Kembali ke Kota kelahirannya di Hamburg—Jerman menjadi awal penderitaan Lenka Lainovacka. Dia disekap di ruangan bawah tanah oleh Steven Gershon—pria yang sangat membencinya karena mengira ia adalah orang suruhan Piero—musuh bebuyutannya Stevan dan turut terlibat dalam kecelakaan yang menewaskan kekasih pria itu.
"Kau ingin mati, bukan?" menautkan kedua tangan di bawah dada, Steven bersandar pada dinding ruangan itu. "Tapi aku belum rela, Len—ka," dia menekan nama perempuan itu sampai suara gemeratuk giginya terdengar. "Aku harus menyiksamu setengah mati dulu."
***
Ig : @missloxodonta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Loxodonta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Milikku
“Bagaimana ini Kendry? Kenapa cincin itu tidak ada di bandara?” Ujar Steven frustasi, pria itu menyurai rambutnya dengan kasar.
Sedari tadi, dia tak hentinya berjalan mondar mandir di kamar hotel tempat mereka menginap malam ini. Keberangkatan mereka ke Kota Malibu harus tertunda, sebab cincin yang terjatuh tadi tidak ditemukan. Sekalipun Steven sudah menghubungi beberapa orang kepercayaannya untuk membantu Kendry mencari keberadaan cincin itu, namun hasilnya tetap saja nihil.
“Saya tidak begitu yakin, tapi mungkin saja cincin itu sudah ditemukan seseorang dan dibawa pergi, Tuan.” Kendry begitu yakin, dia dan orang suruhan Steven sudah sangat teliti mencari cincin tersebut. Jadi dia menduga jika benda berharga milik Tuannya itu sudah diambil orang.
“Bisa saja Kendry, cepat hubungi semua toko perhiasaan di Kota ini dan jika seseorang menjual cincin milikku, beritahu mereka untuk segera menghubungi kita.”
Perhiasan mahal dan hanya ada satu-satunya di dunia itu sengaja di beri kode khusus. Akan sangat mudah dideteksi jika seseorang mencuri kemudian menjual cincin yang berharga fantastis itu.
“Baik, Tuan. Saya permisi dulu.” Ujar Kendry pamit untuk menjalankan tugas dari sang majikan.
***
[Malam hari di Kota Hamburg]
Disinilah Lenka berada, di rumah kontrakan kecil yang sudah puluhan tahun mereka tempati.
“Ma, maafkan putrimu.” Duduk bersimpuh di hadapan foto sang ibu yang Lenka taruh di lantai, perempuan berusia 21 tahun itu menangis sesenggukan memandangi potret wanita yang baru saja dimakamkan siang tadi.
Tak ada kecupan di kening Lenka yang ibunya janjikan ketika dia tiba di Hamburg, wanita itu sudah lebih dulu pergi tanpa melihat kehadirannya.
Lenka merasa bersalah, karena selama ibunya sakit, dia harus berjauhan dari wanita itu. Perempuan itu tak bisa meninggalkan perkuliahannya di LA karena dilarang sang ibu yang tidak mau pendidikan putrinya terganggu.
Suara dering ponsel Lenka sesaat menghentikan tangis perempuan itu.
“Halo, Nyonya.”
“Lenka, kau ada dimana?” Tanya suara dari seberang dengan nada penuh khawatir.
“Aku di rumah Nyonya—di dalam kamar ibuku.” Jelas Lenka.
“Astaga, aku sudah mengetuk pintumu berkali-kali. Kupikir terjadi sesuatu padamu.”
“Ma—maaf Nyonya, aku akan segera membukanya. Tunggulah sebentar.” Ujar Lenka sembari berlari kecil meninggalkan kamar.
Memutar handle pintu yang sempat terkunci, Lenka memberi ruang kepada tamunya untuk masuk.
“Silahkan masuk Nyonya Airen, silahkan masuk Tuan Valir.” Ujar Lenka mempersilahkan.
“Terimakasih Lenka, tapi aku tidak mampir. Aku hanya mengantar adik iparku yang cerewet ini.” Sedari tadi, pria itu mendapat amukan dari Airen karena terlalu pelan menyerukan nama Lenka yang tak kunjung membuka pintu.
“Kak—“ Airen memelototkan matanya.
“Lihat, dia seperti mau memakanku,” Valir bergurau.
“Karena kakak tidak mau singgah, segeralah pulang.” Ujar Airen mencebikkan bibirnya.
“Baiklah—baiklah, jangan lupa hubungi aku jika kau mau kembali.” Tangan usil Valir mengacak-acak rambut Airen.
“Kakak—“
“Aku pamit Lenka, bye adik ipar.” Sebelum dia mendengar amukan Airen lagi, Valir segera pergi.
Lenka hanya tersenyum melihat kelakuan dua orang yang sangat baik menurutnya. Dan setelah kepergian Valir, merekapun masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu.
“Tadi aku dan Valir singgah ke restoran dekat perumahanku.” Ujar Airen sambil mengeluarkan mangkuk kecil berbahan stainless dari dalam tote bag yang ia bawa. Mangkuk tersebut berisi Aalsuppe—sup campuran daging sapi yang diawetkan dan dimasak bersama sayuran, buah panggang, pangsit dan beberapa belut laut.
“Ini untukmu dan ini untukku, kau pasti belum makan malam kan, Lenka.” Tebak Airen yang langsung diangguki Lenka dengan senyuman.
“Terimakasih, Nyonya.” Ujar Lenka menerima pemberian Airen. Dia sangat bersyukur, sang ibu memiliki majikan yang sangat baik seperti Airen. Perempuan muda yang ia panggil ‘Nyonya’ itu membiayai penuh pengobatan sang Ibu dan selama Ibunya di rawat di rumah sakit, Valir—kakak dari kekasih Airen selalu setia menemani sang ibu. Dan malam ini, Airen menyambangi dirinya untuk makan malam bersama. Meskipun Lenka tahu, kedatangan Airen juga sekalian ingin menghiburnya.
Setelah kepergian Ayahnya mengadap sang Khalik, tepat dimana Lenka baru saja diterima disalah satu perguruaan tinggi di LA. Dia dan sang ibu terpaksa tinggal berjauhan untuk melanjutkan pendidikanya, meski dia sempat menolak berangkat namun sang ibu tetap memaksa.
Di Hamburg, ibunya bekerja sebagai pelayan dari rumah ke rumah orang kaya dan Airen adalah majikan terakhir sang ibu, wanita paruh baya itu baru sebulan bekerja disana.
“Apa rencanamu setelah ini Lenka? Apa kau akan kembali ke LA? Kudengar kau juga sedang kuliah, bukan?” Memulai perbincangan di tengah makan malam mereka yang sedang berlangsung, Airen memberi beberapa pertanyaan untuk mengisi percakapan mereka yang sempat terjeda.
“Aku tidak akan kembali ke LA, Nyonya. Aku akan menetap di Hamburg.” Jawab Lenka tanpa beban.
“What? Kenapa Lenka?” Manik Airen membeliak, bagaimana bisa perempuan muda di hadapannya itu membuat keputusan dengan sangat mudah. Apalagi itu perihal dengan masa depan Lenka.
“Aku harus bekerja dan—“ Kalimat Lenka langsung dipotong Airen.
“Jika kau khawatir dengan biaya kuliahmu, aku akan membantumu Lenka, aku akan membantumu sampai lulus.” Ujar Airen penuh kesungguhan.
“Bu—bukan begitu, Nyonya. Aku hanya ingin membalas kebaikanmu.” Lenka segera menyanggah tebakan Airen yang mengira dirinya memutuskan berhenti kuliah karena masalah biaya.
Tampak kerutan dalam di kening Airen, dia tidak mengerti maksud perkataan Lenka.
“Izinkan aku bekerja sebagai pelayan di rumahmu, Nyonya. Pelayan yang tidak perlu diberi gaji.”
“Hei Lenka, aku tulus membantu ibumu. Kau tidak perlu membayarku dalam bentuk apapun itu.” Airen menolak permintaan Lenka, sebab memang dia tidak mengharapkan balasan dari perempuan itu.
“Aku tahu ketulusanmu, Nyonya. A—aku hanya ingin memiliki peran sebagai seorang anak. Selama ibuku sakit, aku yang tidak ada di sisinya saat itu, bahkan di embusan nafas terakhir beliau membuatku merasa menjadi putrinya yang tak berguna. Aku juga harus bergantung biaya pemakaman ibuku padamu. Apa gunanya aku, Nyonya? Apa guna keberadaanku?” Tangis Lenka pecah memenuhi ruang tamu.
“Lenka, jangan berpikir seperti itu.” Berpindah ke sisi Lenka, Airen mengusap pundak perempuan itu.
“Tolong terima aku sebagai pelayanmu, Nyonya.” Kembali Lenka memohon di sela isak tangisnya.
“Aku tidak bisa Lenka, aku tidak bisa.” Airen menggeleng berkali-kali.
“Kumohon.”
Sungguh Airen bingung harus memutuskan apa, menolak permintaan perempuan itu pasti akan membuat Lenka terluka.
“Baiklah, aku memenuhi permintaamu. Dengan syarat, aku tidak mau membayarmu gratis. Aku merasa seperti orang jahat jika tidak membayarmu. Bagaimana? Apa kau mau?” Dengan berat hati, Airen terpaksa mengabulkan permintaan Lenka.
“Terimakasih, Nyonya.” Menerima syarat yang di berikan Airen, Lenka berjanji kelak akan mengabdi sebagai pelayan yang baik untuk perempuan itu.
“Hapus air matamu Nona manis, wajahmu sangat lembab sedari siang.” Ujar Airen sambil memperhatikan mata sembab Lenka.
“Baik, Nyonya.” Melepas syal yang akan Lenka gunakan untuk mengusap air matanya, sebuah benda kecil berbentuk bundar terjatuh dari kain yang melilit leher perempuan itu.
“Oh, Tuhan,” manik Lenka membeliak sempurna. “Cincin ini ternyata berada disini, tapi kenapa dia tidak menghubungiku?” Gumamnya pelan sambil mengambil cincin yang terjatuh di pangkuannya. Sudah bisa ia pastikan, cincin pria yang ia tabrak tempo hari tidak akan ditemukan di bandara.
Saat tiba di Hamburg, syal yang Lenka pakai dari LA belum sekalipun ia lepas dan ternyata cincin pria itu tersangkut di syal miliknya.
“Priamu memberikanmu cincin, Lenka. Dia berniat melamarmu.” Airen tampak sumringah melihat benda yang di pegang Lenka. Dia pikir sebelum berangkat ke Hamburg, kekasih Lenka menyelipkan cincin tersebut di syal perempuan itu sebagai kejutan untuk Lenka.
“Bukan Nyonya, aku—“
“Kau tidak perlu malu Lenka. Selamat ya.” Airen sudah kepalang senang, dia memotong penjelasan Lenka dan malah memeluk perempuan itu.
“Nyo—nya.” Ujar Lenka tertahan. “Kau salah mengartikannya.” Batin perempuan itu.
salam kenal yaa...
kalo berkenan mampir juga di karyaku Silver Bullet
mampir juga di karya aku ya😄