Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 : Rencana Melunasi Hutang
Keesokan paginya Sagara kembali menjalani rutinitasnya dengan perasaan campur aduk. Meski beban hidupnya telah banyak berkurang setelah menerima warisan dari kakeknya dan hutang ayahnya telah dilunasi, akan tetapi masih ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Seperti tunggakan kontrakan selama dua bulan dan angsuran semesteran kuliah yang harus segera dia bayarkan.
Di kampus pun Sagara mencoba untuk tetap fokus di kelas, tapi pikirannya terus melayang-layang. Dia duduk diam sambil menatap kosong ke arah papan tulis, sementara dosen menerangkan materi dengan penuh semangat. Kata-kata dosen hanya berlalu begitu saja di telinganya. Pikirannya sibuk merenungkan cara mendapatkan uang untuk membayar semua itu. Mencari pekerjaan sambilan dengan gaji yang dibayar di muka sepertinya mustahil dalam waktu sesingkat ini. Satu-satunya pilihan lain adalah meminjam uang dari temannya, tetapi itu adalah sesuatu yang sangat dia hindari.
Sagara tidak bisa menutupi masalahnya di permukaan. Lucas yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Sagara yang tampak lebih diam dari biasanya.
"Bro, kok lu kelihatan ga bersemangat hari ini?" bisik Lucas sambil mencondongkan tubuhnya mendekat. "Ada masalah, ya?"
Sagara tersenyum tipis, "Ga apa-apa, cuma lagi banyak pikiran aja."
Lucas menatap Sagara dengan penuh perhatian. Dia tahu sahabatnya ini bukan tipe orang yang mudah terbuka tentang masalah pribadi. "Lu tau kan, kalau lu lagi butuh sesuatu, gua ada di sini buat bantu."
Sagara menghela napas. Tawaran itu terdengar menggiurkan, terutama dengan situasi yang dia hadapi saat ini. "Gua tau, Lucas. Tapi, gua ga pengen jadi beban buat lu."
Lucas tertawa kecil, "Beban? Lu bercanda? Gua ini orang kaya yang lagi nyari cara buat ngabisin duit, Bro!" ucap Lucas dengan candaannya.
Bagaimanapun Lucas adalah anak orang kaya yang hidupnya sedikit hedonis. Dia sering nongkrong di kafe mahal dan membeli barang-barang branded atau mewah tanpa berpikir panjang. Meskipun begitu, Lucas tidaklah sombong. Sebaliknya, dia sangat akrab dan menghargai pertemanannya dengan Sagara. Lucas menganggap Sagara sebagai pribadi yang dewasa, menyenangkan, dan bisa membantunya berubah menjadi versi dirinya yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
"Ayo cepetan cerita! Tentang apa? Kuliah? Atau ada masalah lain?" Lucas terus mendesak, seakan tak ingin melepaskan Sagara begitu saja.
Sagara menoleh ke arah Lucas, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Lu tau sendiri kan kontrakan gua masih nunggak dua bulan. Belum lagi angsuran kuliah. Gua ga tau harus cari uang dari mana lagi."
"Loh, gaji part time lu dua bulan ini emang ga cukup Ga?"
"Gaji dari hongkong? Si Bowo tuh kabur sebelum ngasih gaji gua. Tokonya udah dia jual, sekarang udah jadi punya orang lain."
"Gila ya itu si gendut! Bisa-bisanya! Oke, ayo Ga, kita ke kantor polisi sekarang!"
"Buat apa? Emang ngaruh?" tanya Sagara sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Ya engga sih, tapi masa lu pasrah gitu aja? Terus gimana bayaran kontrakan? Masih kurang kan? Apa mau gua pinjemin dulu?"
Sagara langsung memasang ekspresi tidak suka sebagai tanda kalau dirinya tidak menginginkan bantuan dari Lucas. Matanya menjadi tajam dan alisnya menukik, menegaskan bahwa dirinya sungguh tidak ingin meminjam uang dari Lucas.
Lucas yang menyadarinya pun angkat tangan, mengangguk pelan, memahami situasi sahabatnya itu. Sagara memang memiliki harga diri yang tinggi dan keras kepala. Dia selalu saja merasa tidak enak hati jika Lucas membantunya. Dia terlalu memikirkan hal yang tidak perlu, seperti merasa kalau dirinya memanfaatkan Lucas untuk terus membantunya dalam hal uang.
"Oke, oke. Gua ngerti, tapi gua serius ya sama kata-kata gua tadi, gua ga keberatan bantu lu."
Sagara tersenyum tipis, tapi ada kekhawatiran di matanya. "Iya, iya, bawel. Nanti kalau gua butuh banget, gua pasti kabarin lu."
Lucas tertawa kecil dan menepuk pundak Sagara. "Lu tuh ya, selalu aja mikirin orang lain. Ga enakan orangnya. Kita ini kan sahabatan, Bro. Lu udah banyak bantu gua di kuliah. Gue ga akan bisa survive di sini tanpa bantuan lu. Jadi, ini cuma sekadar gua balas budi aja. Gampang lah."
"Lucas, gua juga serius," jawab Sagara sambil menatap Lucas. "Gua hargai tawaran lu, tapi ini masalah prinsip. Gua ga mau selalu ngandelin orang lain buat bantu gua. Gua mau nyelesain masalah gua sendiri, paham?"
"Oke deh." Lucas mengangguk pelan, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.
Sagara tersenyum, merasa sedikit lega karena tahu bahwa Lucas benar-benar tulus ingin membantunya. Dia menatap sahabatnya itu dengan rasa terima kasih, tetapi tetap ada keraguan di hatinya. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang terus bergantung pada orang lain, apalagi dalam urusan keuangan. Namun, jika keadaan semakin mendesak, mungkin dia tidak punya pilihan lain.
Sepulang kuliah Sagara berjalan menuju tempat parkir dengan Lucas di sisinya. Mereka melangkah dalam keheningan sebelum Lucas akhirnya memecah suasana.
"Ga, tadi pas kita makan di kantin, kan sempat cerita soal warisan kakek lu. Udah tau rumahnya kayak gimana? Lu udah pernah ke sana?" tanya Lucas sambil membuka kunci mobilnya.
Sagara menggeleng. "Belum, gua belum sempat lihat rumahnya. Tapi gua udah cek lokasinya di maps. Rumah itu ada di kota sebelah, ga terlalu jauh dari sini. Mungkin cuma butuh waktu sejam kalau naik motor?"
Lucas menaikkan alisnya, tampak tertarik. "Serius? Sejam doang? Eh, kenapa lu ga pergi besok hari Jumat aja? Habis kelas terakhir selesai, langsung gas ke sana. Siapa tahu kan, di sana lu bisa nemuin sesuatu yang bisa bantu lu keluar dari masalah lu saat ini."
Sagara menatap Lucas, merenungkan kata-katanya. "Gua emang udah mikir buat ke sana dalam waktu dekat ini. Mungkin gua bisa lihat-lihat dulu di sana. Siapa tau ada barang-barang berharga yang bisa gua jual, atau setidaknya, gua bisa nenangin pikiran gua di sana. Kalau ga ada yang bisa jual, lebih baik rumahnya sekalian gua jual."
Lucas tersenyum lebar, sebenarnya dia sedikit merasa lucu mendengar perkataan Sagara, tapi dia mencoba untuk menahannya.
"Nah, gitu dong! Itu baru namanya rencana! Pokoknya kalau lu butuh bantuan buat bawa barang atau apa, lu tinggal panggil gua aja. Gua bisa temenin lu ke sana."
Sagara yang melihat Lucas pun ikut tertawa kecil, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar dukungan dari Lucas.
"Thanks, Lucas. Gua bakal kabarin lu kalau butuh bantuan. Rencananya gua bakal ke sana sendirian dulu. Mau lihat-lihat, siapa tau ada hal yang perlu gua selesaikan sendiri."
Lucas mengangguk paham. "Ya, ga masalah, tapi lu harus ingat, gua ada buat lu kapan aja. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa."
Sagara hanya tersenyum, kemudian mereka berpisah di parkiran. Sagara menaiki motornya dan memikirkan rencana untuk mengunjungi rumah itu akhir pekan nanti.
Malamnya Sagara duduk di meja belajar, menatap peta lokasi rumah warisan kakeknya. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh dengan berbagai kekhawatiran.
"Apa benar-benar bisa nemuin sesuatu di sana?" tanya Sagara pada dirinya sendiri.
Sagara telah memutuskan untuk mengunjungi rumah itu akhir pekan ini. Meski perasaan ragu masih ada, dia tahu bahwa langkah ini adalah salah satu cara untuk mengungkap lebih jauh tentang keluarganya, dan mungkin, dia bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang menimpanya saat ini. Segera dia akan mencari jawabannya di rumah itu.