Teluk Narmada
Aroma bunga sedap malam berkuasa, merasuki hidung merahku sebab flu berat sejak beberapa hari yang lalu. Aroma khas ini membuat penciumanku yang macet seketika berfungsi kembali. Ah, wanginya.
Jalan raya yang sepi mengiringi langkah. Suasana senyap membuat suara derap kakiku beralun merdu. Mirip suara sepatu kuda. Mungkin tidak. Aku tak jadi mau disamakan dengan kuda.
Embusan hidung terus bekerja sepanjang jalan. Sebab sepanjang jalan pula bunga-bunga sedap malam mengiringi. Dengan jingkrak kecil, aku bersenandung. Sembari melirik segala arah untuk memastikan tak ada seseorang yang melihat tingkah memalukanku.
"Eh?"
Langkahku terhenti seketika. Di ujung jalanan di mana sudah tak ada tumbuhan bunga sedap malam, sosok menyebalkan yang selalu kuhindari bahkan dihindari semua orang terlihat duduk jongkok membelakangiku.
Ia mengadah. Sepertinya melihat rembulan yang terlihat separuh itu. Kemeja lusuh yang tak dikancing itu melambai-lambai.
Sial, bagaimana aku akan lewat kalau ada makhluk biang kerok itu di sana. Tapi, tak ada jalan lain untuk pulang. Masa iya aku harus balik lagi ke rumah bibi. Mana udah jauh, lagi.
Sejenak, aku terdiam. Memandang lelaki nakal yang mengadah seperti patung. Rambut hitamnya yang gondrong dan kusut terlihat berbanding terbalik dengan tubuh kurusnya. Kami terpaut sekitar lima meter.
Menit-menit berlalu menjengkelkan. Aku sampai tak yakin bahwa lelaki itu benar-benar masih bangun. Mungkin saja ia sudah tidur dalam keadaan jongkok dan mendongak. Mungkin saja ia keturunan serigala yang tak bisa lepas dari bulan purnama. Ya, walau pun pemandangan malam ini bukanlah bulan purnama.
Aku menarik napas panjang. Baiklah, lebih baik aku jalan saja. Pura-pura tidak melihatnya. Jika ia membuat masalah, aku akan lari sambil berteriak. Maka, aku akan selamat sampai tujuan. Telapak tangan telah terkepal mantap. Dengan satu kantong kresek berisi buah delima pemberian bibi.
Beberapa langkah lagi untuk melewati tempat lelaki nakal itu duduk.
"Eh?" ucapku sedikit terkejut.
Padahal aku hampir melewatinya, namun makhluk menyebalkan ini justru menoleh.
"Aku mau itu!" pintanya sambil menunjuk kantong plastik berisi buah delima yang aku bawa.
Mata coklatnya tampak teduh. Bulu mata panjangnya namun tak lentik itu menutupi sedikit bola matanya ketika mendongak ke arahku. Namun tak lama, ia berdiri dan melebarkan telapak tangan kanannya ke arahku. Untuk pertama kalinya. Aku melihat sorot mata yang berbeda darinya.
Cuaca malam ini dingin sekali. Yang benar saja. Ia hanya mengenakan kemeja tipis dengan jersey di dalamnya tanpa terlihat menggigil sedikit pun.
"Kenapa kamu masih di luar. Ini sudah tengah malam," tuturku tanpa menanggapi permintaannya terlebih dahulu.
"Aku lapar. Aku mau makanan yang ada di dalam sana," ujarku seraya kembali menunjuk barang bawaanku.
Situasi macam apa ini. Aku tak menanggapinya dan ia kembali tidak menanggapiku. Ya, tapi sudah wajar sebab ia yang terlebih dahulu melontarkan perkataan kepadaku.
Melihat wajah datarnya membuat terdiam sejenak. Aku harus segera pulang. Ia juga sepertinya tidak berniat menggangguku.
"Baik, aku akan memberikanmu satu. Tapi, ini tidak akan membuatmu kenyang karena ini hanyalah buah delima. Bukan nasi bungkus," ujarku serasa mengeluarkan satu buah delima yang ukurannya lumayan besar. "Tapi, setelah ini kamu harus pulang!" tambahku saat lelaki itu hendak meraih buah delima dari tanganku.
"Aku mau pisau!" pintanya yang lagi-lagi tidak mengindahkan permintaanku.
"Nggak ada!" ketusku sambil berlalu.
Langkah cepatku terus menyusuri jalan raya kecil yang kosong tanpa kendaraan. Di sini memang tidak terlalu ramai. Bahkan sebelum jam 09.00 saja jalanan sudah kosong. Tempat tinggalku memang masih asri dan hanya sedikit penduduk yang tinggal di sini. Sebab sebagian besar wilayah ini diisi oleh perkebunan dan persawahan. Sedangkan rumah bibiku berasa di pusat pedesaan, di mana pemerintahan desa berada.
"Shinea!"
Aku menoleh. Tahu-tahu, lelaki nakal itu sudah ada di belakangku. Sedikit terkejut membuatku reflek mendorongnya. Reaksi yang membuatku semakin terkejut sebab khawatir jika lelaki itu akan membalas perbuatanku. Ancang-ancang lari sudah kusiapkan. Namun, ia tetap berekspresi datar.
"Apa lagi? Kurang delimanya?"
"Apakah di rumahmu ada pisau?" tanyanya.
Lontaran pertanyaan yang membuatku mengernyitkan dahi.
"Ada. Jangan bilang mau minjam pisau di rumahku. Jangan! Kamu pulang aja. Pakai pisau yang ada di rumahmu! Kayak nggak punya pisau aja." ucapku dengan perasaan sebal, lantas lanjut berjalan dengan sedikit berlari.
Baiklah, lelaki satu ini benar-benar membuatku jengkel. Bagaimana tidak. Ia benar-benar mengikutiku. Tanpa aba-aba, aku langsung berlari kencang. Se-kencang yang aku bisa. Berharap makhluk menjengkelkan ini tidak bisa mengejar.
"PERGI!" bentakku.
Lihatlah, di benar-benar ikut berlari. Bahkan tak perlu menggunakan lari terkencang. Ia sudah mampu menyejajariku. Lebih menjengkelkan lagi. Ia mengacungkan jarinya dan memperagakannya sebagai pisau. Isyarat bahwa ia butuh pisau untuk memotong buah delima.
"Ayolah, Yoru! Aku mau pulang. Aku capek. Tidakkah kamu lihat hidungku yang merah. Flu-ku bisa bertambah parah jika aku terlalu lama di luar. Aku mohon, mengertilah!"
Yoru menelan ludah. Terlihat mengarahkan matanya pada hidungku. Seketika membuatku menutupnya dengan telapak tangan.
Sekali lagi, aku berlari kencang. Kencang sekali. Menurut kemampuanku. Namun, tanpa sengaja pegangan kantong plastik itu justru terlepas yang membuat isinya berhamburan ke luar menerjang jalanan. Beberapa buah delima tersebut retak.
"TIDAK!" jeritku kencang.
Yoru langsung memungut salah satu buah delima yang retak dan dengan mudah ia buka untuk mendapatkan isinya.
Napas beratku terdengar. Habis sudah.
"Hei, ngapain kamu!" ucap seseorang yang tinggal tidak jauh dari tempat kami berada.
Seorang pria paruh baya datang. Ia segera menghampiriku yang dilanjutkan dengan melemparkan pandangan tajam pada Yoru.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu.
Aku mengangguk cepat di sela napasku yang ngos-ngosan.
Tanpa berlama-lama, pria itu langsung berjalan ke tempat Yoru berada. Lelaki itu sedang menikmati buah delima tanpa peduli terhadap pria yang seperti siap menerkam itu.
"Kamu apakan gadis itu? Hanya buah seperti ini saja kamu tega merampasnya."
Pria itu merebut buah delima dari tangan Yoru dan menamparnya keras sekali. Seketika mataku membulat kaget. Keras sekali suaranya. Sampai seolah-olah aku turut merasakannya.
Tak berhenti sampai di sana. Kini pria itu menendang perut Yoru. Dilanjutkan dengan menjambaknya. Pada akhirnya, aku melihat Yoru berekspresi. Setelah dari tadi hanya datar seperti robot. Ya, kini yang terlihat adalah ekspresi kesakitan.
Alangkah terkejutnya aku melihat banyaknya helai rambut Yoru yang berpindah ke genggaman pria itu. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata karena pemandangan menyakitkan itu.
"CUKUP!" ucapku sambil berlari ke arah mereka berdua sebelum terjadi hal yang lebih tragis lagi. "Cukup, Pak. Yoru tidak berbuat jahat kepada saya. Ia hanya lapar dan meminta satu buah delima."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
2024-05-22
1