"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah Jatuh Sakit
Pagi-pagi sekali Liana sudah sibuk di dapur. Dia memasak bubur untuk pak Gani yang kondisinya masih lemah. Tak lupa juga menggoreng nasi sisa semalam untuk dia sarapan.
Setelah bubur siap, Liana mengantar bubur itu ke kamar. Iya, habis subuh tadi pak Gani terbangun dan dia pindah ke kamarnya.
"Sarapan dulu, yah." Liana menaruh bubur di atas nakas.
"Terimakasih, nak." balas pak Gani yang sedang memandangi ponselnya.
"Apa ibu sudah memberi kabar?" tanya Liana kemudian.
"Nomornya tidak bisa dihubungi. Rosa juga." kata pak Gani.
Suaranya yang terdengar pelan, menandakan bahwa pria dewasa itu masih dalam kondisi kurang sehat.
"Nanti biar aku coba hubungi teman Rosa." ujar Liana untuk membuat hati ayahnya senang.
Dalam hati Liana kembali bertanya-tanya. Kenapa mereka tiba-tiba tidak ada kabar?
"Ayah tidak perlu memikirkan mereka. Untuk saat ini yang terpenting adalah kesehatan ayah. Bagaimana kalau kita ke dokter, yah? Dokter lebih tahu keadaan ayah, jadi nanti penanganannya juga lebih tepat." Liana terus berceloteh.
Pak Gani tersenyum melihat putrinya seperti itu. Mengingatkan dia akan almarhumah istrinya, ibu kandung Liana.
"Kenapa ayah senyum-senyum begitu?" protes Liana.
"Kamu mirip sekali dengan bundamu. Cerewetnya bisa sama begitu..." ujar pak Gani, masih dengan senyum yang sama.
"Ayah ini..." balas Liana. "Aku ini lagi serius malah dibilang cerewet." katanya.
"Terimakasih sudah sangat perhatian sama ayah." pak Gani mengusap lembut rambut putrinya.
"Kamu tidak kuliah?" tanya pak Gani setelahnya.
"Aku izin dulu deh, yah. Nanti ayah nggak ada yang jagain." jawab Liana.
"Pergilah. Ayah bisa jaga diri." sang ayah berusaha menenangkan Liana.
"Jaga diri modelan apa?!" tandas Liana. "Semalam aku tinggal sebentar ke minimarket depan saja, papa jatuh sakit begini." ujar Liana.
Dia sengaja bicara seperti itu. Lantaran rasa penasaran yang semakin menggelitik pikirannya. Ayah hanya tersenyum pada putrinya itu.
"Jika ayah katakan padamu. Ayah khawatir kamu akan semakin membenci ibu dan saudaramu, nak..."
......................
Karena paksaan dari ayahnya, Liana pun tetap berangkat ke kampus. Saat di kampus, setiap ada kesempatan, dia selalu mencoba menghubungi Rosa dan beberapa temannya yang dia kenal.
"Kenapa bengong?" tanya Nunik pada Liana.
"Bu Ranti dan Rosa tiba-tiba menghilang. Aku sedang berusaha mencarinya." balas Liana yang masih sibuk berkutat dengan benda pipih di tangannya.
"Menghilang atau minggat?!" sahut Nunik.
Sontak saja Liana menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Nunik dengan tatapan yang aneh.
"Apa maksudmu mengatakan minggat?!" tanya Liana kemudian.
"Iyaa, kan kamu sendiri bilang kalau ibu tirimu itu tidak tulus. Dia hanya ingin memanfaatkan ayahmu. Apa mungkin dia minggat setelah berhasil mengambil beberapa barang berharga dari rumahmu." begitulah penjabaran dari Nunik.
"Tabungan..., atau sertifikat tanah dan rumahmu gitu...?!" imbuhnya.
"Ada benarnya juga. Coba nanti aku cek." Liana manggut-manggut.
Liana benar-benar baru kepikiran soal itu setelah Nunik berbicara. Dia yang awalnya cuek dengan kepergian dua perempuan itu, tiba-tiba menjadi sangat khawatir.
"Aku dengar dari Damar, ayahmu sakit ya?" tanya Nunik.
"He'em." Liana mengangguk. "Semalam mendadak jantungnya terasa nyeri lagi. Tapi pagi tadi sudah lebih baik."
"Apa mungkin om Gani shock karena mengetahui ibu dan adikmu pergi begitu saja?" otak Nunik mulai aktif berasumsi.
"Entahlah, Nik. Semalam itu aku melihat ada mobil aneh yang pergi dari rumahku. Sebelum aku menemukan ayah jatuh sakit." ujar Liana.
"Apa om Gani benar-benar tidak mengatakan sesuatu padamu?" Nunik kembali bertanya bak seorang polisi yang sedang menginterogasi.
Liana menggelengkan kepalanya.
"Ini semakin menarik." Nunik tersenyum miring.
"Maksudmu...?!!" otak seakan tak bisa menjangkau jalan pikiran sahabatnya itu.
"Kayak di sinetron dan novel-novel ini sih. Ban..."
"Aaah, Nunik...!!!" geram Liana memotong begitu saja kalimat yang akan diucapkan oleh Nunik.
"Ini itu kenyataan. Real. Bukan novel apalagi sinetron." tambahnya.
Nunik hanya memanyunkan bibirnya. Tapi Liana tidak benar-benar marah. Dia sudah memahami temannya itu. Yang memang suka terbawa suasana karena hobinya nonton sinetron dan membaca novel.
......................
Entahlah apa yang sedang terjadi, beberapa hari ini Liana selalu disambut dengan kejutan setiap kali tiba di rumah. Dan kali ini dia di sambut oleh bu Maya, ibu RT di tempat tinggalnya.
"Kok bu Maya duduk di luar saja? Apa ayah masih tidur kali ya." begitu gumam Liana.
"Liana...!" bu Maya segera bangkit dari duduknya setelah melihat Liana memasuki halaman rumah.
"Akhirnya kamu pulang, nak. Ibu telepon kamu dari tadi, tapi HP kamu tidak aktif." katanya.
"Ada apa, bu?!" Liana mulai merasa ada yang tidak beres, saat melihat wajah panik bu RT.
"Ayahmu dibawa sama warga ke rumah sakit."
"Ayah?!" Liana benar-benar kaget.
"Simpan buku-bukumu, ayo kita susul ke sana!" ajak bu Maya kemudian.
"Iya, bu. Tunggu sebentar."
Liana memasuki rumah yang sudah kosong itu dengan sedikit berlari. Dia menaruh tas kuliahnya begitu saja. Kemudian mengambil tas selempang kecil untuk wadah HP dan dompetnya.
Tak perlu menunggu lebih lama lagi. Bu Maya langsung mengajak Liana pergi. Setelah memastikan rumah terkunci dengan aman.
"Tadi warga melihat ada beberapa orang baju hitam-hitam datang ke rumahmu. Dan terdengar samar-samar percekcokan, Na. Lalu beberapa saat setelah mereka keluar, ada yang mencoba melihat rumahmu. Karena ayahmu tak kunjung keluar untuk menutup pintu. Ternyata ayahmu sudah tergeletak pingsan. Tapi tidak ada luka-luka." begitu cerita bu Maya, sesuai dengan apa yang dia dengar dari para saksi.
"Siapa mereka?" ujar Liana lirih.
"Apa itu orang yang sama, yang semalam sempat datang...?!"
Pertanyaan demi pertanyaan yang belum menemukan jawaban, terus memenuhi kepala Liana. Hingga tanpa dia sadari, mobil yang dikendarai bu Maya sudah memasuki area rumah sakit.
Bu Maya mengajak Liana masuk begitu saja, karena wanita paruh baya itu sudah mendapat laporan dari sang suami mengenai kamar rawat pak Gani.
Liana melongo tatkala mendapati ayahnya berada di lantai kamar VVIP. Tapi untuk sementara dia berusaha mengabaikan keterkejutannya untuk kesekian kalinya.
"Ayah...!!!" Liana berlari, lalu memeluk ayahnya yang sedang terbaring lemah.
"Ayah baik-baik saja. Jangan menangis..." ujar pak Gani pelan.
"Apa yang terjadi, yah...?!" tanya Liana sambil mengusap air matanya. Pak Gani hanya menggelengkan kepalanya.
Pak RT dan beberapa warga pamit undur diri beberapa saat setelah kedatangan Liana. Bu RT menawarkan diri untuk menemani Liana, namun Liana menolak dengan sopan. Dia merasa sungkan kalau harus merepotkan orang lain.
"Baiklah, kalau begitu kami pamit. Tenangkan hatimu ya, Na. Semua akan baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu kamu hubungi ibu ya." bu Maya mengusap pundak Liana dengan lembut.
"Terimakasih bu Maya." balas Liana.
Sore harinya saat Liana kembali dari kantin. Dia melihat pria-pria setelan hitam berbadan tinggi tegap berdiri di depan pintu kamar ayahnya. Namun, kali ini mereka tampak lebih rapi dan berkelas. Tidak seperti orang-orang yang dia lihat sekilas malam itu. Liana menghembuskan nafas dengan kasar, sebelum mendekati mereka.
"Kalian ini siapa? Kenapa berdiri di sini?" tanya Liana.
"Maaf, nona. Kami hanya sedang berjaga. Tuan kami berada di dalam bersama orang tua nona." jawab salah seorang dengan sopan.
"Wajahnya garang sih, tapi mereka sopan sekali." batin Liana.
Tanpa banyak bicara lagi, Liana membuka pintu kamar itu. Dengan rasa penasaran yang tinggi, dia berjalan menuju bed ayahnya. Tampaklah seorang pria tua duduk di samping bed sang ayah.
"Liana..." ujar pak Gani dengan suaranya yang semakin serak.
Pria tua itu menoleh ke belakang. Memindai Liana dari atas sampai bawah, lalu dia tersenyum.
"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
......................