NovelToon NovelToon
Takhta Terakhir Endalast Ganfera

Takhta Terakhir Endalast Ganfera

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:11.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nabilla Apriditha

— END 30 BAB —

Endalast Ganfera duduk di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangannya sendiri. Usianya baru menginjak 15 tahun, tetapi di balik mata dan rambut merahnya, ada kedewasaan yang tumbuh terlalu cepat. Malam ini adalah ulang tahunnya, dan istana penuh dengan sorak-sorai perayaan.

Endalast tersenyum, tetapi matanya masih mengamati kerumunan. Di sudut ruangan, dia melihat pamannya, Lurian. Ada sesuatu dalam sikap dan tatapan Lurian yang membuat Endalast tidak nyaman. Lurian selalu tampak ambisius, dan ada desas-desus tentang ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Thalion.

Lurian berpaling dan berbicara dengan bangsawan lain, meninggalkan Endalast dengan perasaan tidak enak. Dia mencoba menikmati perayaan, tetapi kecemasan terus mengganggunya. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari luar, oh tidak apa yang akan terjadi??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nabilla Apriditha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: Sang Tabib

.......

.......

.......

...——————————...

Di tengah kegelapan hutan, Endalast duduk dengan punggung bersandar pada batang pohon besar, wajahnya basah oleh air mata. Endalast masih sangat terguncang dengan apa yang menimpa keluarganya di hari ulang tahunnya ini.

Sir Alven berdiri tak jauh darinya, mengawasi sekitar dengan cermat untuk memastikan tidak ada musuh yang mengikuti jejak mereka. Malam itu sunyi, hanya terdengar suara burung hantu dan gemerisik dedaunan yang diterpa angin.

“Pangeran, kita harus terus bergerak,” kata Sir Alven dengan nada lembut namun tegas. “Kita belum aman di sini.”

Endalast mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ingatan akan malam pengkhianatan itu masih segar di pikirannya.

Dia bisa melihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh keberanian dan ibunya yang kuat, keduanya terluka berusaha menahan musuh demi dirinya di aula besar istana.

“Aku tidak bisa, Sir Alven,” bisik Endalast, suaranya bergetar. “Aku tidak bisa melupakan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan hidup setelah kehilangan semuanya?”

Sir Alven mendekat dan berlutut di depan Endalast, menatap mata merah pangeran muda itu dengan penuh simpati. “Aku mengerti perasaanmu, Pangeran. Kehilangan mereka adalah pukulan yang sangat berat bagi kita semua. Tapi kita harus bertahan. Raja Thalion dan Ratu Althea tidak akan ingin kita menyerah.”

Endalast terisak, menggenggam erat liontin keluarga yang diberikan oleh ibunya sebelum dia melarikan diri.

“Ibuku berkata agar aku lari. Dia menatapku dengan sorot mata penuh harapan. Dia ingin aku membalas dendam atas kematian mereka, Sir Alven.”

Sir Alven mengangguk, “Aku tahu, Pangeran. Dan kita akan melakukannya. Tapi kita harus cerdas dan sabar. Kita harus mengumpulkan kekuatan dan merencanakan setiap langkah dengan hati-hati.”

Endalast menghapus air matanya dan menatap Sir Alven dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. “Aku akan membalas dendam, Sir Alven. Aku akan membunuh semua orang yang terlibat dalam kudeta ini. Lurian, Raja Norval, dan setiap prajurit yang berkhianat. Aku tidak akan berhenti sampai mereka semua mendapat balasan yang setimpal.”

Sir Alven tersenyum tipis, “Itulah semangat yang kuharapkan darimu, Pangeran. Kita akan mulai dengan mencari sekutu dan membentuk kelompok kecil yang bisa dipercaya. Kita akan bergerak dalam bayangan, mempersiapkan diri untuk saat yang tepat.”

Malam itu, mereka berdua berjalan lebih dalam ke hutan, menemukan sebuah gua yang tersembunyi sebagai tempat perlindungan sementara.

Di dalam gua, mereka bertemu dengan beberapa penyintas lainnya - prajurit setia, pelayan, dan rakyat biasa yang berhasil melarikan diri dari serangan Nereval.

“Pangeran Endalast!” seru salah satu prajurit, Sir Cedric, yang segera berlutut dengan hormat. “Kami mengira Anda sudah tiada. Terima kasih kepada para dewa, Anda selamat.”

Endalast mengangguk, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Terima kasih, Sir Cedric. Kita harus bertahan dan bersatu. Aku membutuhkan kalian semua untuk membantuku merebut kembali takhta.”

Sir Cedric dan yang lainnya setuju dengan penuh semangat. “Kami bersumpah setia kepada Anda, Pangeran. Kami akan membantu Anda dalam setiap langkah,” kata Sir Cedric dengan suara mantap.

Endalast merasakan sedikit harapan tumbuh di dalam hatinya. Dia menyadari bahwa meskipun dia telah kehilangan banyak, masih ada orang-orang yang setia dan siap berjuang bersamanya.

Malam itu, di tengah hutan gelap, mereka mulai merencanakan cara untuk bertahan hidup dan melawan musuh.

“Kita harus menemukan tempat yang lebih aman dan memulai pelatihan,” kata Sir Alven. “Kita akan mengajarkan semua orang cara bertarung dan bertahan. Kita juga perlu mengumpulkan informasi tentang musuh.”

Endalast menyetujui rencana itu. “Kita akan bergerak dalam bayangan, menyerang mereka di tempat yang tidak mereka duga. Kita akan mengambil kembali apa yang menjadi milik kita.”

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan pelatihan dan persiapan. Endalast, yang dulunya seorang pangeran yang lembut dan penuh kasih sayang, mulai berubah menjadi pemimpin yang tangguh.

Setiap hari dia berlatih dengan keras, belajar menggunakan pedang dan strategi perang dari Sir Alven dan Sir Cedric.

“Pangeran, Anda sangat berbakat,” kata Sir Cedric suatu hari saat mereka berlatih pedang. “Kecepatan dan kekuatan Anda mengingatkan saya pada Raja Thalion.”

Endalast mengangguk, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa itu bukan hanya tentang bakat. Itu adalah dendam dan tekad yang membakar di dalam dirinya.

Setiap kali dia mengayunkan pedangnya, dia membayangkan wajah Lurian dan Raja Norval, membayangkan membalas dendam atas kematian orang tuanya.

“Mereka akan membayar, Sir Cedric. Setiap dari mereka akan merasakan penderitaan yang mereka sebabkan,” gumam Endalast dengan suara rendah namun penuh tekad.

Malam-malam di hutan gelap dipenuhi dengan rencana dan diskusi. Endalast dan kelompoknya memetakan wilayah sekitar, mencari tempat yang bisa dijadikan basis operasi. Mereka juga mulai mengirim pengintai untuk mengumpulkan informasi tentang pergerakan musuh.

“Kita perlu tahu di mana mereka berkumpul, bagaimana mereka berkomunikasi, dan apa kelemahan mereka,” kata Sir Alven saat mereka berdiskusi di sekitar api unggun. “Dengan informasi yang tepat, kita bisa menyusun strategi yang efektif.”

Endalast menyetujui semua rencana dengan serius. Dia tidak ingin ada kesalahan. Setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati. “Kita juga harus mencari sekutu. Kerajaan lain yang mungkin ingin membantu kita melawan Nereval.”

Mereka mulai mengirim utusan ke kerajaan tetangga yang pernah menjadi sekutu Ganfera. Beberapa dari mereka setuju untuk membantu dengan pasukan kecil atau persediaan, tetapi kebanyakan masih ragu karena takut akan kekuatan Nereval dan Lurian.

“Kita akan membuktikan kepada mereka bahwa kita bisa menang,” kata Endalast dengan penuh keyakinan. “Setelah kita meraih beberapa kemenangan kecil, mereka akan melihat bahwa kita adalah kekuatan yang harus diperhitungkan.”

Dalam beberapa minggu berikutnya, Endalast dan kelompoknya berhasil melancarkan beberapa serangan gerilya terhadap pasukan Nereval yang terpisah dari induk pasukan.

Mereka menyerang di malam hari, menggunakan taktik kejutan yang membuat musuh kebingungan.

“Kita berhasil lagi, Pangeran!” seru Sir Cedric setelah salah satu serangan yang sukses. “Ini akan meningkatkan moral kita dan menunjukkan kepada sekutu potensial bahwa kita bisa melawan.”

Endalast merasa sedikit kelegaan, tetapi dendam di dalam dirinya tidak pernah surut. Dia masih merasakan luka mendalam setiap kali mengingat malam pengkhianatan itu.

Setiap kemenangan kecil adalah langkah menuju tujuan utamanya; membalas dendam dan merebut kembali takhta.

Satu malam, saat mereka berkumpul di sekitar api unggun, Endalast berbicara kepada kelompoknya dengan nada serius. “Aku ingin kalian semua tahu bahwa aku sangat menghargai kesetiaan dan keberanian kalian. Kita berada dalam perjalanan panjang dan berbahaya, tetapi kita akan menang. Kita akan mengambil kembali apa yang menjadi hak kita, dan kita akan memberikan keadilan bagi mereka yang telah mengkhianati kita.”

Semua orang mengangguk setuju, dengan tekad yang sama kuatnya dengan Endalast. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka siap menghadapi segala rintangan demi mencapai tujuan mereka.

Di tengah kegelapan hutan, di bawah langit berbintang, Endalast berdiri dengan kepala tegak. Dia merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Dendam yang membakar di dalam dirinya memberinya kekuatan untuk terus maju, untuk melawan musuh, dan untuk membuktikan bahwa meskipun dia hanya seorang pangeran muda, dia adalah pewaris sah takhta Ganfera.

“Untuk ayahku, untuk ibuku, dan untuk seluruh rakyat Ganfera,” gumam Endalast, menatap api unggun yang berkilauan. “Aku tidak akan berhenti sampai kita menang.” 

Dengan demikian, di tengah hutan gelap, Endalast dan kelompoknya terus melangkah maju, merencanakan setiap langkah dengan cermat, bertekad untuk membalikkan keadaan dan merebut kembali takhta yang menjadi haknya.

...——————————...

Di tengah hutan gelap, Endalast dan kelompoknya terus bertahan, namun tantangan semakin berat. Luka-luka dan penyakit mulai mengganggu mereka, membuat mereka membutuhkan bantuan yang lebih dari sekedar keterampilan bertarung.

Di saat itu, mereka mendengar tentang seorang tabib tua yang tinggal di pedalaman hutan, seorang pria yang dikenal memiliki ilmu pengobatan dan pengetahuan tentang bertahan hidup yang luar biasa.

“Pangeran, kita harus mencari tabib itu,” kata Sir Alven suatu malam, setelah melihat semakin banyak prajurit yang sakit dan terluka. “Dia bisa membantu kita.”

Endalast mengangguk, menyadari betapa pentingnya bantuan dari tabib tersebut. “Kita akan mencarinya. Kalau dia bisa membantu kita bertahan, kita harus berusaha mendapatkannya.”

Setelah beberapa hari perjalanan, mereka akhirnya menemukan sebuah pondok sederhana di tengah hutan, tersembunyi di antara pepohonan lebat. Di sana, mereka bertemu dengan sang tabib.

Meskipun dia dikenal sebagai “tabib tua”, penampilannya tidak sesuai dengan julukannya. Dia tampak seperti seorang pria berusia sekitar 25 tahun, dengan wajah halus dan mata yang penuh kebijaksanaan.

“Selamat datang,” tabib itu menyapa dengan suara tenang. “Aku sudah menunggu kalian.”

Endalast melangkah maju, menatap tabib itu dengan rasa ingin tahu. “Kau tahu kami akan datang?”

Tabib itu mengangguk. “Angin membawa kabar tentang kalian. Aku tahu bahwa Pangeran Ganfera akan datang mencariku.”

“Namaku Endalast Ganfera,” kata Endalast, berusaha menunjukkan hormat. “Kami membutuhkan bantuanmu, tabib.”

Tabib itu tersenyum tipis, “Namaku Arlon. Aku akan membantumu, Pangeran. Tapi bukan hanya itu, aku akan mengajarkanmu semua yang aku tahu tentang pengobatan dan bertahan hidup.”

Endalast terkejut mendengar tawaran itu. “Mengapa kau ingin membantuku? Mengapa kau bersumpah setia kepada seorang pangeran yang tidak kau kenal?”

Arlon menatap Endalast dengan tatapan lembut. “Mari kita duduk, dan aku akan menceritakan sebuah kisah.”

Mereka duduk di sekitar api unggun, dan Arlon mulai bercerita. “Bertahun-tahun yang lalu, aku adalah teman masa kecil ayahmu, Thalion. Kami tumbuh bersama di desa kecil di luar istana. Ayahku adalah seorang petani miskin, dan aku sering harus bekerja keras untuk membantu keluargaku.”

Arlon berhenti sejenak, mengenang masa lalu. “Thalion adalah calon raja, tetapi dia tidak pernah menunjukkan kesombongan atau keangkuhan. Dia adalah teman sejati. Kami sering berbagi kisah, dan dia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian.”

“Suatu hari, ayahku jatuh sakit parah. Kami tidak punya uang untuk membayar tabib istana. Thalion melihat penderitaan kami, dan tanpa ragu, dia memutuskan untuk membantu."

"Dia bekerja diam-diam di lingkungan kotor, membersihkan jalan dan mengangkut barang, hanya untuk mengumpulkan cukup uang untuk membayar tabib.”

Endalast mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya berkaca-kaca. “Ayahku melakukan itu?”

Arlon mengangguk. “Ya, dia melakukannya. Dia tahu aku tidak ingin menerima uang dari kerajaan, jadi dia bekerja keras tanpa memberitahu siapa pun."

"Setelah ayahku sembuh, aku bersumpah untuk mendedikasikan hidupku untuk belajar pengobatan dan membantu orang lain, seperti yang Thalion lakukan untuk keluargaku.”

Endalast tersenyum bangga, merasakan kebijaksanaan dan kebaikan ayahnya mengalir dalam dirinya. “Ayahku adalah raja yang bijaksana dan peduli.”

“Dia adalah yang terbaik dari kita,” kata Arlon dengan nada lembut. “Dan sekarang, aku ingin meneruskan ilmu yang aku pelajari kepada putranya. Aku bersumpah setia kepadamu, Pangeran Endalast, karena aku melihat kebaikan dan kebijaksanaan ayahmu dalam dirimu.”

Endalast merasakan kehangatan dan rasa syukur yang mendalam. “Terima kasih, Arlon. Aku akan belajar dengan sepenuh hati, dan aku akan berusaha menjadi pemimpin yang bijaksana seperti ayahku.”

Malam itu, di bawah bimbingan Arlon, Endalast mulai belajar tentang pengobatan dan strategi bertahan hidup. Arlon mengajarinya cara mengenali tumbuhan obat, meracik ramuan, dan merawat luka dengan efektif.

Setiap hari, mereka berlatih dan belajar, sementara kelompok mereka mulai pulih dan mendapatkan kekuatan baru.

“Ini adalah tanaman yarrow,” kata Arlon suatu hari, menunjuk pada tumbuhan berdaun hijau dengan bunga putih kecil. “Tanaman ini sangat berguna untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat penyembuhan luka.”

Endalast mengamati dengan seksama, mencatat setiap detail dalam ingatannya. “Bagaimana cara menggunakannya?”

“Kau harus mengeringkan daunnya terlebih dahulu, kemudian menghancurkannya menjadi serbuk halus. Taburkan serbuk ini pada luka yang berdarah, dan balut dengan kain bersih,” jelas Arlon.

Setiap hari adalah pelajaran baru. Endalast belajar cara mengidentifikasi racun dan penawar, cara mengobati demam tinggi, dan bahkan cara melakukan prosedur bedah sederhana.

Keahlian Arlon dalam pengobatan sungguh luar biasa, dan Endalast merasa beruntung memiliki guru yang begitu berpengetahuan. Namun, pelajaran mereka tidak hanya terbatas pada pengobatan.

Arlon juga mengajarkan Endalast tentang strategi bertahan hidup di hutan, cara membangun tempat perlindungan yang aman, dan cara berburu dan mencari makanan.

Mereka sering melakukan perjalanan jauh ke dalam hutan, menguji keterampilan baru mereka dalam situasi nyata.

“Lihatlah jejak ini,” kata Arlon, menunjuk pada jejak di tanah. “Ini adalah jejak rusa. Kita bisa mengikuti jejak ini untuk menemukan sumber makanan.”

Endalast mengikuti jejak dengan hati-hati, belajar membaca tanda-tanda alam dan memahami bagaimana bertahan hidup di lingkungan yang keras. Dia mulai merasakan rasa percaya diri yang tumbuh dalam dirinya, berkat bimbingan dan pelatihan dari Arlon.

Malam-malam mereka dihabiskan dengan berdiskusi dan merencanakan. Arlon sering berbagi cerita tentang masa lalunya bersama Thalion, memberikan inspirasi dan semangat kepada Endalast.

“Thalion selalu berkata bahwa seorang pemimpin harus memahami penderitaan rakyatnya,” kata Arlon suatu malam. “Dia tidak pernah ragu untuk bekerja keras dan membantu mereka yang membutuhkan. Itu adalah pelajaran terbesar yang dia ajarkan padaku.”

Endalast mengangguk, merasakan kebijaksanaan kata-kata itu. “Aku akan mengingatnya, Arlon. Aku akan berusaha menjadi pemimpin yang peduli dan bijaksana seperti ayahku.”

Dengan waktu yang berlalu, hubungan antara Endalast dan Arlon semakin kuat. Mereka menjadi lebih dari sekedar guru dan murid, mereka menjadi teman sejati yang saling mendukung dalam perjalanan yang penuh bahaya ini.

“Arlon, apa yang paling penting untuk kita lakukan sekarang?” tanya Endalast suatu malam.

“Kita harus membangun kekuatan kita, Pangeran,” jawab Arlon. “Kita harus mencari sekutu, melatih prajurit kita, dan terus mengumpulkan informasi tentang musuh. Tapi yang paling penting, kita harus tetap berharap. Jangan pernah kehilangan harapan, karena itulah yang akan membimbing kita menuju kemenangan.”

Endalast mengangguk, merasakan kekuatan dan tekad yang tumbuh dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan berbahaya, tetapi dengan bantuan Arlon dan kelompoknya, dia merasa siap untuk menghadapi segala rintangan.

Dengan pelatihan dan pengetahuan dari Arlon, Endalast mulai mempersiapkan diri untuk pertempuran besar yang akan datang. Dia tahu bahwa hari itu akan tiba, saat dia harus menghadapi Lurian dan Raja Norval. Dan ketika hari itu tiba, dia akan siap.

Di tengah hutan yang gelap, di bawah bimbingan sang tabib tua yang bijaksana, Endalast menemukan kekuatan baru dalam dirinya.

Kekuatan untuk bertahan, kekuatan untuk melawan, dan kekuatan untuk membalas dendam atas kematian keluarganya. Dan dengan setiap langkah yang dia ambil, dia semakin mendekati tujuannya yakni merebut kembali takhta yang menjadi haknya, dan membawa keadilan bagi kerajaan Ganfera.

1
Carletta
keren
RenJana
lagi lagi
Lyon
next episode
Candramawa
up
NymEnjurA
lagi lagi
Ewanasa
up up
Alde.naro
next update
Sta v ros
keren bener
! Nykemoe
cakep up up
Kaelanero
bagus banget
AnGeorge
cakep
Nykelius
bagus top
Milesandre``
lagi thor
Thea Swesia
up kakak
Zho Wenxio
kece up
Shane Argantara
bagus
☕️ . . Maureen
bagus banget ceritanya
Kiara Serena
bagus pol
Veverly
cakep
Nezzy Meisya
waw keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!