NovelToon NovelToon
Another Life: Legenda Sang Petani

Another Life: Legenda Sang Petani

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan / Dunia Lain / Kultivasi Modern / Game
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Putra Utra

Pada suatu masa dunia game menjadi rumah kedua bagi semua orang. Game bernama Another Life telah mengubah tatanan dunia menjadi di ambang kehancuran. Bidang perekonomian mengalami dampak terburuk. Banyak pabrik mengalami gulung tikar hingga membuat sembilan puluh persen produksi berbagai macam komoditas dunia berhenti.

Namun dibalik efek negatif tersebut, muncul banyak keluarga besar yang menjadi pondasi baru di tengah terpuruknya kehidupan. Mereka mengambil alih pabrik-pabrik dan memaksa roda perekonomian untuk kembali berputar.

Alex yang menjadi salah satu keturunan dari keluarga tersebut berniat untuk tidak mengikuti sepak terjang keluarganya yang telah banyak berperan penting dalam kehidupan di dunia Another Life. Alex ingin lepas dari nama besar keluarganya demi menikmati game dengan penuh kebebasan.

Namun kenyataan tidak seindah harapan. Kebebasan yang didambakan Alex ternyata membawa dirinya pada sebuah tanggung jawab besar yang dapat menentukan nasib seluruh isi planet.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putra Utra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tujuh Bintang Samudra

Di pinggiran Kota Semarang, tepatnya di perkampungan di pesisir pantai, berdiri sebuah warung kopi yang cukup tersohor di kalangan nelayan. Warung tersebut tidak besar dan hanya berlantai satu. Tidak banyak dekorasi menghias tempat tersebut. Hanya ada sebuah bar sederhana di ujung ruangan serta barisan kursi dan meja kayu sederhana yang berjajar rapi di dalam ruangan, teras dan halaman belakang. Benda-benda berbahan kayu itu menjadi saksi bisu jika warung kopi tersebut memiliki banyak pelanggan.

Alex melangkah perlahan di bawah Sang Mentari yang sedang bersinar terik. Kakinya berayun mantap, mengarah ke pintu warung kopi berdinding biru langit itu. Sebuah papan nama bertuliskan Ocean Blue bertengger lesu di atas pintu. Ukurannya yang cukup besar membuatnya terlihat jelas dari kejauhan.

Dengan ramah dan penuh senyuman, Alex mengangguk hormat pada beberapa pengunjung di teras. Lalu membuka pintu warung dengan sekali dorongan ringan.

Di dalam, suasana jauh lebih ramai. Celotehan membahana dari setiap sudut ruangan. Gelak tawa silih berganti berkumandang. Alex sudah terbiasa dengan suasana di hadapannya sekarang. Senyum tipis merekah di bibir laki-laki berumur tujuh belas tahun itu. Langkahnya gesit menyusuri jalan setapak di antara barisan meja dan kursi, mendekati bar di ujung ruangan.

"Siang Paman Andi!" seru Alex pada sesosok laki-laki bertubuh langsing di belakang meja bar.

"Yoo! Alex! Akhirnya kau datang." balas Andi seraya meracik beberapa minuman.

"Apa pesanannya banyak?" Alex meliuk melewati celah di ujung meja bar. Tangannya langsung meraih celemek di dinding, lalu mengenakannya secepat mungkin.

Senyum Andi merekah. Pandangannya sesaat terlempar ke seluruh pengunjung di dalam warung. "Jika mereka semua datang, pesanan pasti menumpuk."

Alex ikut melempar pandangan. Matanya menyorot dengan seksama dari salah satu sisi ruangan ke sisi lainnya. Dengan sekali lihat, Alex mendapati beberapa meja dan kursi yang dikelompokan pada satu area. Ada tujuh kelompok. Alex mengenali semuanya.

"Tujuh Bintang Samudra." celetuk Alex.

"Ya. Mereka ada di sini sekarang." Andi menimpali. "Lebih baik… "

"Alex! Alex! Alex!" seseorang dari kelompok yang berada paling dekat dengan bar tiba-tiba mengeraskan suaranya. Dengan sekali gerakan mantap, sosok tersebut berdiri dan menghampiri bar. "Aku sudah menunggumu sejak tadi, Alex. Apa kau tahu kenapa aku menunggumu?"

"Hallo Tuan Davinci!" Sapa Alex sopan. Senyumnya tersungging ringan. "Aku tidak mengerti maksud anda, Tuan."

Davinci tertawa sejenak. Tatapan tajamnya menghujam Alex. Sedangkan salah satu tangannya mengusap brewok yang menghiasi wajahnya. "Tentu saja untuk merekrutmu, Alex!"

"Merekrutku?" Alex memastikan. "Maaf Tuan. Tapi aku… "

"Tunggu!" seseorang dari kelompok di samping pintu memotong. Suaranya tidak kalah menggelegar. Sosok berambut panjang pirang itu segera mendekati bar. "Apa-apaan kau wajah brewok? Apa kau ingin mencuri start?"

"Siapa cepat, dia yang dapat." Balas Davinci santai. "Kau pasti paham maksudnya, kan, Robert?"

"Jika seperti itu berarti aku yang layak merekrutnya. Kenapa? Karena aku yang pertama kali datang kemari hari ini." Robert tidak mau kalah.

"Eh--itu--maksudku--siapa yang menawarinya dahulu. Bukan siapa yang pertama kali datang kemari." Davinci bersikeras.

"Hah? Tidak! Tentu saja siapa yang cepat datang kemari." Robert tidak mengendur sedikit pun. Matanya melempar tatapan menantang.

Davinci menggeleng. Tatapannya tajam dan penuh ancaman. "Tidak! Aku tidak setuju denganmu. Alex harus bergabung denganku."

"Maaf Tuan-Tuan!" Alex menengahi. Mencoba menenangkan dua sosok di hadapannya yang mulai kehilangan kendali. "Bisakah kita bicarakan ini… " ucapan Alex terpotong saat seseorang tiba-tiba menarik tangannya hingga ke sudut bar. Dalam sekejap mengeluarkan Alex dari pertikaian kaum elit.

"Hallo tampan! Bagaimana jika kau bicara saja denganku? Aku yakin kau pasti akan tertarik dengan semua penawaranku."

"Eh--Hallo Nyonya Susi!" Alex tetap berusaha bersikap ramah walau nyeri membekap lengannya. Senyum berhias peluh merekah di bibir Alex. Mata Alex menatap dengan penuh kewaspadaan wanita cantik berwajah oriental di hadapannya itu. "Tapi maaf Nyonya. Aku tidak mengerti maksud anda."

"Tentu saja kau tidak mengerti maksudnya, Alex." sesosok wanita tua mendekat. Senyum persahabatan merekah di bibir keriputnya. Segelas besar minuman berwarna merah bertengger di salah satu tangannya. "Dengar Alex! Jangan pernah mempercayai sesuatu yang didasari oleh kepalsuan. Aku yakin kau mengerti ucapanku, kan?"

"Sepertinya aku sangat memahami maksud anda, Nenek Ulf." Alex menanggapi. Perhatiannya kini tertuju pada Ulf. Wanita berambut putih itu menorehkan senyum jail di bibir.

"Hei! Apa maksudmu nenek tua?" Susi meringsek mendekati Ulf. Suaranya tinggi dan penuh permusuhan. Tatapannya tajam. Kebencian meluncur deras dari sorot matanya.

Ulf tertawa. Pandangannya tetap terpaku pada Alex. Tetap bersikap tenang dan acuh pada wanita bertubuh tinggi langsing di sampingnya. Setelah menenggak minuman di gelas besarnya dengan cukup rakus, Ulf menanggapi, "maksudku seindah apapun itu, palsu tetaplah palsu. Apa itu kurang jelas untukmu, wahai wanita palsu?" Ulf menoleh ke Susi. Matanya seketika menajam. Tatapannya menyiratkan sebuah tantangan.

Alex bingung harus bertindak apa. Untuk kedua kalinya laki-laki berkulit putih dan berwajah tampan itu kembali terperosok ke dalam pertikaian orang lain. Alex tidak mungkin bisa melerai. Sedikit saja salah bertindak, situasi pasti akan semakin liar dan sulit dikendalikan.

"Alex!" seseorang berteriak. Suaranya melengking tajam di tengah kericuhan.

Dengan sekali toleh, perhatian Alex terhenti pada seseorang yang sedang berdiri di atas meja. Sosok tersebut bertelanjang dada, begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan gerakan layaknya binaraga di atas panggung kontes, laki-laki berkulit hitam dan berkepala botak itu memamerkan otot-ototnya.

"Bagaimana? Ototku mengesankan, bukan?" tanya laki-laki tersebut. "Bergabunglah denganku, Alex! Jika kau bersamaku otot-ototmu pasti akan sebesar ini." lanjutnya seraya terus memperlihatkan tonjolan-tonjolan otot di seluruh tubuhnya.

Mendapati pemandangan kurang menyenangkan, Alex hanya bisa tersenyum kecut. "Apa kau ingin memesan minum lagi Tuan Obororo?"

Obororo tidak menjawab dan tetap sibuk dengan tubuh kekarnya.

Karena situasi semakin tidak kondusif, Alex bergeser perlahan ke sudut lain bar, mendekati Andi yang baru saja kembali dari mengantar pesanan. Namun saat hampir mencapai tempat tujuan, langkah Alex terhenti. Seseorang tiba-tiba berdiri di dalam bar. Kemunculannya yang mendadak cukup mengejutkan Alex.

"Yo--Alex!" sapa orang tersebut dengan ekspresi datar.

"Tuan Miuji!" Balas Alex. "Maaf Tuan! Tempat ini hanya untuk karyawan." lanjut Alex sopan.

"Aku hanya mencari ini." balas Miuji santai seraya menunjuk gelas kaca besar di tangannya. Ekspresi datarnya masih tetap mendominasi. "Tolong isi penuh!" lanjutnya seraya menyerahkan gelas pada Alex. Lalu dengan gerakan cepat namun lembut, laki-laki berambut sebahu itu melompati bar dan duduk di salah satu kursinya.

Sesaat Alex termenung. Terpukau dengan gerakan sosok yang baru saja mengejutkannya itu. "Ba--baik Tuan Miuji."

"Alex!" Panggil Miuji saat Alex baru menjauh selangkah.

"Ya."

"Jika memang tidak tertarik pada mereka, kau bisa memilih bergabung denganku atau laki-laki berkursi roda di sana."

Alex sejenak mengamati Miuji. Ekspresi laki-laki berumur tiga puluh tahunan itu masih tetap datar. Tak berselang lama, Alex melempar pandangan ke sisi kanan ruangan. Sekelompok wanita berparas menawan terlihat mendominasi di sana. Mereka duduk mengelilingi sesosok laki-laki di atas kursi roda. Sekujur tubuh sosok tersebut terlihat kurus. Hanya bagian kepala yang tampak normal. Alex mengangguk seraya menyunggingkan senyum pada sosok bernama Rian tersebut sebagai penghormatan. Dengan gerakan sama, Rian membalas dari singgasana sederhananya.

"Jadi, apa kau sudah bisa memutuskannya sekarang?" Miuji mendesak.

"Maaf Tuan. Sepertinya aku masih harus memikirkannya."

"Oke. Itu bagus. Memang seharusnya seperti itu."

Alex bergegas pergi ke sudut bar, mendekati Andi yang sudah kembali sibuk menyiapkan pesanan.

"Paman, apa mereka tahu tentang keluarga kita?"

Dengan cekatan Andi menggunakan mesin pembuat kopi. "Aku rasa tidak. Silsilah keluarga kita tetap aman di tempat ini."

"Lalu kenapa mereka bersikeras berusaha merekrutku?"

"Mungkin karena mereka pernah melihatmu saat berlatih di pantai." Andi menduga.

Dahi Alex mengerut. "Jangan bercanda Paman! Bagaimana mungkin mereka berusaha merekrutku hanya karena pernah melihat aku berlatih? Lagipula tidak ada hal istimewa yang aku lakukan saat berlatih. Aku hanya selalu mengasah keterampilan dasar bertarung."

"Aku tahu itu. Tapi kau selalu menggunakan berbagai macam senjata saat berlatih. Benar, bukan?"

"Ya. Itu juga karena instruksi kakek."

"Itulah yang membuatmu berbeda dari siapapun di dunia ini. Bagi sebagian besar orang, tindakanmu memang terkesan sia-sia. Seperti hanya bermain-main. Tidak fokus mengasah kemampuan salah satu senjata dengan serius hingga ke tingkat tertinggi. Tapi bagi orang-orang berpengalaman seperti mereka, yang telah merasakan asam garam di dunia Another Life, tentu saja mereka akan langsung merasa menemukan harta karun saat melihatmu berlatih."

"Jangan berlebihan, Paman! Aku hanya calon pemain yang belum tentu bisa berbuat banyak di game Another Life."

"Tidak. Aku sama sekali tidak berlebihan. Kau pasti tidak menyadari seberapa hebat kemampuanmu menggunakan segala macam senjata. Asal kau tahu, walau hanya menguasai teknik dasar setiap senjata, seluruh gerakanmu dapat disetarakan dengan master atau mungkin jauh lebih baik. Sederhana namun sangat efektif dan efisien."

Alex menghela nafas panjang. Sedikit terganggu dengan pernyataan Andi. "Ayolah Paman, aku tidak sehebat itu."

Andi menoleh ke Alex dan tersenyum lebar, lalu kembali fokus meracik pesanan pelanggan. "Kau berhak menyangkalnya sebanyak apapun yang kau mau. Tapi satu hal yang harus kau tahu, kau mewarisi fisik Ayahmu."

1
Izuna Zhein
Crazy Up Thorr
Nanik Sutrisnowati
Menarik untuk dibaca.
Imajinasi dunia game yang berbeda dari novel sejenis.
Mantap.
Cici Fitri
good to reading
Cici Fitri
bagus
Cici Fitri
menarik
Cici Fitri
next
Cici Fitri
up
Cici Fitri
selanjutnya
Cici Fitri
lagi
Cici Fitri
up
Cici Fitri
next
Cici Fitri
up
Cici Fitri
lanjut!
Cici Fitri
thanks thor dah di up
Alamsyah B. B.
wah ada ranker dunia. mantap!/Angry/
Putra Utra: oke. mantap sudah datang /Good/
total 1 replies
Alamsyah B. B.
singaputih matamerah palingtampan! julukan alay 😆
Putra Utra: julukannya beda dari yg lain kk
total 1 replies
Alamsyah B. B.
Job Alex pemanah kah?
Putra Utra: pemanah bukan ya? nanti ada di episode selanjutnya ya kk
total 1 replies
Alamsyah B. B.
Teknik prediksi itu teknik curang. klo bisa liat pergerakan lawan pasti ya bakal menang
Putra Utra: tidak selalu menang. tergantung situasi dan kondiai.
total 1 replies
Alamsyah B. B.
Kerosima bakat jadi Jenderal tuh 😎
Putra Utra: jenderal tentara bayaran
total 1 replies
Alamsyah B. B.
next lah
Putra Utra: oke lah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!