Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
Rumah Sakit.
Begitu mobil berhenti di depan lobi rumah sakit, Karin langsung keluar tanpa menoleh ke arah Raka yang turun beberapa langkah di belakangnya. Langkahnya cepat dan tegas, seolah mengabaikan keberadaan suaminya itu.
Tanpa banyak basa-basi, Karin masuk ke ruangan di mana ayahnya, Ardi, sedang dirawat. Dia mendekat ke sisi ranjang, menggenggam tangan ayahnya dengan lembut.
"Ayah. Bagaimana kabarmu hari ini?" sapa Karin lembut sambil tersenyum.
Ardi membuka matanya perlahan dan menatap putrinya. "Karin? Sudah larut, nak. Apa kau tidak lelah? Bukankah besok kau harus bekerja?"
Karin terkekeh, mengerucutkan bibirnya seakan kesal. "Aku cuma kangen sama Ayah. Itu aja," jawabnya sambil mengusap punggung tangan Ardi dengan lembut.
Tak lama, suara pintu terbuka, dan Raka melangkah masuk. Senyum ramah menghiasi wajahnya saat ia mendekat ke arah ranjang.
"Ayah. Maaf, karena baru bisa datang menjenguk," ucap Raka, mengangguk penuh hormat.
Ardi hanya mengangguk maklum. "Tidak apa-apa, Raka. Ayah tahu kau pasti sibuk dengan urusan bisnismu."
Raka tersenyum tipis. "Bagaimana kondisi ayah sekarang? Semoga semakin membaik."
Ardi mengangguk. "Lumayan, sudah lebih baik. Tapi, namanya juga usia, tetap saja kondisi naik-turun."
Mendengar itu, Karin menghela napas kecil sambil menatap lantai.
"Karin, ambilkan kursi di sudut sana. Duduklah di sini, Raka." perintah Ardi, menoleh kepada putrinya.
Karin tersenyum sejenak, lalu dengan enggan, ia mengambil kursi di sudut ruangan dan menyerahkannya pada Raka.
“Silakan, Pak Suami,” kata Karin dengan nada manis yang terdengar sedikit dipaksakan. Sembari duduk, Raka merespon dengan panggilan hangat yang tiba-tiba.
“Terima kasih, Sayang,” katanya sambil tersenyum lebar.
Karin langsung tersentak dalam hati. Sayang? Sejak kapan dia panggil aku begitu? batinnya menggerutu.
Ardi menatap mereka berdua, senyum lega terlukis di wajahnya. "Kalian berdua tampak serasi sekali. Ayah sangat senang melihat kalian bersama seperti ini."
Karin hanya bisa mengerutkan bibir, berpura-pura tersenyum. Sedangkan Raka justru dengan tenang merangkul bahunya, membuat Karin nyaris terjengit.
"Iya, Ayah." kata Raka, tangannya tak lepas dari bahu Karin. "Aku akan terus menjaga Karin dan membimbingnya."
Ardi mengangguk puas. "Karin, belajarlah dari Raka, ya. Dia pria yang baik. Ayah tahu, kadang kamu masih keras kepala."
"Iya, Yah," jawab Karin sekenanya, meski dalam hati ia hanya bisa mendesah panjang.
Setelah beberapa saat, Ardi melanjutkan, "Oh, ya. Bagaimana kerjaanmu di kantor Raka? Semuanya berjalan baik, kan?"
Karin menegang, menatap Raka yang terkejut sejenak mendengar pertanyaan itu. Ardi jelas belum tahu bahwa pekerjaan Karin yang sebenarnya hanyalah cleaning service, bukan posisi sekretaris seperti yang ia ceritakan pada ayahnya.
Raka menatapnya dengan ekspresi tak terbaca, lalu tersenyum canggung. "Iya, ayah. Karin melakukannya dengan baik."
Ardi mengangguk, tampak puas. "Syukurlah. Ayah selalu ingin yang terbaik buat kalian berdua. Kapan Ayah bisa punya cucu dari kalian?"
Karin yang tengah memandangi lantai langsung tersentak kaget dan menoleh ke arah ayahnya dengan wajah merah. Namun, sebelum sempat menjawab, Raka sudah lebih dulu merespon sambil tersenyum lebar dan santai.
“Tenang saja, Ayah. Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Karin pasti bisa,” jawabnya sambil menepuk bahu Karin dengan lembut, seolah menyemangatinya.
Karin langsung memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. "Jangan ngomong sembarangan, Raka! Ayah, jangan dengarkan dia. Kami belum merencanakan apa-apa..." gumamnya, setengah malu setengah kesal.
"Aku masih terlalu muda untuk hal itu," ujar Karin, berharap ayahnya berhenti membicarakan soal cucu.
Namun, Ardi hanya terkekeh pelan. "Jangan begitu. Justru sekarang adalah waktu yang tepat. Ayah ingin melihat cucu-cucu Ayah sebelum terlambat."
Canggung, Karin langsung beranjak berdiri. "Ayah, sekarang sudah malam. Sebaiknya Ayah istirahat, biar cepat sembuh. Kami juga mau pamit pulang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan sambil menggenggam tangan ayahnya.
Raka bangkit, menyusulnya yang sudah mau berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar, Karin tiba-tiba menginjak kakinya dengan keras.
"Aduh!" pekik Raka, menahan sakit di kakinya. Ardi menatap mereka berdua heran.
"Maaf, ayah, ada serangga," kata Raka sambil mengelus kakinya dengan meringis. "Tapi, sepertinya memang sudah saatnya kami pulang."
Ardi tersenyum, kemudian berkata, "Baiklah. Hati-hati di jalan, ya. Jagalah Karin baik-baik, Raka."
"Tenang saja, ayah." jawab Raka sambil sedikit mengangguk. Mereka berdua lalu meninggalkan ruangan itu.
Saat berada di luar, Raka melihat Karin berjalan lurus ke arah jalan depan tanpa menunggu. Ia segera menyusulnya hingga tiba di tempat parkir.
"Mau ke mana?" tanya Raka, menghentikan langkah Karin.
"Pulang sendiri," jawab Karin ketus sambil terus berjalan.
Raka hanya menghela napas panjang, lalu segera menuju mobilnya dan menyusul Karin yang sudah berdiri di dekat halte. Ia memberhentikan mobil tepat di depannya, membuka jendela dan berseru, "Masuk, Karin. Taksi di sini sudah jarang lewat jam segini."
Karin berpura-pura tidak mendengar, sibuk memeriksa ponselnya.
Tanpa banyak bicara, Raka turun dan menarik pergelangan tangannya, memaksanya masuk ke dalam mobil. Karin menatapnya dengan kesal.
"Kau ini keras kepala sekali. Bukankah tadi ayahmu bilang, aku harus menjagamu?" ujar Raka sambil menjalankan mobil.
"Jangan sebut-sebut ayahku, dan jangan membuatnya berharap sesuatu yang takkan terjadi!" jawab Karin tajam.
Raka tersenyum samar, menoleh sekilas. "Maksudmu soal cucu itu?"
"Ya, soal itu!" Karin menggerutu sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Raka menyeringai kecil. "Lho, memangnya aku tidak serius?"
Karin menoleh tajam. "Serius apa? Kau bahkan tak pernah menyentuhku."
Raka mengangkat alis, tersenyum nakal. "Jadi, kau ingin aku menyentuhmu?"
Karin mendengus, mengabaikannya, lalu hanya bisa diam dengan pipi yang merah tanpa ia sadari. Sementara Raka hanya bisa tertawa kecil, puas dengan reaksinya.
*****
Duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di depan dada, Karin cemberut dan memandang jauh ke luar jendela. Jarak dari rumah sakit ke tempat tinggalnya memang cukup jauh, dan malam itu Karin merasa lelah. Perlahan, matanya mulai terasa berat, dan tanpa sadar dia terlelap.
Sementara itu, Raka melirik ke arah Karin yang terlelap dengan wajah damai. Awalnya, ia hendak mengantarnya pulang ke kontrakannya, tapi di tengah jalan, dia berubah pikiran dan mengarahkan mobil menuju sebuah rumah yang terletak di daerah sepi, jauh dari hiruk-pikuk kota.
Rumah itu adalah tempat rahasia Raka, sebuah rumah besar yang ia gunakan untuk menyendiri ketika menghadapi masalah dengan keluarganya. Tidak ada satu pun yang tahu tentang tempat itu, termasuk istri pertamanya.
Ketika sampai, Raka turun dari mobil dengan hati-hati dan menggendong Karin yang masih tertidur lelap. Saat ia masuk, seorang wanita paruh baya bernama Bibi Xia muncul dengan wajah terkejut melihat kedatangannya.
"Selamat malam, Tuan Raka," sapa Bibi Xia dengan hormat, menatap Karin yang ada dalam gendongan Raka dengan raut heran.
"Malam, Bibi," balas Raka singkat sambil melangkah masuk.
"Perlu bantuan, Tuan?" tanya Bibi Xia, melihat situasi yang tampak janggal.
"Tak perlu, Bibi. Hanya bantu siapkan pakaian bersih untuknya besok pagi," jawab Raka tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Bibi Xia mengerutkan kening, tetap menghormati keputusan Raka, meskipun penasaran dengan siapa gadis yang sedang tertidur itu.
"Siapa dia, Tuan? Maaf, kalau boleh tahu..." Bibi Xia akhirnya memberanikan diri bertanya.
Raka berhenti sejenak, tersenyum tipis. "Dia... istriku," jawabnya ringan, sebelum melanjutkan langkahnya menuju kamar di lantai atas.
Mata Bibi Xia membelalak kaget mendengar pengakuan itu. Selama ini, dia hanya tahu Aeri sebagai istri Tuan Raka, tapi kini ada sosok lain yang belum pernah dilihatnya. Meski bingung, Bibi Xia memilih untuk tidak ikut campur lebih jauh dan kembali pada tugasnya mengurus rumah.
---
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan memasuki kamar yang terasa nyaman dan mewah. Di atas tempat tidur yang luas dan empuk, Karin masih terlelap dengan memeluk guling. Perlahan-lahan ia terbangun, matanya masih setengah tertutup saat menikmati kelembutan seprai sutra yang membalut tubuhnya.
"Ini bukan kasurku... kok nyaman sekali?" gumamnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
Karin membuka mata sepenuhnya, mengamati ruangan itu. Dindingnya berwarna abu-abu lembut, sangat berbeda dari cat dinding kontrakannya yang polos. Saat melihat lampu gantung kristal di atas, perasaannya campur aduk, bingung sekaligus kagum.
‘Di mana aku?’ pikirnya dalam hati, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Saat ingatan tentang Raka membawanya pulang dari rumah sakit terlintas, ia langsung duduk dan menarik selimut dengan cepat.
Begitu menyadari pakaiannya masih sama seperti semalam, Karin menghela napas lega. Dia turun dari tempat tidur, menuruni tangga, dan mulai berkeliling mencari jalan keluar dari rumah besar itu. Setelah beberapa saat berjalan, ia tanpa sengaja sampai di dapur.
"Nona, apakah ada yang bisa saya bantu?" Suara Bibi Xia terdengar lembut namun mengejutkan Karin.
Karin terlonjak kaget dan menoleh cepat ke arah suara tersebut. "Ehh... siapa kamu?" tanya Karin gugup.
"Saya bekerja di rumah ini, Nona. Nama saya Bibi Xia," jawab wanita itu dengan senyum ramah.
"Rumah siapa ini, sebenarnya?" tanya Karin dengan tatapan penasaran.
"Ini rumah Tuan Raka," kata Bibi Xia.
"Di mana Raka sekarang? Aku ingin pulang," ucap Karin dengan nada tegas namun sedikit gugup.
"Nona, kenapa tidak bersih-bersih dulu dan berganti pakaian?," kata Bibi Xia sopan.
"Tapi aku tidak membawa baju ganti," Karin mengerutkan kening bingung.
" Tuan Raka sudah menyiapkan baju baru di kamar. Baju-baju itu sudah dipilihkan oleh Tuan Raka khusus untuk Anda, Nona. Silakan ikut, biar saya tunjukkan." Bibi Xia menuntun Karin kembali ke kamar.
Karin mengikutinya dengan langkah ragu. Bibi Xia membuka pintu lemari besar di ruangan itu, memperlihatkan deretan pakaian baru dengan berbagai model yang berkelas. Karin tertegun, melihat begitu banyak pakaian wanita dengan merek-merek terkenal yang harganya mungkin tak terjangkau olehnya.
"Ini semua... Untukku?" Karin berbisik hampir tak percaya, melirik salah satu gaun cantik dengan label harga yang masih tergantung.
"Ya, Nona. Tuan Raka memilihnya tadi malam," jawab Bibi Xia.
Karin menggeleng, perasaannya campur aduk. “Bibi, berapa banyak wanita yang sudah dibawa Raka ke sini sebelumnya?”
Bibi Xia menatapnya, bingung. “Maksud Anda, Nona? Tuan Raka tidak pernah membawa wanita lain ke sini.”
Karin menghela napas sinis. “Jadi bibi mau bilang cuma aku yang dibawa ke sini? Padahal, aku hanya istri keduanya, bukan seperti Aeri yang punya hak penuh.”
Raut wajah Bibi Xia berubah. “Nona, Anda tetap istri sahnya, walaupun bukan satu-satunya. Tuan Raka tidak pernah membawa siapapun selain Anda ke rumah ini,” kata Bibi Xia, mencoba menenangkannya.
Karin tersenyum tipis, pahit. “Ya, sah… tapi hanya sekedar nama. Aku tidak perlu ini semua. Aku hanya ingin pulang.”
Tanpa menunggu respon Bibi Xia, Karin berjalan menuju pintu, matanya menyapu setiap sudut mencari jalan keluar dari tempat itu. Namun sebelum langkahnya jauh, Bibi Xia memegang lengannya dengan lembut.
“Nona, maaf, tapi Anda tidak bisa pergi sebelum Tuan Raka pulang,” ujarnya dengan nada memohon.
Karin menatap Bibi Xia tajam, merasa sedikit terjebak. “Bibi, ini bukan penjara. Aku punya hak untuk pergi kapanpun aku mau. Lagipula, aku punya pekerjaan yang harus kulakukan hari ini. Tidak ada alasan bagiku untuk menunggu di sini,” katanya, tegas.
Bibi Xia menghela napas, sedikit gugup namun tetap tegar. “Maaf, Nona, saya hanya menjalankan perintah Tuan Raka.”
Melihat tidak ada jalan keluar, Karin menghela napas panjang, rasa frustrasi memenuhi dirinya. Namun Bibi Xia langsung mengangguk dan menghubungi para penjaga melalui telepon kecil di tangannya.
“Pastikan semua gerbang terkunci. Nona Karin tidak diizinkan keluar sebelum Tuan Raka pulang,” perintahnya pada para penjaga, suaranya tetap lembut namun tegas.