menceritakan seorang anak perempuan 10tahun bernama Hill, seorang manusia biasa yang tidak memiliki sihir, hill adalah anak bahagia yang selalu ceria, tetapi suatu hari sebuah tragedi terjadi, hidup nya berubah, seketika dunia menjadi kacau, kekacauan yang mengharuskan hill melakukan perjalanan jauh untuk menyelamatkan orang tua nya, mencari tau penyebab semua kekacauan dan mencari tau misteri yang ada di dunia nya dengan melewati banyak rintangan dan kekacauan dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YareYare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20. Perang Dan Harapan
Sejak kemarin, aku tidak tahu arah menuju Magi karena aku tidak bisa melihat Pohon Harapan. Sekarang, aku bisa melihatnya, meski samar-samar tertutup kabut dan asap hitam tebal di sana. Pasti itu arah Magi! Kali ini, unicorn benar-benar membawaku ke sana. Tidak hanya kabut dan asap hitam, tapi awan di atasnya tampak gelap dengan petir menyambar-nyambar.
"Unicorn, cepatlah!"
Anak panahku seharusnya sudah habis, tapi saat aku terbangun, aku melihat anak panahku kembali menjadi dua puluh. Tempat itu… dan gelang ini… begitu banyak hal yang tidak kuketahui.
Sementara itu, di tengah hutan Treeden, sehari sebelumnya, pada malam hari, para warga Magi terus berjalan.
"Hei, Helix, sebentar lagi kita akan sampai. Di depan sana itu Hutan Barat Magi. Kita sudah bisa melihatnya. Hutan itu sedang terbakar, asapnya menyebar ke mana-mana, dan tidak ada lagi Pohon Raksasa di sana. Kita mungkin akan kehujanan," kata Levia.
"Terima kasih atas penjelasannya, Levia. Jadi, apakah ini saatnya kita tampil? Di bab sebelumnya, kita tidak muncul sama sekali. Sial!" ujar Helix dengan nada bercanda.
"Terserah kau saja, Helix."
Mereka terus berjalan sampai akhirnya mereka keluar dari Hutan Treeden. Tak lama kemudian, Raja Van mulai berteriak.
"Rakyatku! Dari sini kita akan berlari, tetapi jangan saling dorong! Ikuti jalur aman, hindari api. Fokus pada urutan barisan kalian. Bagi yang memiliki fisik kuat, harap gendong anak-anak dan orang tua. Tolong dorong meriamnya! Para wanita, bantu dorong meriam. Ratu Peri, kami siap."
"Baiklah! Para peri, bersiaplah. Keluarkan sihir pelindung. Cegah asap dan tetap waspada agar tidak ada api atau pohon tumbang yang melukai rakyat kita. Lindungi rakyat Magi. Maju!"
Serentak, rakyat berteriak dan mulai berlari melewati hutan yang terbakar. Para peri menggunakan sihir pelindung mereka. Di tengah kerumunan, terlihat Levia dan Helix berlari bersama.
"Oi, Levia, keluarkan juga sihir pelindungmu!" teriak Helix.
"Aku tidak bisa. Jika bisa, tentu sudah kugunakan sejak kemarin untuk melindungi Hill. Oh tidak, Hill… aku khawatir padanya. Hill… Hill… semoga kau baik-baik saja," jawab Levia dengan cemas.
"Kau ini, setiap menyebut nama Hill selalu saja menangis. Fokuskan dirimu ke depan dulu. Aku juga khawatir padanya, tapi menangis tidak akan menyelesaikan masalah."
Mereka terus berlari melewati hutan yang terbakar di tengah hujan deras. Semakin jauh mereka masuk ke dalam Hutan Barat, semakin besar nyala api. Angin kencang tiba-tiba bertiup, membuat api di pohon semakin besar. Sebuah pohon tumbang, hampir menimpa lima belas orang warga.
"Tidaaak! Itu akan menimpa kita!"
"Terus bergerak! Jangan berhenti! Fokuskan pandangan kalian ke depan! Kami, para peri, akan membantu. Cepat, lari!" seru para peri sambil melindungi rakyat.
"Hei, Helix, apa tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan sekarang?" tanya Levia.
"Tidak ada, Levia. Kita harus terus berlari. Kita bukan peran utama. Lihat saja, kita ada di tengah. Kalau kita peran utama, pasti posisi kita di depan, kan, seperti yang diatur oleh penulisnya," jawab Helix sambil tersenyum masam.
Sementara itu, di tengah reruntuhan kota Yidh.
"Lapor, Jenderal! Burung pengintai kita melihat banyak sekali rombongan yang sedang berlari di Hutan Barat yang terbakar. Mereka adalah rakyat Magi, dan terlihat banyak peri di sana," lapor seorang prajurit.
"Berkat bantuan Riza, musuh di sini berkurang. Mereka sudah dipindahkan. Kirim beberapa pasukan untuk bersiaga. Siapapun yang keluar dari hutan itu, serang mereka dengan sihir," perintah sang Jenderal dengan nada tegas.
…Aku tidak menyangka rakyat Magi akan ikut bertempur, apalagi dengan bantuan para peri. Biasanya mereka enggan terlibat dalam perselisihan manusia…
Sementara itu, di berbagai tempat di wilayah Magi, masih banyak pasukan yang bertarung. Namun, jumlah mereka semakin berkurang. Para orc sudah banyak yang tewas, dan para penunggang wyvern yang menyerang dari udara juga semakin sedikit.
…Sialan, pasukan Yidh beruntung memiliki pengguna teleportasi. Sementara kami harus menunggu lama untuk mendapatkan bala bantuan…
"Pasukan, tetap bertahan! Lindungi tempat pengobatan kita. Awasi para orc, jangan biarkan mereka mendekat!" teriak seorang komandan, berusaha mempertahankan semangat prajuritnya.
Di setiap sudut wilayah Magi, pertempuran masih berkobar. Terlihat banyak prajurit yang mulai kelelahan, beberapa di antaranya terbaring lemas, tak mampu lagi berdiri.
"Dia sudah tidak bisa bergerak. Ini kesempatan kita, serang dia!" teriak seorang prajurit yang menemukan celah untuk menyerang musuh.
Di malam yang riuh dengan suara teriakan dan hujan deras, tubuh-tubuh prajurit terbaring di mana-mana. Hujan turun tanpa henti, membuat tanah dipenuhi genangan air bercampur darah. Di tengah medan perang yang kelam ini, setiap prajurit berharap pertarungan segera usai. Banyak yang mulai kehilangan harapan, termasuk seorang prajurit yang duduk termenung menatap langit.
…Aku sudah tidak mampu bergerak lagi. Kuharap aku bisa pulang dan memeluk istri serta anakku sekali lagi…
Tak lama kemudian, dia melihat sesuatu di atas.
…Apa itu? Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas…
Dia terus menatap ke atas, mencoba mengenali benda yang mendekat. Semakin lama, semakin jelas terlihat—dan tiba-tiba, tubuhnya dihantam oleh orc besar yang jatuh dari atas. Tubuhnya pun hancur seketika.
"Orc! Ada orc lagi!" teriak para prajurit, panik.
Puluhan orc mulai berjatuhan dari arah selatan. Mereka tinggi, antara 7 hingga 10 meter, dan mulai bermunculan di berbagai tempat. Setiap orc menyerang dengan keganasan yang mematikan.
"Mengapa ada orc lagi? Midra seharusnya sudah kalah!"
Semakin banyak orc yang jatuh dan menyerang segala sesuatu di sekitar mereka. Tak lama kemudian, dari arah selatan, muncul ribuan pasukan yang menunggangi wyvern dan kuda, membawa teror ke medan perang.
"Ini mustahil… Kita sudah tidak bisa menang…" salah seorang prajurit bergumam putus asa.
Sementara itu, di reruntuhan Kota Magi, para orc mulai bermunculan dari langit.
"Lapor, Jenderal! Dari arah selatan muncul pasukan baru. Karena gelap, kami tidak bisa memastikan asal mereka, tetapi mereka membawa banyak orc yang lebih besar dari biasanya."
"Riza, tidak ada waktu untuk beristirahat. Para orc kembali menyerang, dan kali ini ukurannya lebih besar," ujar sang Jenderal kepada Riza.
"Mustahil… Aku sudah terlalu banyak menggunakan kekuatanku. Aku sudah lemas…" jawab Riza, kelelahan.
Di tengah keputusasaan Riza, tiba-tiba Rika datang menghampirinya.
"Riza, aku akan membantumu," kata Rika, menatap Riza dengan tekad.
Riza, yang merupakan seorang pengguna teleportasi, mulai mengumpulkan kekuatannya kembali, berusaha memindahkan orc yang muncul di sekitar pasukan Yidh. Sementara itu, Rika melancarkan serangan ke arah orc dan beberapa pasukan musuh di udara. Para prajurit Yidh bergabung, menyerang orc dan pasukan musuh yang mendekat, sementara beberapa lainnya tetap berjaga menghadap ke arah barat, bersiap menghadapi ancaman baru.
Waktu terus berlalu. Dengan kedatangan puluhan orc besar dan ribuan pasukan baru, teriakan pertempuran semakin memekakkan telinga. Perlahan, mendung mulai menghilang, dan terlihat matahari terbit di balik langit yang sedikit cerah, meski hujan deras masih turun.
"Jenderal, aku sudah tidak bisa lagi menggunakan sihir teleportasi. Aku dan Rika sudah berhasil mengurangi jumlah musuh. Izinkan kami beristirahat," kata Riza dengan napas terengah.
"Baiklah, segera masuk ke tempat pengobatan," jawab sang Jenderal.
…Pertempuran ini seakan tak berujung. Orc dan pasukan musuh baru terus berdatangan. Saat ini, kita hanya bisa melindungi tempat ini…
Tak lama kemudian, seorang prajurit yang sedang mengamati Hutan Barat berteriak.
"Hutan itu mulai padam tiba-tiba! Sepertinya ada sesuatu yang memadamkannya. Apa yang harus kita lakukan, Jenderal?"
"Jika ada satu saja yang muncul dari sana, segera tembak dengan sihir kalian," perintah sang Jenderal.
Para prajurit Yidh mengarahkan pandangan mereka ke Hutan Barat yang terletak jauh di depan. Area itu terlihat padam dengan cepat.
"Mungkinkah kita perlu menembakkan sihir ke sana untuk berjaga-jaga?" salah seorang prajurit berbisik.
"Jangan! Jenderal belum memerintahkan kita."
Saat mereka masih berbicara, tiba-tiba sebuah tembakan meriam melesat dengan cepat ke arah mereka, disusul ledakan dahsyat.
"Serangan! Ada serangan dari Hutan Barat!" teriak seorang prajurit.
Peluru meriam mulai berterbangan, menghantam berbagai tempat di sekitar Magi. Ledakan meriam terdengar di berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai orc dan pasukan yang ada di sekitar.
"Tembaki Hutan Barat dengan sihir!" perintah seorang komandan.
Seketika, para prajurit yidh menembakkan sihir mereka ke arah barat. Tak lama kemudian, sihir serupa ditembakkan dari Hutan Barat, menyerbu balik serangan sihir Yidh. Tabrakan sihir di udara menciptakan ledakan besar, dan dari arah barat terdengar sebuah teriakan menggema.
"Majuuuuu!"
Para rakyat Magi mulai berlari menuju reruntuhan kota sambil membawa pedang dan tameng. Beberapa di antaranya menembakkan sihir ke arah reruntuhan, sementara itu, di dalam Hutan Yidh…
"Para orang tua dan wanita, terus tembakkan meriam kalian! Anak-anak, siapkan pelurunya! Tembakkan ke arah depan sampai rakyat Magi mendekat. Jika mereka sudah sampai, hentikan tembakan. Kita harus segera membuat tempat pengobatan. Para dokter, harap bersiap!" seru seorang pemimpin.
"Siap!" jawab para prajurit dengan lantang.
"Para peri yang bertugas di sini, segera keluarkan sihir pelindung," lanjut pemimpin itu.
"Baik!" jawab para peri serempak.
Para rakyat Magi terus berlari menuju reruntuhan kota, diiringi tembakan meriam dari Hutan Barat. Para penyihir Magi menembakkan sihir ke udara untuk menahan serangan sihir Yidh, sementara para peri menyerang pasukan wyvern yang mendekati mereka.
"Gawat! Pasukan Magi semakin dekat! Siapkan perisai, dan para pengguna pedang, bersiaplah!" teriak salah seorang prajurit Yidh.
Tak lama kemudian, tembakan meriam berhenti, dan pasukan Magi tiba di medan pertempuran.
"Ratu Peri, tolong halangi para orc yang mendekat ke sini," pinta Raja Van.
"Baik, Raja Van," jawab Ratu Peri.
Pertempuran sengit pun dimulai. Para penyihir dari Magi dan Yidh saling menyerang, sementara beberapa pasukan dari negara lain serta orc turut bertarung, saling serang satu sama lain. Pasukan Magi semakin banyak yang tumbang. Di udara, para peri bertempur melawan wyvern, dan sebagian dari mereka fokus melindungi prajurit Magi pengguna pedang.
"Para peri, berjuanglah!" seru Ratu Peri memberi semangat.
"Siap, Ratu Peri!" jawab para peri.
…Aku bisa melihatnya, kami baru saja bergabung dalam pertempuran ini, namun sudah banyak korban berjatuhan, baik dari rakyat Magi maupun rakyat peri. Ini gawat, haruskah aku menggunakan sihir unikku? Tidak, jika aku menggunakannya, hanya ras ku yang akan selamat. Semua orang di bawah bisa terbakar, termasuk rakyat Magi…
Di tengah pertempuran, di tempat Hill dan Helix.
"Helix, di belakangmu!" teriak Levia.
Helix menahan serangan yang datang dengan pedangnya, sementara Levia membantu dengan menendang musuh yang mendekat.
"Oi Levia, kita adalah tim yang cocok. Jangan-jangan, inilah yang disebut kekuatan persahabatan," kata Helix sambil tersenyum.
"Aku bukan sahabatmu. Sahabatku hanya Hill," balas Levia, lalu bergumam dengan cemas, "Hill... Hill, oh tidak, Hill, di mana kamu? Apakah kamu sudah makan? Apakah kamu baik-baik saja?"
…Oh tidak, Levia mulai menangis lagi…
"Levia, awas, di belakangmu!" Helix memperingatkannya.
Saat itu, seorang musuh hendak menyerang Levia dari belakang, namun Helix dengan cepat menyelamatkannya.
"Jangan lengah! Kita sedang di tengah pertempuran sekarang. Kau tidak punya 'plot armor', kau bisa mati kapan saja," ucap Helix tegas.
Levia menghapus air matanya dan kembali fokus, membantu Helix. Waktu terus berlalu, dan pertempuran semakin sengit.
"Oi Helix, musuh semakin banyak! Awas, sihir! Menghindar!"
"Hampir saja!" balas Helix.
"Helix, itu... Oh tidak! Apakah kau bisa melawannya?" tanya Levia dengan cemas.
"Hahaha, yang benar saja. Itu besar sekali," jawab Helix sambil melihat empat orc besar yang mendekat.
Tak lama kemudian, dari atas, seekor wyvern melesat cepat menyerang Helix dan Levia.
"Helix, awas! Menunduk!" seru Levia.
"Astaga, berat sekali ini. Musuh di sini saja sudah banyak, sekarang ditambah orc, lalu wyvern dari atas. Yang benar saja!" Helix mengeluh sambil tersenyum getir. "Levia, sebaiknya kau hadapi para wyvern itu. Aku akan mengatasi musuh di sini."
"Baiklah! Hei, wyvern jelek! Kemarilah dan serang aku jika kau bisa!" teriak Levia sambil terbang ke atas untuk menarik perhatian wyvern.
Di bawah, Helix mulai menyerang pasukan musuh di hadapannya. Tak lama kemudian, orc besar itu mendekat, memaksa Helix mundur sambil terus melawan musuh yang mengejarnya. Seorang orc berlari ke arahnya, menyerang dengan ganas. Helix segera menghindar, dan serangan orc tersebut justru mengenai pasukan musuh di sekitarnya.
"Hampir saja! Apakah ini bisa disebut 'plot armor'? Sepertinya iya," gumam Helix sambil tersenyum masam.
Sementara itu, di udara, terlihat Levia dikejar oleh tiga wyvern.
"Mereka cepat sekali! Aku hanya bisa menarik perhatian mereka. Melawan langsung pasti sulit, aku tidak punya sihir serangan atau pelindung," gumam Levia cemas.
Tak lama kemudian, sebuah panah petir besar menyambar salah satu wyvern yang mengejar Levia, membuatnya tersentak.
"Oh, Ratu Peri! Terima kasih!"
"Aku akan menyerang lagi," jawab Ratu Peri dari kejauhan.
Ratu Peri segera menembakkan sihir yang sama dan berhasil mengenai satu lagi wyvern.
...Ratu Peri memang luar biasa, kuat dan keren sekali...
"Levia, aku akan mulai menyerang lagi!"
"Ratu Peri, awas! Di belakangmu!" seru Levia.
Terlihat di belakang Ratu Peri, seekor wyvern mendekat hendak menyerang, tetapi Ratu Peri berhasil menghindar dengan gesit. Namun, kini semakin banyak wyvern yang mulai mengepungnya.
...Aah, ini gawat. Ratu Peri sepertinya mulai kewalahan...
Sementara itu, satu wyvern terus mengejar Levia dengan kecepatan tinggi, semakin dekat dari belakang. Penunggangnya mengangkat tangan, mencoba meraih tubuh Levia yang mulai kelelahan.
...Gawat, gawat, ini berbahaya...
Akhirnya, Levia tertangkap oleh penunggang wyvern itu.
"Cebol sialan! Kena juga kau!" ejek penunggang itu sambil menggenggam tubuh Levia dengan erat.
...Aahh! Kalau begini terus, tubuhku bisa remuk...
"Seseorang tolong aku! Helix! Hill!" teriak Levia putus asa, berharap ada yang bisa menyelamatkannya.
Tak lama kemudian, sebuah anak panah menghunjam pergelangan tangan penunggang wyvern itu, membuatnya melepaskan genggamannya. Levia pun berhasil bebas.
"Aww! Sakit! Anak panah ini kecil dan tidak terlalu dalam, tapi tetap saja sakit, awww!" keluh penunggang itu kesakitan.
Wyvern itu kembali mengejar Levia, namun tiba-tiba, seseorang dengan cepat menarik tubuh Levia dan menggenggamnya dengan lembut.
"Hill! Oh, Hill! Akhirnya! Hill, ini benar-benar kamu? Oh, Hill, syukurlah… Aku sangat mengkhawatirkanmu!" seru Levia sambil tersenyum lega dan menangis bahagia.
Hill muncul menunggangi unicornnya dengan cepat. Levia memeluknya erat, merasa lega karena akhirnya bisa melihat Hill dalam keadaan baik-baik saja.
"Terima kasih, Levia. Dari atas sini, medan pertempuran terlihat mengerikan," ujar Hill sambil menatap ke bawah.
"Hill, ke mana saja kamu selama ini? Kamu hilang selama empat hari! Aku sangat, sangat, sangat mengkhawatirkanmu," ucap Levia, air matanya berlinang.
"Ceritanya panjang, Levia. Tapi sekarang kita harus fokus menghadapi wyvern yang mengejar kita," jawab Hill dengan tenang.
Hill mulai menarik anak panah dari busurnya, mengarahkannya ke wyvern itu. Levia menatap Hill penuh kekaguman.
...Hill, kamu terlihat berbeda. Ekspresimu begitu serius dan dewasa… apakah kamu sudah mengalami banyak hal? Kamu fokus sekali… dan terlihat keren, Hill...
Dengan gerakan cepat, Hill menembakkan panahnya, mengarah langsung ke wyvern itu.
"Oh, tidak! Panahku meleset! Sepertinya aku harus mencobanya lagi. Unicorn, tolong kurangi kecepatannya sedikit," kata Hill sambil tersenyum.
Levia terkikik, tak mampu menahan tawanya. "Hahaha, Hill, kamu masih sama saja."
"Hmm? Levia, kenapa kamu tertawa?" tanya Hill, bingung.
"Tidak apa-apa, ayo kita coba lagi!" jawab Levia, masih tersenyum.
"Baiklah," jawab Hill sambil kembali menarik busurnya dengan penuh percaya diri.
Hill kembali mengarahkan panahnya, lalu menembakkannya lagi. Tapi, panahnya meleset lagi. Hingga delapan kali ia mencoba, namun selalu gagal mengenai wyvern yang terus bergerak.
"Ini sulit sekali. Wyvern itu tidak bisa diam, dan aku kesulitan mengarah karena tubuhku ikut bergerak dengan gerakan unicorn," keluh Hill, berkonsentrasi penuh.
Levia hanya tersenyum melihat usaha Hill. Tak lama kemudian, Hill mencoba lagi, kali ini dengan lebih fokus. Ia menembakkan panahnya, yang melesat cepat menuju wyvern. Panah itu akhirnya tepat mengenai mata wyvern, membuat makhluk itu terbang tak terkendali sebelum akhirnya jatuh.
"Hill, kamu berhasil! Meski hanya sedikit, kalau mengenai mata pasti sakit! Kamu keren sekali, Hill!" seru Levia kagum.
"Levia, di mana Paman Helix?"
"Tadi dia ada di bawah. Biar kulihat… Oh, itu dia! Dia sedang berlari sambil dikejar orc!" jawab Levia sambil menunjuk ke arah Helix yang tampak berusaha menghindar.
Hill segera mengarahkan unicornnya untuk menjemput Helix. Dalam sekejap, unicorn itu terbang cepat ke arah Helix. Tiba-tiba, Helix pun terangkat dan berada di punggung unicorn bersama mereka.
"Hey, hey! Apa ini?! Wow, aku… tiba-tiba ada di sini? Hill, Levia… Hill! Syukurlah kamu baik-baik saja!" Helix tersenyum lega sambil menitikkan air mata, lalu langsung memeluk Hill. Levia juga memeluk Hill dengan wajah penuh kebahagiaan, dan mereka bertiga menangis bersama.
Hill tersenyum hangat. "Kalian ini berlebihan, tapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
Helix mengamati wajah Hill dan terkejut. "Hill, kamu tersenyum?! Ini pertama kalinya aku melihatmu tersenyum! Kamu terlihat manis sekali kalau tersenyum, Hill!"
Levia terkikik. "Hahaha, Helix, kamu baru pertama kali ya? Aku sudah sering melihatnya dulu!"
Tak lama kemudian, gelang di pergelangan tangan Hill mulai bercahaya, dan tanpa mereka sadari, dari saku baju Helix muncul cahaya yang sama.
"Paman Helix, Levia, di bawah sangat mengerikan. Terlihat sedikit banjir di mana-mana, tapi airnya… merah," kata Hill dengan nada cemas.
Helix mengangguk pelan. "Ya, Hill, sudah hujan deras sejak kau pergi dan belum juga reda. Tapi hujan ini berbeda dari biasanya. Awan mendungnya sudah pergi, meskipun hujan masih deras. Langit terlihat cerah di sini."
Hill menghela napas dalam-dalam, lalu berkata, "Mari kita bertarung."
Helix segera merespon, "Hill, kamu tetap di atas dan tunggangi unicorn. Panahmu akan sangat membantu dari sini. Aku dan Levia akan turun."
Hill mengangguk setuju. "Baiklah."
Unicorn itu lalu turun mendekati daratan agar Helix dan Levia bisa turun dengan aman. Setelah mereka turun, Levia menoleh ke Hill. "Hill, mungkin kamu bisa membantu membawa rakyat Magi yang terluka ke tempat pengobatan di hutan barat. Ada tenda besar di sana. Cari mereka yang memakai lambang bulan di dada."
Mengerti dengan perintah Levia, Hill menaiki unicornnya lagi dan terbang ke berbagai arah, mencari prajurit Magi yang terluka. Dari atas, Hill menyaksikan pemandangan mengerikan: banyak prajurit dengan lambang bulan terbaring tak bergerak, begitu pula para peri. Di tengah kepedihannya melihat kondisi mereka, Hill melihat Ratu Peri di bawah sedang berteriak, tampak meminta beberapa peri untuk membantu mengangkat tubuh seorang prajurit yang tampaknya masih hidup.
“Unicorn, cepat bawa orang itu ke tenda!” perintah Hill.
Dengan cepat, unicornnya terbang mendekat dan mengangkat tubuh prajurit itu dengan lembut. Hill kemudian meraih dua peri yang tampak kelelahan dan berkata dengan lembut, "Tenanglah, kalian. Aku akan membawa kalian ke tenda itu untuk diobati."
Salah satu peri bertanya dengan ragu, "Hey, tunggu… siapa kamu?"
"Dia Hill."
Peri-peri itu akhirnya menatap Hill dengan penuh rasa terima kasih dan kelegaan, membiarkan dirinya di bawa hill menuju tenda pengobatan.
Sementara itu, di tempat Ratu Peri, ia melihat Hill yang menunggangi unicorn, dengan seorang wanita bertubuh kecil dan rambut putih panjang berada di atasnya. Ratu Peri tersenyum, merasa lega.
“…Hill, terima kasih.”
Hill akhirnya tiba di tenda pengobatan. Begitu sampai, ia terkejut melihat banyak korban terbaring tak bergerak, sementara beberapa di antaranya masih tergeletak dengan tubuh penuh luka, berteriak kesakitan. Hill juga melihat anak-anak seusianya menangis karena kehilangan ayah mereka. Melihat pemandangan itu, ingatan Hill pun kembali pada masa-masa kelamnya, ketika ia kehilangan kedua orang tuanya.
“…Ini tidak akan berakhir seperti ini. Selama perang berlangsung, korban akan terus berjatuhan. Mereka akan merasakan apa yang aku rasakan—kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sangat menyakitkan. Para prajurit di sini pasti punya keluarga yang sedang menunggu mereka pulang. Tapi jika perang ini terus berlanjut, semakin banyak ibu dan anak yang akan kehilangan suami dan ayah mereka. Mereka rela mengorbankan segalanya demi kekuasaan. Mereka menghancurkan rumah, membakar hutan. Mungkin mereka berpikir mereka bisa memperbaiki segala kerusakan yang mereka buat, tapi kenyataannya, kerusakan itu tidak akan pernah bisa diperbaiki. Mereka tak bisa mengembalikan ayah yang telah gugur untuk anak-anak mereka. Pemulihan yang mereka bayangkan hanyalah ilusi. Kekuasaan yang mereka rebut akan sia-sia begitu mereka mati. Cukup sudah dengan semua ini…”
Tiba-tiba, Hill merasa dirinya berada di tempat yang sangat asing, serba putih.
“…Tempat ini lagi…”
Tak lama kemudian, sebuah suara wanita terdengar, mengisi keheningan tempat itu.
“HEAL OF THE WORLD.”
“Apa maksudmu?” tanya Hill, bingung.
“Hill, kamu telah mendapatkan gelang surya dan kalung surya. Sekarang, satu-satunya yang perlu kamu dapatkan adalah cincin surya.”
Sementara itu, di tengah pertempuran, Helix dan Levia terus bertarung.
"Aaaghh, Levia, aku mulai merasa lelah," keluh Helix.
"Tahan sedikit lagi, Helix!" jawab Levia dengan tegas.
Mereka terus melawan, tetapi tak lama kemudian, cahaya aneh muncul dari saku baju Helix.
"Oi, Helix, apa itu? Ada cahaya di bajumu!" teriak Levia, penasaran.
"Eh? Apa ini? Tunggu, ini cincin yang aku dapatkan waktu unicorn itu membawa aku," kata Helix, bingung. "Cincin ini kecil, jadi aku simpan di saku."
Helix mencoba mengambil cincin itu, tetapi tiba-tiba cincin itu bergerak sendiri, terbang ke arah barat dengan cepat, menarik tubuh Helix bersamanya.
"Ooiii, apa ini? Cincin itu menarikku! Ini cepat sekali!"
Perlahan, tubuh Helix terangkat ke udara, ditarik oleh cincin yang ada di sakunya, terbang ke atas. Levia yang melihat itu langsung mengejar Helix dengan cepat.
Sementara itu, di tempat Hill…
…Gelang Hill mulai bersinar.
"...Jadi begini, aku tahu sekarang."
Hill melihat Helix terbang cepat ke arahnya, diikuti oleh Levia yang mengejar.
"Hill! Awas! Menghindarlah!" teriak Levia.
"Hill, hati-hati!" teriak Helix dengan panik.
Tiba-tiba, Helix berhenti terbang tepat di depan Hill, namun Levia, yang terbang cepat di belakang, menabrak tubuh Helix.
"Awwwww! Apa-apaan sih, Helix?!" teriak Levia, kesal dan kesakitan.
Cahaya dari gelang Hill semakin bersinar terang, sementara cincin yang berada di saku Helix juga mulai memancarkan cahaya yang lebih kuat. Cincin itu terbang perlahan keluar dari saku Helix, menuju jari telunjuk kanan Hill. Mereka semua terus bersinar dengan intens.
Orang-orang di sekitar Hill yang melihat kejadian ini terheran-heran, tak tahu apa yang sedang terjadi.
Seketika, Hill berteriak kepada Helix dan Levia dengan serius.
"Helix, jangan biarkan rakyat Magi keluar dari hutan! Levia, segera beri tahu Ratu Peri! Perintahkan para peri dan rakyat Magi yang tersisa untuk kembali ke hutan, cepat!"
Levia dan Helix, yang tahu Hill pasti akan melakukan sesuatu yang besar, mereka angsung menuruti perintahnya tanpa ragu.
"Baiklah," jawab mereka bersama-sama.
Seketika, Levia memegang jubah Hill, dan mereka terbang dengan cepat ke arah pertempuran. Waktu berlalu, dan akhirnya mereka sampai di medan perang.
"Baiklah, Levia, cepat lakukan," perintah Hill.
"Ok," jawab Levia dengan sigap.
Hill kemudian terbang keliling berbagai wilayah Magi dengan unicorn-nya, menarik perhatian banyak orang di bawah.
"Oi, apa itu?" seorang prajurit bertanya.
"Itu unicorn! Jarang sekali aku melihat makhluk seperti itu," jawab yang lain.
"Lihat, ada anak kecil di atasnya!" seru seseorang.
"Sepertinya banyak wayvern yang mulai mengejar mereka," kata seorang prajurit lainnya.
"Dia sangat cepat, bahkan wayvern tidak bisa mengimbangi kecepatan itu," tambah seorang saksi lainnya.
Sementara itu, Levia tiba di dekat Ratu Peri, kebetulan Raja Van juga ada di sana.
"Ratu Peri, Raja Van, perintahkan semua pasukan kita untuk mundur ke hutan barat," kata Levia dengan tegas.
"Apa maksudmu, Levia? Kita tidak bisa mundur!" jawab Ratu Peri dengan cemas.
"Ratu Peri, lakukan saja. Hill menyuruh kalian mundur ke hutan. Aku melihat ekspresinya—dia tidak main-main. Pasti ada sesuatu yang besar yang ingin dia lakukan," jawab Levia, penuh keyakinan.
Ratu Peri dan Raja Van terdiam sejenak, saling memandang. Tak lama kemudian, Ratu Peri melihat ke arah Raja Van, dan mereka akhirnya sepakat. Mereka berteriak kepada pasukan mereka.
"Pasukan Magi, mundur ke hutan barat! Segera! Mundur, mundur!" teriak Ratu Peri.
"Para peri, mundur ke hutan barat! Cepat!" teriak Raja Van.
Dengan cepat, pasukan Magi dan peri mulai berlari menuju hutan barat, terus bertahan sambil melawan musuh yang mengejar mereka. Beberapa orc dan pasukan lainnya terus mengejar, tapi mereka tetap berusaha melawan meski terpaksa mundur.
Prajurit dari Yidh dan negara lain yang melihatnya merasa bingung. Ini pertama kalinya dalam peperangan ini mereka melihat pasukan mundur.
Sementara itu, di udara, Hill terus berkeliling di setiap penjuru wilayah Magi, melewati banyak pasukan yang sedang bertarung. Dia bergerak cepat menuju ujung wilayah Magi, berputar ke berbagai tempat.
…“Mengerikan sekali… banyak prajurit yang terjebak di tengah banjir air merah ini… keluarga mereka pasti sedang menunggu mereka pulang. Tapi maafkan aku, aku tidak bisa menolong kalian…” pikir Hill, merasa tertekan dengan kenyataan yang ada.
Waktu terus berlalu, dan Hill akhirnya kembali dengan cepat menuju hutan barat. Di hutan barat, orang-orang yang masih hidup mulai berkumpul, terlihat bingung dan bertanya-tanya.
“Kenapa kita mundur? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya seorang peri.
Dari jumlah yang hampir seribu, sekarang hanya ada sekitar 600 orang yang kembali, bersama 400 peri yang selamat.
"Semuanya tenanglah, kita akan diam di sini dulu," kata Ratu Peri dengan suara yang menenangkan.
Tak lama kemudian, Hill mulai terlihat menunggangi unicorn-nya, mendekat ke hutan barat, lalu berteriak.
"Levia, apakah semuanya sudah kembali?"
Ratu Peri mendekat ke Hill, dengan wajah cemas.
"Mereka yang masih hidup sudah kembali, Hill. Sebenarnya, apa yang kamu rencanakan?" tanya Ratu Peri.
"Untuk sekarang, jangan tanya dulu. Aku harus segera kembali ke sana," jawab Hill dengan tegas.
"Hill…" suara Levia terdengar, penuh rasa khawatir, tetapi Hill sudah bergegas pergi.
Hill segera kembali ke tengah reruntuhan kota, terbang menaiki unicorn yang kini terus berputar di atas bekas gerbang masuk ke kota Magi. Beberapa orang di bawah mulai memperhatikan gerak-geriknya.
"Apa itu? Dia terus berputar di tempat itu," salah seorang dari mereka bertanya, tampak bingung.
"Aku juga tidak tahu," jawab yang lain, terheran-heran.
Hill merenung sejenak, merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan sesuatu besar. Dia memutuskan, tempat ini akan menjadi titik awal perubahan.
“…Baiklah, mungkin ini adalah tempat yang pas. Aku akan melakukannya di sini. Aku tidak akan membiarkan lebih banyak orang menderita karena peperangan ini,” pikir Hill, mantap dengan keputusan yang akan dia ambil.
Dengan penuh keyakinan, Hill berdiri di atas punggung unicorn-nya. Ia mengangkat kedua tangannya ke udara, dan seketika gelang serta cincin di tubuhnya mulai bercahaya. Perlahan, unicorn yang ditungganginya juga mulai bersinar.
“…Unicorn ini bukanlah makhluk kuno. Dia lebih cepat, lebih besar, dan lebih lincah dari unicorn biasa. Sebenarnya, dia bukan unicorn sama sekali. Dia hanyalah sebuah kalung yang tiba-tiba muncul di dalam tas ku. Aku mengenakannya saat di penjara Disha, dan saat itu kalung itu mengeluarkan cahaya dan berubah menjadi unicorn. Dia adalah Kalung Surya...,” Hill berpikir dalam hati. “Setelah aku melihat ketiga benda ini, ada gambar baru yang muncul jelas di halaman buku ku. Ketika ketiga item surya ini terkumpul, mereka akan berubah. Begitulah yang wanita itu katakan di tempat putih sebelumnya.”
Perlahan, gelang, cincin, dan unicorn yang ditungganginya mulai berubah menjadi cahaya emas. Cahaya itu kemudian terbang mendekat ke tangan Hill, membentuk sesuatu dengan sangat perlahan.
“…Aku bisa mengapung,” pikir Hill dengan terkejut. Unicorn yang tadinya ada di bawahnya menghilang, namun tubuhnya tetap mengapung di udara. “Tidak, ini bukan karena aku terbang, tapi cahaya-cahaya ini yang menahan tubuhku.”
Di bawah, banyak orang menyaksikan keajaiban itu dengan takjub. Mereka melihat Hill yang tampak semakin bersinar.
"Hey, Rikka, lihat anak itu. Dia bisa terbang seperti kamu," ujar seorang jenderal dari Yidh yang terkejut.
"Anak itu… dia terlihat mirip sekali dengan Ratu Elen," jawab rika.
Mereka memandang Hill dengan heran, merasakan aura yang berbeda dan kekuatan besar yang kini ada di hadapan mereka.
Sementara itu di Hutan Barat, semua orang yang berada di sana bisa melihat Hill yang sedang mengapung dikelilingi cahaya emas. Levia terlihat sangat khawatir dan cemas, matanya tertuju pada Hill yang tampak berada dalam kondisi yang sangat berbeda.
Di tempat Hill, cahaya yang berputar di dekat tangannya perlahan-lahan membentuk sebuah tombak besar. Cahaya itu semakin jelas membentuk sebuah tombak berwarna putih dengan garis-garis emas yang menghiasi sepanjang tubuhnya. Gagang tombak itu berwarna emas, dengan motif yang mirip dengan bentuk pohon harapan, yang tampak semakin jelas seiring waktu. Hujan deras yang semula mengguyur di bawah langit cerah perlahan mulai mereda, menciptakan suasana yang aneh dan magis.
"...Saat ini aku mengangkat tombak besar ini. Meskipun besar, tetapi ini sangat ringan. Baiklah, sekarang waktunya," pikir Hill dengan tekad.
Hill mulai menarik tombak itu, perlahan membaliknya ke bawah. Sambil mengapung, dia sedikit mengangkat tubuhnya ke atas, tangan kiri mengarah ke bawah, sementara tangan kanan perlahan mengangkat tombak itu seakan-akan hendak menusukkannya ke tanah. Dengan gerakan cepat, Hill mulai bergerak ke bawah, menurunkan tangan kanannya yang mengangkat tombak.
“Hill, dapatkan cincin surya. Jika ketiga benda surya terkumpul, mereka akan berubah menjadi Tombak Surya, sebuah tombak kuno yang bisa…” terdengar suara itu di pikirannya, mengingatkan Hill tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Dengan sekuat tenaga, Hill melemparkan tombaknya ke tanah dari udara sebelum dirinya mendarat. Begitu tombak itu menyentuh tanah, sebuah angin besar tiba-tiba muncul, menyapu seluruh negara Magi. Banjir air merah yang telah melanda magi itu terhempas, menciptakan kekosongan, dan tanah di bawah Hill mulai mengering. Hill pun berpijak di tanah, tepat di depan tombak yang kini menancap di tanah, dan dengan kedua tangan, dia menarik gagangnya dengan segenap tenaga.
Sementara itu, di tempat yang jauh di dalam dunia putih sebelum nya, Hill mendengar suara wanita yang mengingatkannya akan risiko besar yang ia hadapi.
“Hill, ketika ketiga benda surya terkumpul, mereka akan berubah menjadi Tombak Surya, yang bisa mengembalikan waktu ke keadaan semula, semua hal yang kau inginkan. Jika ada makhluk hidup di sekitarnya, mereka akan kembali ke tempat yang sesuai dengan waktu yang kau pilih, dan mereka tidak akan mengingat apapun. Efek ini tidak berlaku bagi pengguna tombak. Namun, jika ada makhluk jahat di sekitar tombak, mereka akan hangus dalam sekejap. Meski Tombak Surya bisa mengembalikan waktu, ia tidak dapat menghidupkan orang yang telah mati.”
“Jika aku memiliki Tombak Surya, bisakah aku mengembalikan Magi seperti semula dan menghentikan pertarungan ini?” tanya Hill dalam pikirannya.
“Bisa, selama kau menancapkan tombak ini di dalam area Magi dan melihat ke sekitarnya untuk mengembalikan apa yang kau inginkan. Tetapi, mengembalikan waktu satu negara tidaklah mudah. Semua stamina-mu akan terkuras habis. Dalam kondisimu sekarang, kamu bisa saja tidak sadarkan diri selama satu atau dua bulan, dan umurmu akan berkurang sepuluh tahun, karena kamu tidak memiliki kekuatan sihir dan fisikmu lemah. Tombak Surya akan menggunakan umurmu untuk mengembalikan waktu Magi. Satu hal lagi, mungkin saja semua orang akan melupakanmu, mereka tidak akan mengingat keberadaanmu. Bahkan ibu-mu pun tidak akan ingat padamu. Itu adalah risiko yang akan kau dapatkan ketika menggunakan Tombak Surya untuk hal yang besar, terutama dalam kondisi fisik yang seperti ini.”
Sementara itu, di seluruh Magi, Hill terus menancapkan Tombak Surya dengan sekuat tenaga, hingga cahaya yang berasal dari tombak tersebut semakin terang. Gempa besar mulai mengguncang seluruh tanah Magi. Sebuah cahaya yang begitu terang muncul dari bawah tanah, menyebar ke seluruh penjuru Magi. Orang-orang mulai panik melihat fenomena yang luar biasa ini, dan para orc yang sebelumnya berada di dekat Hill tiba-tiba terbakar oleh cahaya yang menyelimuti mereka. Hill terus menarik tombak itu semakin dalam, dengan suara teriakan yang terdengar di sekitarnya.
"Semua harus kembali seperti semula! Aku ingin mengembalikan seluruh Magi seperti saat aku pertama kali datang ke kota bersama orang tua ku!" Hill berteriak. "Aku tidak peduli jika umurku berkurang sepuluh tahun, atau jika orang-orang melupakan aku! Aku hanya ingin peperangan ini selesai. Tidak boleh ada lagi korban di negara tempat tinggalku. Biarkan mereka yang masih hidup mendapatkan kembali rumah mereka!"
Di tengah teriakannya, Hill berpikir, Levia, Paman Helix, terimakasih atas segalanya...
Cahaya yang memancar semakin terang hingga menyilaukan seluruh Magi, membuat orang-orang yang berada di sana tidak dapat melihat apapun. Sementara itu, di Hutan Treeden, para penghuni hutan yang menyaksikan kejadian ini merasa terkejut dan khawatir.
..Hill, apa sebenarnya yang kamu lakukan? Semoga kamu baik-baik saja... Tunggu dulu, siapa itu Hill? Kenapa aku merasa khawatir, aku tidak mengenalnya...siapa dia..
Di seluruh Magi, kehancuran yang terjadi mulai menghilang. Para prajurit yang masih hidup dan yang gugur, semuanya mulai menghilang. Reruntuhan kota perlahan lenyap, dan segala kekacauan yang ada mulai hilang: darah, asap, semuanya menghilang begitu saja. Di Hutan Barat, pohon-pohon yang terbakar kembali pulih seperti semula, dan keadaan Magi mulai tampak kembali indah. Rumah-rumah, istana, kebun, sawah, dan sungai yang bersih kembali mengalir. Bahkan rumah Hill dan rumah orang tuanya, serta kebun ibunya, semuanya kembali seperti saat pertama kali Hill berkunjung ke kota bersama orang tuanya.
Di Hutan Barat, orang-orang yang menyaksikan pemandangan ini merasa bingung dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Pohon-pohon di sekitar mereka kembali hijau, tanpa ada tanda-tanda kebakaran sedikit pun.
"Apa yang terjadi?" tanya seseorang, kebingungan.
Sementara itu, di tempat Hill, wajahnya terlihat sangat pucat, tubuhnya lemas, dan kakinya bergetar. Tombak yang ia pegang perlahan menyusut, dan dalam sekejap Hill jatuh ke atas jembatan tembok yang berada tepat di depan gerbang kerajaan Magi.
Di Hutan Barat, para penghuni hutan masih terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Negara Magi telah pulih sepenuhnya.
"Helix, aku merasa seperti telah melupakan sesuatu yang sangat berharga," kata Levia, bingung.
"Aku pun merasakannya, Levia," jawab Helix, dengan ekspresi yang sama.
Mereka semua merasakan hal yang sama: mereka telah mendapatkan kembali negara mereka, namun ada sesuatu yang hilang, seolah ada bagian penting yang terlupakan. Mereka tahu ada seseorang yang telah membantu mereka, namun entah kenapa, mereka tidak bisa mengingat siapa orang itu. Tak lama kemudian, gempa besar mengguncang Hutan Barat dan Treeden.
Pohon Harapan di tengah hutan seperti bergerak sendiri, menjatuhkan butiran-butiran kecil berwarna putih yang tersebar ke sekitar magi. Butiran-butiran putih itu terbang ke setiap orang yang masih terduduk diam di Hutan Barat. Setiap butiran masuk ke dalam kepala mereka, dan mereka terdiam sejenak, suasana menjadi hening. Levia, yang masih terbang di udara, segera melesat menuju gerbang kota dengan sangat cepat, air mata mengalir di wajahnya.
..Sial, bagaimana bisa aku melupakan seseorang yang begitu berharga bagiku? Hill, Hill, Hill... pikir Levia dengan cemas..
Dia terus terbang menuju tempat Hill mengapung sebelumnya, dan tak lama kemudian, Levia melihat Hill terbaring tak berdaya di jembatan dekat gerbang kota. Segera, Levia menghampirinya.
"Hill... Hill... Hillll..." teriak Levia sambil menangis, menghampiri Hill yang terjatuh.
Hill perlahan membuka matanya dan berbicara dengan suara lemah. "Levia... Kau mengingatku? Syukurlah... Kain penutup matamu melorot, kau jadi tidak terlihat keren kalau menangis seperti itu..."
"Itu tidak penting. Kamu baik-baik saja kan?" tanya Levia, sambil khawatir.
"Aku sangat lemas... Aku memaksakan diriku... Aku tidak ingin kamu khawatir... Aku akan bilang sekarang, mungkin aku akan tidak sadar untuk waktu yang lama, itu efek sampingnya... Kau tahu kan dimana rumahku? Bawa aku kesana, aku ingin tidur di kamarku..."
Hill perlahan menutup matanya dan kesadarannya mulai menghilang.
"Hill... Hillllllll..." teriak Levia, sambil terisak, memegang tubuh Hill yang mulai kehilangan kesadaran.