NovelToon NovelToon
PINK BUBBLES #1

PINK BUBBLES #1

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: LeoRa_

Judul kecil: SUAMI KECIL YANG LENGKET DAN MANJA

Sinopsis (pendek saja):
Ini tentang remaja laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis yang lebih tua darinya sejak pertemuan pertama. Dengan laki-laki berpostur dewasa dan gadisnya justru kebalikannya.

[Catatan penulis: tidak ada konflik berarti yang mengganggu, hanya cerita yang menghibur saja. sebab penulis tidak mau tambah stress, cukup di dunia nyata saja.]

Buat yang suka alur santai, bisa datang ke penulis. di jamin gak akan nambah beban pikiran. kecuali agak hambar. hahaha. maklum, menulis cerita juga butuh ide dan ide datangnya dari kinerja otak yang bagus. jadi, penulis harus selalu menjaga pikiran tetap tenang dan bersih agar bisa berpikir lebih imajinatif untuk menghibur pembaca semua.

love u😘

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LeoRa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PROLOG

Lorong bercat putih itu terasa dingin dan mencekam, ditambah dengan adanya seorang pria berjas yang sudah terlihat kusut tengah berjongkok mencengkeram erat rambutnya tanda amat tertekan didepan sebuah pintu bertanda ruang UGD.

Bersamaan dengan itu, keheningannya diganggu oleh suara dering telepon yang berada di saku celananya, terlihat nyaris keluar.

Tapi, pria itu tidak terlihat terganggu dengan suara tersebut. Dia tampak lebih fokus pada pintu ruangan didepannya dengan perasaan gusar dan takut. Sampai seorang perawat yang lewat menyadarkannya kalau ponselnya sedari tadi berdering.

Dalam keadaan masih linglung, dia pun mengangkat panggilan itu.

"Halo..." suaranya lirih sekali, sarat akan ketidakberdayaan.

"Sayang, syukurlah. Akhirnya, kau mengangkatnya. Aku pikir terjadi sesuatu padamu. Tadi, sekretaris mu menelpon ku dan memberitahu ku kalau kau tidak mengangkat telponnya. Padahal ada jadwal rapat penting pagi ini. Kau dimana? Apa sesuatu menghalangi mu?" suara seorang wanita terdengar dari seberang sana. Terdengar khawatir juga lega. Mungkin karena, akhirnya suaminya mengangkat telponnya.

Akan tetapi, pria itu sudah tidak bisa berpikir jernih saat ini. Sesuatu telah terjadi dan itu membuatnya ketakutan.

"Hah... Istriku..." dia menelan ludah sebelum kembali bersuara.

"Iya, ada apa?" suara sang istri masih lembut terkendali.

Pria itu merasa tak kuat untuk mengatakannya, tapi akhirnya yang dia ucapkan adalah... "Datanglah ke Rumah Sakit Amanda... Diruang UGD... Aku membutuhkanmu..." air mata menetes usai mengatakannya.

Di ujung telpon sana, sang istri dibuat ketakutan mendengar suaminya berada di rumah sakit. Ditambah dengan nada bicaranya yang seolah menyiratkan kalau sesuatu yang fatal telah terjadi.

Tanpa berlama-lama...

"... Oke! Tunggu aku kesana! Jangan khawatir! Aku bersamamu, sayang!" dan setelahnya panggilan itu diputus segera.

Pria itu kembali lemas seraya menatap penuh harap juga takut ke arah pintu ruang UGD.

Tak berselang lama, dokter yang bertanggungjawab keluar. Dia melepas maskernya, lalu berkata. "Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi kondisinya terlalu parah. Operasi pun tak memungkinkan. Pendarahannya juga terlalu deras. Kami sudah berusaha menghentikan pendarahan agar operasi bisa dilakukan, tapi kami kekurangan waktu. Pasien sudah kehilangan banyak darah dari sebelum tiba di rumah sakit..."

"Jadi... Ma...ma..maksud, dokter..." pias sudah wajah pria itu kala mendengar kalimat pertama yang sudah jelas memberitahunya kalau kemungkinan diselamatkan teramat kecil.

Sang dokter hanya bisa menghela nafas atas ketidakmampuannya karena bagaimanapun dia hanyalah manusia biasa yang menjadi perantara dalam menyelamatkan orang menggunakan profesinya.

"Pasien di nyatakan meninggal hari ini pukul 10.18. Sekali lagi, kami minta maaf." Dokter tak bisa berbuat apapun.

Tubuh pria itu terhuyung kesamping sebelum berhenti karena seseorang memegangnya. Dengan sisa tenaga pria itu menoleh, dia pikir sang istri sudah tiba. Tapi, yang dilihatnya justru seorang gadis mungil yang cantik dan menggemaskan sedang menahan bobot tubuhnya bersamaan dengan matanya yang memerah dan berkaca-kaca. Tampak air mata siap jatuh dari pelupuk matanya kapan saja.

Gadis itu tidak melihat kearahnya, tapi kearah pintu. Melihat itu, pikiran pertama pria itu adalah gadis ini haruslah anak dari pria yang ada didalam ruang UGD itu. Pria yang baru saja dinyatakan meninggal dunia.

Sekujur tubuh pria itu tegang jadinya, menatap gugup dan bersalah pada gadis itu hingga spontan pria itu menjatuhkan tubuhnya menjadi berlutut didepan gadis yang berdiri dengan tatapan kosongnya. Bahkan saat pria yang dia tahan tubuhnya berlutut, dia terlihat tidak menyadarinya.

"T.. Tolong... Tolong maafkan saya. Maafkan saya. Tidak seharusnya saya melakukannya. Maafkan saya... Sungguh maafkan saya. Tolong maafkan saya. Saya mohon. Maafkan saya... Nak, maafkan saya. Tolong. saya mengaku salah. Tolong maafkan saya..." dan sisa kalimat yang pria itu ucapkan tanpa henti tak lagi terdengar ditelinga gadis itu.

Telinganya terasa berdengung dan memblokir segala suara yang ada disekitarnya sebelum memutar kembali beberapa kalimat yang pernah dia dengar dari pria didalam ruangan itu. Beberapa kalimat yang ternyata adalah pertanda.

Dengan langkah berat dia memaksa untuk masuk kedalam ruangan yang menjadi tempat terakhir dia bisa melihat pria yang tak lain adalah ayahnya dengan air mata berlinangan.

"Berapa lama kita sudah hidup berdua? 5 tahun, ya... Tidak terasa sudah selama itu. Haha..."

Dia ingat senyum tanpa bebannya kala itu.

"Nak, aku merindukan ibumu. Apa kau merindukannya juga?"

Dia ingat melihat pria paruh baya itu sedang memandangi foto istrinya dengan mata penuh cinta.

"Hei, carilah suami. Jadi, aku bisa lega. Jika, aku tiba-tiba pergi aku tidak akan merasa bersalah karena meninggalkan mu begitu saja... Ouh, kenapa kau memukul ayahmu. Hahaha..."

Saat dia kesal mendengar perkataan pria itu hingga memukulnya beberapa kali. Tentu saja bukan dengan pukulan yang sesungguhnya.

"Putriku, ini uang tabungan yang sudah ku kumpulkan selama 5 tahun terakhir ini. Kau pegang sekarang. Biar aku lega. Soalnya, hanya ini harta yang bisa ku tinggalkan untukmu. Hei, kau memukulku lagi. Dasar anak durhaka! Hahaha... Iya, iya... Maaf... Kau ini."

Dia ingat saat itu, kurang dari sebulan yang lalu dia sekali lagi memukulinya karena sering mengucapkan tentang kematian yang tak pernah mau dia dengar, tapi pria itu malah tertawa tanpa beban.

Selalu seperti itu...

"Putriku kenapa cantik sekali... Padahal ayah dan ibunya biasa saja. Aku jadi cemas jika tiba-tiba meninggal dan meninggalkan mu sendiri... Hah... Jangan marah. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Jika bukan kau yang meninggal lebih dulu bukankah sudah pasti ayahmu ini? Tapi, aku berharap kau memiliki umur yang panjang, sampai menikah, memiliki anak, melihat anakmu tumbuh besar, melihatnya menikah, lalu memiliki cucu, membantu merawat cucu... Oh oh oh... Dipukul lagi? Iya, aku juga mau melihatnya. Iya, iya. Aku akan berumur panjang. Jangan khawatir."

Tiada hari dia dibuat kesal olehnya.

"Nak, tampaknya ayah berhasil membesarkan mu. Bagaimana ini?! Aku jadi khawatir meninggalkan mu lebih dulu. Haruskah aku mencarikan suami untuk mu dulu? Astaga, jangan menangis. Maaf, maaf, ayah mengatakan sesuatu yang salah."

Dia menangis mendengar pria itu kembali mengatakannya seolah tak ada harapan mereka akan bersama untuk Waktu yang lebih lama.

"Anakku, mungkin ini terdengar tak menyenangkan untuk mu. Tapi, tolong dengarkan saja. Kau pasti tidak senang jika aku mengatakan soal kematian. tapi, kau harus tahu kalau itu hal yang sudah pasti. Hanya saja, siapa diantara kita yang lebih dulu pergi adalah hal yang tidak bisa ditebak. Karena itu, ayah ingin kita siap lebih awal. Jangan sampai seperti saat ibumu meninggal. Kita tidak siap hingga nyaris mengacaukan hidup kita sendiri. Kali ini, kita harus siap pada apapun yang terjadi. Ayah hanya minta satu hal padamu... Jika, ayah pergi lebih dulu, entah dengan cara seperti apa, tolong ikhlaskan kepergian ayah dan berlapang dada lah pada apapun yang mungkin menjadi alasan ayah pergi. Jangan juga sedih berlarut-larut, ayah tidak suka. Sebagaimana ayah membahagiakanmu selama ini, kau harus menjaga hal itu meski nanti tanpa ayah. Paham, nak?"

Saat itu dia diam dengan banjir air mata sambil melihat pria itu berbicara.

"Putriku sayang, ayah pergi dulu ya. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan tepat waktu. Ingat apa yang sudah ayah ajarkan padamu, tahu?! Anak ayah sudah besar dan sangat membanggakan. Jadi, ayah tidak khawatir. Kecuali satu, jodohnya belum juga kelihatan..."

Itu adalah kalimat terakhir dari sang ayah yang dia dengar pagi ini saat sang ayah keluar dari rumah sambil berpamitan hendak bekerja.

Tak disangka itu adalah kalimat serta pesan terakhir yang akan dia dengar.

Selesai suara itu menggema di telinganya, bertepatan dengan dia tiba di samping ranjang yang masih ditempati oleh sang ayah.

Wajah sang ayah masih terlihat dengan jelas , hanya saja kali ini tidak lagi memerah dan hangat dengan senyum yang tak pernah berhenti merekah. Sayangnya, badannya berbalut perban penuh sehingga dia tak bisa melihat apakah badannya baik-baik saja atau tidak. Tapi, mendengar pernyataan dari polisi yang menghubunginya membuatnya bersyukur karena wajah sang ayah masih bisa di lihat dan kenali.

Air mata mengalir tanpa bisa dicegah sedari tadi, hanya saja suaranya tertahan. Dengan gerakan kaku, dia menundukkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya ke kening sang ayah. Menciumnya lama dengan air mata berlinangan.

Sebelum berbisik dengan suara sengau yang bergetar. "Aku ingat, ayah... aku sangat ingat. Aku sudah besar dan tidak akan membuat mu berhenti bangga padaku. Aku janji."

Dia tak berani memeluk tubuh sang ayah, karena takut kalau tubuh itu sebenarnya sudah tak berbentuk lagi tapi, pihak dokter berusia menyusunnya kembali seperti semula dengan segala usaha mereka.

Begitu dia menegakkan tubuhnya kembali, suara bergetar lain terdengar.

"Saya yang akan bertanggung jawab atas segalanya. Tolong izinkan saya."

Kini, barulah dia dapat melihat pria didepannya yang sesuai penjelasan polisi kalau pria ini adalah pria yang menjadi penumpang terakhir yang menaiki taksi yang ayahnya kemudikan.

Menurut kesaksian pria ini, dia mengakui kesalahannya karena saat itu sedang terburu-buru untuk pergi ke kantor tapi mobil pribadi yang dia tumpangi malah mogok ditengah perjalanan, membuat emosinya agak tak terkendali karena diburu waktu. Jadi, demi tidak menunda waktu pria ini pun meninggalkan mobilnya beserta sopirnya dan langsung mencari taksi. Begitu menemukannya dia langsung meminta sopir taksi untuk bergegas. Sampai di persimpangan lampu merah, pria ini yang menuntut sopir taksi agar mengebut setelah dia melihat waktu yang tertera di sisi lampu lalulintas dimana saat itu menandakan akan berubah dari hijau ke merah. Dia hanya berpikir tak ingin terlambat. Sayangnya, saat berhasil menerobos di detik terakhir lampu hijau, kendaraan disisi samping melakukan hal yang sama dan terjadilah kecelakaan itu.

Sebuah mobil box besar menghantam mobil taksi tepat di bagian samping pengemudi. Sisa cerita sudah bisa dibayangkan.

Dapat dia lihat pria yang seumuran ayahnya ini juga tak kalah berantakannya dengan dia, menandakan kalau dia benar-benar menyesalinya.

Dia juga tak bisa marah, dia mengingat perkataan sang ayah. Ini adalah takdir. Apapun cara sang ayah pergi, itu semua adalah takdir dan tidak perlu menyalahkan siapapun. Jadi, gadis itu hanya melihat dan tidak memarahi pria itu.

Dia memilih menerimanya, dengan tujuan agar pria didepannya ini bisa berhenti merasa bersalah.

"Terimakasih, Tuan. Semoga saya tidak merepotkan anda." senyum merekah di wajah kuyuh pria itu, seolah perkataannya ini adalah tanda kalau dia memaafkannya.

"Terimakasih... Terimakasih..." suaranya sampai serak karena sejak tadi terus memohon maaf padanya.

"Dan, Tuan... Tolong jangan menyalahkan diri anda. Ini sudah takdir. Sudah takdir Ayah saya pergi dengan cara seperti ini. Setidaknya ini lebih baik daripada dicelakai orang dengan sengaja, kan. Jadi, Tuan harus berhenti menyalahkan diri sendiri setelah ini. Saya sudah ikhlas." jelas gadis itu dengan sedikit senyum tulus di bibirnya.

Sisanya, pria itu yang mengurusnya ditemani sang istri yang kasihan melihat suaminya begitu menyedihkan.

Setidaknya, dia bersyukur anak korban tidak menyalahkan suaminya.

Gadis itu hanya terdiam dengan kesedihan yang tak kuasa diungkapkan sambil melihat proses dari sang ayah di bersihkan sampai di makamkan.

"Sekarang aku sendiri ayah, ibu." lirihnya lagi dengan airmata yang tak henti-hentinya mengalir sembari menempelkan keningnya ke batu nisan sang ayah.

.

.

.

.

.

.

.

1
@train
tetap semangat ya thor
@train
siap thor
Fauziah Tallya
mudah2an qiena nya gpp sama semua bayi nya
@train
ya oke thor maklum aku karena semua pekerjaan itu tidak bisa dikerjakan sekalian
@train
wow,selamat untuk pasangan muda kita
@train
apa mungkin oiena alumni sekolah tersebut
@train
semangat thor
@train
belum banyak yang join ya
@train
wow,semakin seru saja
@train
karya yang bagus
Fauziah Tallya
selamat, sudah sah aja nanti h
@train
wow,bunga cinta bertebaran
Fauziah Tallya
mama stevani ngelamar nya sweet bangett, pengen nabung bab tapi tiap ada notif gak kuat pengen langsung baca...
ditunggu up lagi yah thor
Fauziah Tallya
bagus banget ceritanya, semangat up thor
Fauziah Tallya
ditunggu up lagi ka 😊
anggita
like👍+☝iklan moga novelnya lancar sukses.
anggita
disemua novel tiap pintu dibuka bunyinya.... ceklek🤭
Dewi
Kangen 3Ry (Ryura,Reychu sma Rayan)
Dewi: Slalu di tunggu thor krya krya nya semngat trus ☺️
LeoRa_: makasih dh rindu anak2ku. tapi ada kepikiran bikin keturunan mereka, cuma belum Nemu ide yang pas. semoga aja bisa ketemu segera, biar bisa di proses. thor jg kangen bikin mereka bertiga lagi🥲😌
total 2 replies
Dewi
Di tunggu kak..☺️Semngat trus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!