Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Enam
Pagi mulai menyapa Vila. Sinar matahari tipis menembus jendela, membuat kamar itu terlihat hangat dan tenang. Karin terbangun perlahan, masih setengah sadar dari tidurnya yang lelap. Namun, ia terkejut saat merasakan sesuatu melingkar di perutnya. Tangannya segera meraba-raba, mencoba memastikan apa itu. Ternyata, itu adalah tangan Raka yang masih tertidur nyenyak di sampingnya. Napas hangat pria itu terasa di tengkuknya, menggelitik kulitnya hingga membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan hati-hati, Karin mencoba melepaskan genggaman tangan Raka yang melingkar di pinggangnya. Namun, seolah sadar akan usahanya, pelukan Raka malah semakin erat. Karin merasakan jantungnya berdetak cepat, tak tahu harus berbuat apa.
"Jangan pergi, biarkan seperti ini sebentar saja," gumam Raka dengan suara serak dan mata yang masih terpejam. Wajahnya perlahan mendekat ke bahu Karin, membuat gadis itu semakin tak berani bergerak.
Karin hanya bisa terdiam, menahan napas dan berusaha tetap tenang. Tak disangka, Raka sudah bangun dan mendekapnya dengan hangat.
Raka kemudian memutar tubuh Karin sehingga mereka saling berhadapan. Tatapan mereka bertemu, napas keduanya terasa beradu, semakin membuat suasana terasa intim. Perlahan, Raka mengangkat tangan dan menyentuh dagu Karin dengan lembut, matanya tertuju pada bibir gadis itu yang terlihat begitu menggoda.
"Karin, bolehkah aku..." Raka terhenti, tampak ragu untuk melanjutkan. Ia takut sikapnya yang tiba-tiba akan membuat Karin tak nyaman atau malah membenci dirinya.
Namun, tanpa banyak kata, Karin mengerti apa yang ada di pikiran Raka. Ia menatap Raka sejenak, lalu dengan perlahan, Karin mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di bibir Raka.
Raka sempat membelalakkan mata karena terkejut. Ia tak menyangka Karin yang memulai ciuman itu. Senyum perlahan menghiasi wajahnya sebelum ia membalas, mempererat pelukannya. Detak jantung Karin terasa di dadanya, membuatnya semakin ingin memeluk gadis itu erat-erat.
Raka menangkup wajah Karin dengan kedua tangannya dan mendekatkan wajah mereka kembali. Ciumannya perlahan mendalam, lidahnya mengeksplorasi bibir Karin yang manis. Kedua insan itu larut dalam ciuman hangat dan penuh kasih. Detak jantung Karin semakin cepat, namun ia pun mulai mengimbangi ciuman Raka, merasakan kelembutan dan ketulusan yang ada di dalamnya.
Ketika ciuman itu terasa semakin intens, Karin menyadari napasnya mulai tersengal. "Hentikan, aku… tidak bisa bernapas," katanya dengan napas yang memburu, lalu menahan dada Raka agar tak semakin mendekat. Ia menyentuh bibirnya yang terasa bengkak, merasakan efek dari ciuman hangat tadi.
Raka tertawa pelan, membiarkan Karin mengatur napasnya. "Maaf, aku terlalu terbawa suasana," ucapnya dengan nada lembut. Ada kilatan kebahagiaan di matanya yang tak dapat disembunyikan.
Keduanya masih terdiam ketika perut Karin tiba-tiba bergemuruh, mengusik keheningan di antara mereka.
"Kau lapar?" tanya Raka sambil menahan senyum.
Karin mengangguk malu-malu. Baru ia ingat kalau belum makan sejak kemarin, mengingat semua kejadian yang cukup menguras emosinya.
Raka bangkit dari ranjang dan duduk. "Ayo, kita sarapan. Aku tidak mau kau sakit hanya karena... ehm, ciuman kita tadi," godanya sambil terkekeh.
Karin merasa wajahnya memanas. "Raka, berhenti menggoda!" katanya, menundukkan kepala dan menyembunyikan rona merah di wajahnya. Ia pun bangkit dari ranjang, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Sebelum masuk, ia menoleh dan melihat Raka tersenyum sambil menatapnya.
Di dalam kamar mandi, Karin melihat pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya masih memerah, dan bibirnya terlihat sedikit bengkak. Tersenyum kecil, ia menyentuh bibirnya, mengingat ciuman lembut Raka. Perasaan hangat itu masih terasa, membuatnya sedikit malu tapi juga bahagia.
Setelah selesai membersihkan diri, ia keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang jauh lebih segar. Raka masih menatapnya dari atas ranjang.
"Mau ke mana?" tanyanya saat melihat Karin berjalan ke arah pintu.
"Katamu, kita sarapan, kan? Aku sudah merasa sangat lapar," jawab Karin, mengernyitkan dahi karena keheranan melihat tatapan Raka yang lain dari biasanya.
"Tapi, sebelum itu, kau bisa membantuku sebentar?" Raka tersenyum tipis.
Karin mengerutkan kening. "Bantu apa?"
"Yah, tanganku ini masih sakit," katanya sambil menunjukkan lengan yang terluka, "Jadi... maukah kau membantuku mandi?"
Karin membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Raka! Mandilah sendiri! Jangan berlebihan!" katanya sambil berlari keluar kamar, tak ingin mendengar alasan pria itu.
Dari dalam kamar, Raka tertawa mendengar jawaban Karin yang gemas itu. "Karin, kau tega sekali padaku!" teriaknya, walaupun gadis itu sudah jauh di balik pintu.
Dengan perlahan, Raka bergerak menuju kamar mandi, meski terasa nyeri di tubuhnya. Ia hanya mencuci wajahnya dan menyegarkan diri, karena sulit untuk melepas pakaiannya sendiri dengan lengan yang diperban.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya bertemu di ruang makan. Karin sudah menyiapkan sarapan sederhana, dan Raka duduk di seberangnya. Saat mereka makan, mereka saling melirik dan tersenyum, mengingat kejadian-kejadian tadi pagi yang masih mengisi hati mereka dengan kehangatan.