za, mau kemana?" Cecil bertanya saat Zanya lewat di mejanya.
"Pantry." Tunjuk Zanya ke arah pantry.
Cecil melambai-lambai memanggilnya "Sini dulu, sebentar." panggilnya setengah berbisik. Zanya pun datang menghampiri.
"Za, Kamu waktu itu pernah urus perbandingan harga untuk purchasing kan? Kamu bisa gak bantuin aku untuk cari harga terbaik? Aku lagi dikejar deadline nih!" Ujar Cecil dengan senyum penuh harap.
"Sorry, Cecil. Aku juga lagi dikejar deadline, makanya aku mau ngopi dulu, biar gak sakit kepala." Jawab Zanya.
"Alaah... Bilang aja gak mau bantuin, pake alasan sakit kepala segala!" Ujar Cecil, wajahnya yang tadinya ramah langsung berubah sinis.
Zanya pergi meninggalkan Cecil dan wajah kesalnya. Zanya sudah paham karakter masing-masing karyawan disini, Gina si pemaksa, Cecil yang hanya baik saat ia butuh, Doni yang lain di depan lain di belakang, Dan masih banyak yang lainnya, intinya hampir semua karyawan senior disini toxic.
Selesai meminum kopinya, Zanya mencuci kembali cangkir dan menyimpannya. Biasanya ada OB yang mengerjakan itu, namun Zanya berpikir, jika ia masih bisa mengerjakan sendiri, mengapa harus menunggu orang lain.
Selesai memeriksa status barang inventaris, Zanya kembali mengecek email, disana ia melihat ada email dari Bu Amel HRD, yang meminta Zanya untuk menemuinya di kantor HRD.
Zanya melangkah dengan mantap menuju kantor HRD, walau sebenarnya dalam hati Zanya masih bertanya-tanya, mengapa ia dipanggil oleh Bu Amel? Apakah benar ia akan dipindahkan ke divisi lain? Atau diangkat menjadi karyawan tetap? Atau, kemungkinan terburuknya adalah mendapat surat peringatan, tapi Zanya merasa tidak melakukan kesalahan apapun.
Sampai di lantai 5, Zanya langsung menuju kantor HRD, dan langsung mengetuk pintu yang bertuliskan Amelia Soebandie.
"Masuk!" terdengar suara Bu Amel dari dalam ruangan.
Zanya membuka pintu, lalu masuk. Di dalam ruangan, ada seorang lelaki berusia 30an ke atas sedang berbicara dengan Bu Amel.
"Zanya Andrea?" Tanya Bu Amel.
"iya, Bu. Saya Zanya." Jawab Zanya masih berdiri.
Bu Amel membolak balik kertas di dalam map yang sedang dipegangnya. "Oke! Silahkan duduk, Zanya." ujar wanita berusia 40an itu.
Zanya pun duduk di kursi yang berada di samping lelaki tadi.
"Kenalkan, ini Pak Dwi, sekretaris Pak Marlon. CEO kita." ujar Bu Amel.
Dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya, Zanya pun bersalaman dengan Dwi.
"Begini Zanya, CEO kita sedang butuh dua asisten tambahan, satu laki-laki dan satu perempuan. Tapi, beliau ingin merekrut karyawan kontrak yang sudah bekerja di Great corps. Ada beberapa kandidat, dan kamu salah satunya. Beliau sudah melihat profil kamu, dan memilih kamu sebagai asistennya. Apakah kamu bersedia?" Tanya Dwi.