Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24. Perlahan Membaik
Lukisan mural di ruangan itu terlihat indah. Terakhir kali Binar ke sini saja ia sudah lupa, entah memang banyak perubahan atau masih sama, ia tak mengingatnya.
Binar dan Asgar berada di ruang keluarga. Seorang pelayan baru saja menyajikan teh hangat untuk keduanya. Kemudian setelah itu, sang pelayan membungkukkan tubuhnya dan kembali pergi.
Asgar mengambil piring kecil yang di atasnya ada cangkir berisi teh. Lalu meminum teh itu sesaat.
"Gimana kabar orangtua kamu?" tanya Asgar.
"Alhamdulillah baik, Om. Papi sama mami semakin sibuk."
"Om kenal mereka udah lama. Selalu gila kerja."
Binar tersenyum. "Karena itu juga, mereka bisa memenuhi semua yang aku mau."
Asgar ikut tersenyum. "Oh iya, bukannya tadi kamu bilang ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya.
Gadis itu berdehem. Ia tersenyum tipis. "Iya, soal kak Cakra sama kak Seno."
Kening Asgar mengernyit. "Ada apa sama mereka?"
"Itu yang akan aku bahas sama Om sekarang."
Binar mulai bercerita. Berawal dari pertemuannya dengan Senopati kala itu, kemudian apa yang Senopati ceritakan padanya, renggangnya hubungan Cakrawala, dan masalah kecemburuan Cakra pada Senopati.
Asgar sama sekali tak menyela ketika Binar bercerita. Ia hanya sesekali bertanya dan tampak berpikir.
"Aku sebenarnya nggak bermaksud ikut campur, tapi Kak Seno juga minta bantuan, aku nggak bisa. Aku cuma nggak mau kak Cakra dan Kak Seno nggak akur, apalagi mereka saudara. Aku pikir Om sebagai papa dari mereka, akan tahu cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini," kata Binar mengakhiri cerita panjangnya.
Asgar terdiam cukup lama. Ia mengingat-ingat perilaku Cakra selama ini, ketika ia membahas Senopati, lelaki itu menjadi lebih sensitif dan pemarah. Pertengkaran waktu itu juga berawal dari satu nama, Senopati. Sebenci itu kah Cakra pada kakaknya? Atau mungkin tanpa sadar ... ia sering membanding-bandingkan keduanya, memuji kepintaran Senopati. Hingga Cakra merasa jika Asgar lebih menyayangi Senopati.
Pria itu memijat pelipisnya. Ia pikir dulu Cakra sangat mengidolakan kakaknya, jadi ia membahas Seno untuk memberikan dorongan dan menarik perhatiannya.
"Om?"
"Kenapa kamu baru bilang?"
"Aku juga baru tahu dari kak Seno."
"Om nggak ngerti. Seno bisa bercerita sama kamu, tapi kenapa nggak cerita sama Om?" Asgar meminum tehnya.
Binar menghela napas pelan. "Kak Seno percaya aku bisa bantu dia bicara sama kak Cakra yang selalu menghindari dia. Kak Seno juga bilang, dia nggak akan cerita masalah ini sama aku kalau seandainya dia nggak tahu aku pacarnya kak Cakra."
Asgar tersedak teh yang sedang ia minum, sampai terbatuk. Binar mengerjap, kaget kala melihat Asgar seperti itu.
"Om ... nggak papa?"
Asgar menggelengkan kepala. Ia menaruh teh yang tinggal sedikit itu ke atas meja. Lalu menatap Binar setelah sebelumnya ia berdehem.
"Kamu pacarnya Cakra?" tanyanya dengan tatapan yang tak Binar ketahui artinya apa.
"I-i-i-iya."
Kenapa reaksi papanya Cakra seperti itu?Jangan-jangan nanti ia tidak akan direstui? Tidak! Binar tak bisa hidup tanpa Cakra. Ia mulai memikirkan hal aneh.
"Kenapa kamu nggak ngasih tahu?"
"Saya baru ketemu Om?" jawab Binar yang malah seperti bertanya.
"Tahu-tahu kalian pacaran," gumam Asgar yang masih bisa didengar Binar.
Gadis itu tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
***
Keesokan harinya, Cakra sudah bersiap dengan menggunakan seragam sekolah. Tas tersampir di bahu kanannya. Tadi ia sudah meminta salah satu pelayan di rumahnya untuk menyiapkan makanan. Ia sengaja bersiap pagi sekali. Masih malas bertemu anggota keluarga lain.
Pintu lift terbuka, Cakra keluar dari sana.
"Cakra!" seruan itu berasal dari arah tangga.
Lelaki itu menatap ke arah sumber suara sambil menghentikan langkah. Keningnya mengernyit melihat sang papa kini melangkah menuruni tangga. Kenapa Asgar memanggilnya? Melanjutkan pertengkaran waktu itu? Sepagi ini? Kemarin saja Cakra hampir seharian mengurung diri di kamar jika seandainya Binar tak datang membawakannya sesuatu. Ia menahan lapar di perutnya dengan camilan yang ia simpan di dalam sebuah lemari di kamarnya. Mau order makanan juga nggak jadi, itu sama saja ia harus keluar kamar.
Saat-saat seperti itu, Cakra memang harus sendiri dulu sampai emosinya benar-benar berkurang. Karena terkadang, Cakra tidak bisa mengendalikan dirinya jika sudah diselimuti amarah.
"Kamu berangkat sepagi ini?" tanya papanya.
"Hm ... ya."
"Ayo sarapan dulu."
Cakra menaikkan sebelah alis. Untuk apa? Ia yakin kebersamaannya dengan sang papa hanya akan menimbulkan pertengkaran saja. Apalagi jika nanti membahas Senopati lagi.
"Nggak usah," jawabnya.
"Den Cakra? Ini bekalnya," salah satu pelayan yang ia minta menyiapkan makanan datang dari arah dapur sembari membawa sebuah tas jinjing berwarna hitam yang biasanya isinya kotak makanan berisi bekal dan botol minum.
"Oh ya." Cakra menghampiri maid itu.
"Meski kamu bawa bekal kamu harus sarapan pagi dulu," kata papanya.
Cakra tak menjawab. Ia mengambil bekalnya. Kemudian memasukkan itu ke dalam tas. Pelayan pun pamit pergi, yang kemudian Cakra angguki. Lelaki itu baru saja selesai dan akan langkah ketika sebuah tangan memegang bahunya. Menahan Cakra di tempat.
"Papa lagi bicara sama kamu."
"Aku nggak mau sarapan."
"Kenapa?"
Cakra membalikkan tubuhnya. Keningnya mengernyit sesaat.
"Nggak papa, nggak usah peduliin Cakra, bersikap aja kayak biasa."
"Kamu anak papa. Apa itu hal yang nggak wajar?"
"Itu jadi nggak wajar kalau papa yang lakuin. Karena papa biasanya nggak gitu."
Asgar menghela napas. Ia mengepalkan sebelah tangannya, kemudian menurunkan sebelah tangan lainnya dari pundak Cakra.
"Untuk yang waktu itu, papa minta maaf kalau seandainya ucapan papa nyakitin kamu. Ya sudah kalau kamu nggak mau sarapan dulu," kata papanya sambil berbalik dan melangkah pergi.
Kening Cakra mengernyit dalam. Ada apa dengan papanya pagi ini? Seperti ... bukan papa yang ia kenal selama ini.
Keanehan yang dirasakan Cakra tak sampai di situ. Ketika pulang sekolah, papanya tersenyum tipis sambil menyambut kedatangannya. Bukan sambutan meriah atau gelar red carpet. Tapi sapaan seperti;
"Kamu sudah pulang? Gimana hari ini di sekolah?"
"Sebaiknya kamu mandi dulu. Terus nanti kita makan bareng."
Cakra tidak mengerti ini. Rasanya sangat ... tidak biasa. Awalnya ia tak mau makan bersama mengingat kemungkinan nama Senopati akan dibawa-bawa lagi. Ketika mama tirinya meminta agar ia turun untuk makan. Cakra berniat menolak juga, tapi mendengar ucapan Laras jika Asgar yang memintanya turun untuk makan, Cakra akhirnya memutuskan untuk ikut.
Tapi daripada membahas Senopati, papanya menanyakan apa yang ia lakukan di sekolah, dan beberapa hal lain jika ia membutuhkan sesuatu. Kemudian beralih ke Lavanya. Tidak ada pembahasan mengenai Senopati di meja makan.
Bukan hanya hari itu, melainkan berlanjut pada hari-hari setelahnya. Senopati seolah benar-benar menghilang dari rumah. Ketika pagi tiba, berangkat sekolah ia pamit dan menyalimi papa, begitu pun pulang sekolah. Cakra tidak memikirkan apa yang menyebabkan papanya seperti sekarang, tapi ia sedikit senang dengan perubahan ini. Hubungannya dengan sang papa tanpa ia sadari membaik. Apalagi setelah ia meminta maaf atas semua perilakunya selama ini, Asgar memaafkannya dan meminta maaf juga.
Semua masalah dan keributan ..., seolah tampak tidak ada apa-apanya setelah mereka berkomunikasi.
Mungkin salah satu orang yang juga menyadari perubahan Cakra adalah Binar. Meski ia tak lagi makan bersama lelaki itu, dijemput atau pun pulang bareng. Ia selalu memperhatikan Cakra, seperti sebelummya ketika mereka belum pacaran. Diam-diam, tanpa lelaki itu tahu, dan berjarak.
Cakra terlihat lebih sering tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya. Binar senang menyadari kemungkinan jika hubungan Cakra dengan papanya membaik, san semoga dengan kakaknya juga. Tidak ada yang lebih menyenangkan melihat Cakra seceria itu.
Meski di sisi lain, hati kecilnya sedih ketika sadar ia tidak cukup berada dalam jarak dekat untuk ikut merasakan kebahagiaan lelaki itu. Bahkan mereka jarang atau mungkin ... tak pernah bersama lagi ketika terakhir kali ia ke rumah Cakra waktu itu.
"Bi? Nggak mau nyamperin kak Cakra aja?"
Pelangi membuyarkan lamunannya. Binar menoleh pada temannya itu.
"Nggak ah. Dia lagi senang, gue nggak mau bikin kak Cakra jadi badmood."
"Loh? Tahu dari mana kak Cakra lagi senang?" tanya Pelangi dengan kening mengernyit.
"Tahu aja," katanya sambil tersenyum penuh arti.
"Lo yakin? Ini udah berhari-hari loh."
Binar diam, ia menghela napas pelan. "Gue lagi berusaha nggak egois, Na. Biarin kak Cakra senang dulu tanpa gue."