Another Life: Legenda Sang Petani
Alex duduk di kursi taman sekolah. Tubuhnya bersandar lunglai. Wajahnya menengadah, menatap langit biru berhias gumpalan-gumpalan awan beraneka ragam bentuk dan ukuran.
"Hai bro! Kau sedang apa, bro?" seseorang datang. Derap langkahnya perlahan terdengar mengeras.
Alex tidak merespon. Sosoknya tetap mematung di tempat. Kedua matanya terus mengamati barisan awan. Gumpalan-gumpalan putih menyerupai kapas itu melaju beriringan ke timur.
"Apa ada masalah? Kenapa kau terlihat menyedihkan seperti itu?"
Dada Alex mengembang, lalu mengempis dengan perlahan saat udara di paru-parunya terpompa keluar. Dengan sedikit gerakan, Alex menoleh ke samping, menatap laki-laki yang baru saja duduk di sebelahnya. Jubah toga berwarna kombinasi merah dan putih membungkus sosok tersebut. Sebuah penampilan yang cukup mencolok di tengah taman yang didominasi warna hijau. Sama seperti apa yang dikenakan Alex.
"Aku baik-baik saja, Bud." balas Alex acuh. Dengan ringan, Alex kembali melempar pandangan ke atas. "Hanya saja… "
"Masih bingung harus memilih apa?" Budi memotong.
Senyum sejenak merekah di bibir Alex, cukup terkesan dengan pemikiran cakap sahabatnya itu. "Padahal hanya sebuah gim, tapi kenapa harus serumit ini? Kenapa kita semua harus memainkannya? Ini tidak masuk akal. Ini pemaksaan."
Budi ikut bersandar. Pandangannya juga terlempar ke ketinggian langit. "Apa yang kau tanyakan juga menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku rasa semua orang juga berpikiran sama sepertimu. Tapi ini adalah peraturan pemerintah dunia. Semua negara harus menjalankannya. Mau tidak mau kita sebagai rakyat hanya bisa mematuhi peraturan yang ada. Tujuh belas tahun merupakan batas minimum untuk mulai memainkan gim dan bagi siapa saja yang belum memainkannya hingga berumur dua puluh tahun akan dihukum berat. Itu memang peraturan yang tidak masuk akal. Tapi yang jelas ada maksud tersembunyi di balik kewajiban kita memainkan gim. Sebuah tujuan yang sengaja dirahasiakan demi kelangsungan hidup kita di masa depan."
"Aku tidak suka dengan pemerintah dunia. mereka terlalu banyak menyimpan rahasia dan seenaknya memerintah kita semua. Sedangkan kita sebagai rakyat biasa hanya bisa menurut mengikuti semua peraturan mereka." Alex diam sejenak. Dadanya membusung saat lubang hidungnya menghirup udara cukup banyak. "Tapi apa aku juga bisa disebut sebagai rakyat biasa?"
Budi terkekeh. Laki-laki berkepala botak itu menatap Alex dengan penuh belas kasihan. "Tentu saja tidak. Kau itu tergolong rakyat super elit. Begitu juga dengan semua keluargamu."
"Itu yang membuatku tidak nyaman. Aku berbeda dengan keluargaku yang lain. Aku tidak bisa dengan sukarela mengikuti aturan. Aku lebih menyukai kebebasan dan melakukan apa saja yang aku inginkan."
"Aku tahu itu. Aku paham dengan apa yang kau pikirkan. Tapi yang menjadi masalah adalah apa kakekmu akan membiarkanmu bertingkah seenaknya? Aku rasa dia akan langsung memburumu saat tahu kau tidak mengikuti jejak keluarga besarmu."
"Ya kau benar. Setelah tertangkap aku pasti akan langsung dipenggal di tempat. Tanpa belas kasihan dan tanpa memperdulikan jika aku cucunya. "
"Dipenggal dengan sekali tebasan." Budi menegaskan.
"Ya. Orang tua itu pasti akan melakukannya dengan senang hati."
"Aku setuju. Dia benar-benar mengerikan."
"Jauh lebih mengerikan dari Kaisar monster."
...-----@@-----...
Menara setinggi tiga ratus meter berdiri kokoh tepat di tengah Kota Semarang. Gedung pencakar langit itu berwarna putih. Bagian puncaknya runcing, membuat gedung tertinggi di provinsi jawa tengah itu terlihat seperti duri raksasa. Bangunan tersebut disebut Menara Kehidupan.
Dengan malas, Alex turun dari bus. Langkahnya menapaki lantai halte dengan gontai. Tidak ada semangat yang terpancar dari gerak-gerik remaja berumur tujuh belas tahun itu.
"Baiklah! Kita lihat dulu apa yang ada di sana." celoteh Alex ringan. Pandangannya yang masih berbalut kantuk terlempar perlahan ke Menara Kehidupan. Lalu dengan terpaksa mengayunkan langkah menyusuri trotoar ke arah gedung yang menjadi salah satu server gim Another Life itu.
"Ayo cepat! Aku sudah tidak sabar." seorang remaja seumuran Alex berceloteh. Dia berjalan bersama teman-temannya. Tidak jauh dari Alex.
"Aku juga ingin cepat memainkannya." sahut remaja lainnya.
"Uang! Uang! Uang! Tunggu aku! Aku akan mengambilmu!"
"Dasar otak uang! Apa hanya itu tujuanmu memainkan Another Life?"
"Tidak. Aku juga akan menjadi petualang terhebat dan menjadi yang terkuat."
Alex hanya bisa merekahkan senyum saat segerombol remaja di dekatnya membicarakan gim Another Life dengan penuh semangat dan bebas. Tidak ada beban yang tergurat di wajah. Hanya ada kebahagiaan di mata mereka.
"Senangnya jadi mereka." Alex iri.
Tak berselang lama gerbang Menara Kehidupan menyambut semua calon pemain baru. Antusiasme terlihat jelas di sana. Senyuman, semangat dan kegembiraan mendominasi antrian yang cukup panjang dan berkelok-kelok layaknya ular.
"Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu?" Langkah Alex melambat saat melewati gerbang.
Bagi Alex situasi di sekitarnya sekarang bukan sesuatu yang selama ini dia bayangkan. Selama ini Alex selalu didoktrin oleh keluarganya jika game Another Life bukan sekedar permainan. game tersebut bisa mempengaruhi kehidupan nyata. Apapun yang terjadi di dalam game sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kehidupan nyata setiap pemainnya, entah itu baik maupun buruk. Oleh karena itu seluruh keluarga Alex menganggap game yang dikendalikan oleh pemerintah dunia itu sebagai dunia kedua dan akan menjalaninya dengan serius.
Seraya mendekati ekor barisan, Alex mencoba mempengaruhi otaknya yang terlanjur terkontaminasi ajaran keluarganya sendiri. Alex berusaha menerima dan menganggap situasi di sekitarnya sebagai sebuah kewajaran.
"Sepertinya tidak seburuk yang kakek bilang." Alex mengamati keramaian di sekitarnya. Mau dilihat dari sisi manapun, mereka semua menebar kebahagiaan. Tidak ada guratan kekhawatiran di wajah mereka, apalagi ketakutan atas hancurnya masa depan jika seandainya permainan mereka hancur dan gagal total. "Baiklah! Aku akan menjadi seperti mereka." Senyum merekah lebar di bibir Alex.
Seiring berjalannya waktu, barisan bergerak perlahan ke depan. Alex yang awalnya berdiri di ekor barisan kini berada di bagian depan. Hanya tinggal menunggu belasan orang. Namun saat giliran Alex tiba, sebuah suara seketika menggelegar dan menarik perhatian semua orang di dalam barisan. Alex yang juga mendengarnya ikut menoleh ke sumber suara.
Sekitar lima puluh meter dari tempat pendaftaran, tepat di jalan setapak di tengah taman, sekelompok remaja laki-laki sedang berdiri angkuh di depan seorang gadis yang sedang sibuk memasukan beberapa perlengkapan ke dalam sebuah koper hitam. Beberapa satpam menghampiri tak lama kemudian. Mereka mencoba menengahi dan menenangkan situasi. Namun usaha mereka di acuhkan dan si gadis semakin mendapat perlakuan diskriminatif.
"Kenapa mereka selalu membuat masalah?" gerutu Alex seraya menggelengkan kepala. "Sepertinya mereka harus diberi pelajaran." Lanjut Alex seraya meninggalkan tempat pendaftaran. Langkahnya terayun cepat ke arah kericuhan yang kini menjadi pusat perhatian, dan dalam waktu singkat Alex berdiri di depan barisan kelompok yang mencoba menjadi pengacau di hari bersejarah bagi calon pemain Another Life.
"Sebenarnya seberapa besar kebencianmu padaku?" tanya seorang remaja laki-laki dengan suara tinggi saat Alex tiba dilokasi kericuhan. Laki-laki tersebut berperawakan kekar dan berambut merah menyala.
"Sudah aku bilang, aku tidak pernah membencimu. Hanya saja aku tidak suka caramu melampiaskan masalah dengan selalu membuat keributan. Bukankah kau tau itu, Miko."
Miko meludah ke samping. Tatapannya tajam dan penuh permusuhan. "Kau tidak mengenalku, dan kau tidak tahu apa-apa tentang masalahku. Jadi jangan bersikap seolah kau tahu segalanya tentang aku."
"Ayolah! Kita bicarakan ini baik-baik. Mungkin setelah..."
"Apa? Bicara? Jangan sok suci di depanku! Apa yang terjadi padaku sekarang itu karena keluargamu."
"Tapi… "
"Teman-teman ayo kita pergi! Tidak ada untungnya kita berada di sini."
Miko dan teman-temannya pergi layaknya kucing kehilangan mainan. Meninggalkan Alex bersama beberapa satpam dan gadis yang menjadi salah satu sumber keributan. Setelah memastikan semua sudah terkendali, para satpam ikut pergi.
"Kau baik-baik saja?" tanya Alex pada gadis di dekatnya.
"Ya. Terima kasih." balas gadis yang rambutnya dikuncir kepang itu. Setelah selesai memasukan semua barangnya yang tercecer ke dalam koper, gadis berkacamata tebal dan berwajah kusam itu berdiri dan sedikit membungkuk pada Alex sebelum pergi.
Alex yang akhirnya ditinggal sendirian hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya sudahlah! Tidak semua niat baik mendapat sesuatu yang menyenangkan, dan sepertinya aku harus mengantri lagi." Alex lesu saat pandangannya mendapati barisan antrian yang jauh lebih panjang dari sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Yurika23
saya mampir ya Thor. sukses selalu buat othor dan pembaca setianya...
support ceritaku juga ya....
2024-09-24
0
AstiRAA
Hallo kk.
Salam kenal
2024-08-07
1
SuryaPerkasa
menyimak dulu gan
2024-08-07
1