Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Penggemar
Pernikahan adalah ikatan sakral antara sepasang kekasih yang saling mencintai. Sebuah ikatan yang bisa mengantarkan sepasang manusia ke Jannah-Nya. Namun, hal itu masih belum berlaku untuk Infiera dan juga Abimanyu.
Pernikahan yang terjalin karena perjodohan. Gunawan dan Ratna, orang tua Infiera tiba-tiba berkata pada gadis itu kalau ada pemuda yang akan melamarnya, dan membiayai Infiera untuk meneruskan kuliahnya yang sempat tertunda karena masalah biaya.
Tentu saja, itu sulit ditolak oleh gadis 21 tahun karena memang sudah mendambakan untuk meneruskan kuliah saat dia sudah memiliki uang.
Selama ini, Fiera mengisi waktu luangnya dengan menulis novel di beberapa aplikasi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya saja, penghasilannya memang belum cukup untuk meneruskan kuliah.
Sedangkan Abimanyu, seorang dosen jurusan sastra sekaligus penulis terkenal sama sekali tidak bisa menolak ketika kedua orang tuanya mengatakan kalau dia akan dijodohkan dengan seorang gadis yang berasal dari kota Bandung.
Sampai akhirnya, di sinilah mereka berada saat ini. Tinggal di ibu kota, jauh dari orang tua, di sebuah rumah setelah pernikahan mereka. Meski berada di atap yang sama, hubungan Fiera dan juga Abimanyu tidak pernah terlihat seperti suami-istri. Abimanyu yang acuh tak acuh dan juga galak sebagai dosen, selalu membuat dinding yang jelas pada Fiera.
Fiera pernah dengar, kalau Abimanyu saat itu memiliki kekasih, tapi dia tidak pernah mencari tahu dan tidak ingin tahu.
Sedangkan Fiera, dia hanya menjalani hidupnya, sebagai mahasiswa. Seperti mimpinya—meneruskan kuliah—lalu bekerja di bidang yang dicintainya, yakni dunia literasi.
Sejauh ini, Fiera tidak pernah memikirkan bagaimana masa depan pernikahannya dengan Abimanyu. Mungkin saja, mereka akan bercerai setelah dirinya lulus kuliah nanti.
Terserahlah, yang penting dia melanjutkan kuliah, meski selama hampir satu tahun pernikahan mereka seperti orang asing di bawah atap yang sama.
Mereka berdua bahkan tinggal di kamar yang berbeda selama ini. Itu adalah permintaan Abimanyu, pada awal pernikahan mereka, saat keduanya pindah ke rumah itu untuk menjalani kehidupan setelah menikah.
Jegrek!
Terdengar pintu di luar kamar dibuka dan juga ditutup dengan suara sedikit keras.
Fiera yang tengah bekerja di kamarnya, menulis lanjutan novel online-nya karena para pembacanya sudah meneror terus-menerus. Tersadar dan menoleh ke arah pintu.
“Dia baru selesai?” gumam Fiera, merujuk pada Abimanyu yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Dia menggerutu karena ternyata, suaminya keluar lebih larut. Saat ini sudah hampir tengah malam.
Biasanya, Abimanyu akan meninggalkan ruang kerjanya sekitar pukul sembilan malam, dan saat itulah gantian Fiera yang masuk ke dalam ruang kerja suaminya. Di sana, Abimanyu memiliki banyak buku yang bisa Fiera gunakan untuk belajar.
Apa lagi, sekarang dia memiliki hukuman dari Abimanyu untuk membuat resensi buku. Dia membutuhkan beberapa referensi novel, dan di sana Abimanyu sudah menyediakannya.
Fiera terkekeh geli. “Tidak buruk juga.”
Abimanyu tidak pernah marah jika dirinya menggunakan ruang kerjanya untuk tempat belajar, bahkan sepertinya pria itu sengaja menyediakan buku-buku yang dibutuhkannya.
Hal itu tampak jelas saat Fiera membutuhkan beberapa buku dan sulit untuk didapatkan, tidak lama pasti buku itu ada di ruang kerja suaminya.
Dia akhirnya sedikit memberikan toleransi, meski ucapan Abimanyu kadang menyakitkan, tapi dia tetap tanggung jawab untuk membuat Fiera menyelesaikan kuliahnya.
Fiera masuk ke dalam ruang kerja suaminya, dia berjalan menuju rak-rak buku milik Abimanyu dan tersenyum saat melihat tumpukkan novel di sana.
Fiera selalu merasa antusias setiap masuk ke ruangan itu. Melihat buku-buku yang berjajar rapi di sana, membuatnya bersemangat kembali—melupakan kejadian beberapa jam yang lalu saat Abimanyu menyebutnya tidak punya otak saat dia melupakan paket kiriman ibu mertuanya dari Palembang di dekat gazebo samping.
Cukup lama Infiera berada di ruang kerja suaminya, mengerjakan hukuman Abimanyu hari ini karena dia tertidur di kelasnya.
Satu jam, dua jam, tidak terasa Infiera mengerjakan tugasnya hingga pukul tiga pagi. Infiera bahkan tertidur di ruang kerja Abimanyu. Dia terbangun saat matahari menembus ke dalam ruangan itu dari celah-celah jendela.
“Ah, aku tertidur lagi. Jam berapa ini?” Fiera menoleh pada jam dinding yang ada di dekat meja kerja Abimanyu, matanya membulat karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Padahal, dia memiliki kelas hari ini sekitar pukul sepuluh.
Fiera buru-buru bangkit dari duduknya dan berlari keluar ruangan tanpa sempat menyimpan kembali ke tempatnya buku-buku yang semalam dia ambil dari rak milik Abimanyu.
Fiera keluar, dia tidak menemukan keberadaan suaminya di ruang tengah, itu artinya, Abimanyu sudah berangkat bekerja. Fiera tahu jika Abimanyu memiliki pekerjaan lain selain menjadi dosen dan juga penulis, tapi dia tidak pernah mencari tahu profesi lainnya dari sang suami.
Fiera berjalan ke dapur, dia meringis melihat makanan sehat yang dibuat oleh Abimanyu—salad sayur dan juga dua butir telur.
Melihatnya saja, membuat Fiera merasa mual. Dia tidak pernah bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidup Abimanyu soal makanan.
Infiera memutuskan untuk memasukkan saladnya ke dalam kantong plastik untuk dibuang dan mengambil telur rebusnya. Dia akan sarapan di kampus, dengan nasi goreng kecap buatan ibu kantin. Setidaknya, telurnya masih bisa dia makan.
***
Sesampainya di kampus, Fiera berlari menuju kelasnya. Dia melihat dosennya sudah berada di kelas. Melalui selai pintu yang sedikit terbuka, dia melambaikan tangannya pada Bimo, temannya yang terlihat jelas dari sana.
Bimo awalnya tidak menyadari keberadaan wanita itu, sampai dia mengangkat kepalanya. Bimo terkejut, ‘Apa lu gila jam segini baru datang?’ Bimo berbicara hanya dengan gerak bibirnya tanpa mengeluarkan suara, dan juga tangannya menunjuk jam.
‘Jangan ceramah dulu.... . Apakah dosennya sudah lama masuk kelas?’ Fiera juga melakukan hal yang sama pada Bimo.
Sebelum Bimo membalas pertanyaan Fiera, tiba-tiba pintu masuk terbuka lebih lebar. Seorang pria berusia 35 tahunan, yang tak lain adalah dosennya berdiri menjulang, lalu melipat kedua tangannya di dada.
“Apakah kau tahu sekarang jam berapa, Fiera?” tanyanya dengan tegas.
Fiera tercengang, lalu meringis. “Ma-maaf, Pak, saya terjebak macet tadi.” Memberi alasan, padahal lalu lintas menuju kampus dari rumah tidak terlalu macet.
“Macet? Di mana kau terjebak macet? Apakah di kamarmu?” Dosen bernama Gerald Keegan itu menatap curiga. Meski tidak tahu di mana tempat tinggal gadis ini, tapi Gerald cukup tahu dengan lalu lintas menuju arah kampus tempatnya bekerja.
Fiera nyengir, seperti sedang mengiyakan ucapan dosennya itu.
Gerald menghela napas. “Karena ini kali pertama kau terlambat di kelasku, masuklah. Tapi, berdiri di belakang sebagai hukumannya.”
Fiera tersenyum dan mengangguk. “Baik, Pak, terima kasih.” Meski dihukum, tapi setidaknya dia masih diizinkan masuk kelas itu.
Untung saja Pak Gerald baik hati, pikir Fiera seraya melangkah masuk. kalau saja itu adalah kelas Abimanyu, mungkin dia sudah dihukum untuk tidak mengikuti kelasnya untuk beberapa pertemuan ke depannya.
‘Bodoh!’ ejek Bimo pada Fiera yang berdiri di belakangnya.
‘Diamlah!’ kesalnya.
“Bimo, apakah kamu juga ingin berdiri di belakang?” Suara Gerald mengintrupsi keduanya. Bimo berbalik, menghadap ke arah depan kembali. “Tidak, Pak.”
Kelas dilanjutkan, Fiera menyimak dan mencatat semua pelajarannya dengan keadaan berdiri.
Seruan terdengar serempak saat Gerald memberikan tugas di akhir kelasnya.
“Fiera, sebagai hukuman tambahan, tolong kumpulkan tugas teman-temanmu yang lain dan bawakan itu ke ruangan saya.”
“Baik, Pak.”
Setelah memberikan perintah, Gerald melangkah ke luar meninggalkan kelas. Sedangkan Fiera, menghela napas lega karena kakinya sudah terasa pegal, terus berdiri sepanjang pelajaran.
“Heh, Fiera, tumben lu terlambat. Apa lagi yang dicuci sekarang?”
“Anturium,” sahutnya seraya mengambil tugas dari tangan Anis temannya. Anturium adalah tanaman hias yang memenuhi halaman samping rumahnya dan juga Abimanyu.
Anis tergelak mendengar sahutan dengan nada kesal dari temannya. Padahal, selama ini jika terlambat Fiera selalu memiliki alasan yang mirip.
Mencuci baju, mencuci piring, mencuci tanamannya. Terkadang Anis selalu menggodanya. “Curiga, lu kerja sampingan sebagai pembantu rumah tangga.”
Padahal, Fiera sama sekali tidak mencari alasan dan tidak bercanda. Dia memang selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, termasuk mencuci pakaiannya dan juga Abimanyu.
Fiera mengabaikan godaan teman sekelasnya, melangkah menuju ruang dosennya. Dia mengetuk pintu sebelum masuk dan mendorong pelan pintunya saat mendengar izin untuk masuk.
Fiera melangkah masuk, melewati seorang pria yang tak lain adalah Abimanyu yang duduk di meja kerjanya yang ada di sebelah meja Gerald.
“Pak, ini tugas-tugasnya.”
“Ya, letakkan saja di sana,” sahutnya, lalu mendongak menatap Fiera. “Fiera, apakah kau sudah mempertimbangkan tawaran saya untuk menjadi asisten dosen?”
Fiera terkejut karena ternyata, Gerald menanyakan tawarannya untuk jadi asisten dosen minggu lalu. Padahal dia sudah menolaknya hari itu juga karena merasa tidak akan mampu, sebab dia harus menulis setelah semua tugas kampusnya selesai.
“Pak, saya sudah menolaknya, kan, minggu kemarin?”
Gerald berdecak malas. “Ternyata kau masih ingat jawabanmu. Sudah pergilah.”
Fiera terenyum manis mendengar gerutuan dosennya. Gerald memang terkenal baik dan jenaka, walau sedikit pelit jika berhubungan dengan nilai.
“Baik, Pak, permisi.” Fiera berbalik, dia benar-benar mengabaikan keberadaan Abimanyu yang duduk di mejanya. Dia dapat melihat dengan ekor matanya, kalau pria itu sempat melirik ke arahnya.
“Abi, kau juga mengajar di kelasnya, kan?” tanya Gerald pada Abimanyu setelah kepergian Fiera.
Abimanyu berdehem, mengalihkan pandangannya. Dia sempat melihat senyum manis Fiera sebelum pergi. Padahal, selama ini gadis itu jarang tersenyum jika di hadapannya.
“Hmm!” Abimanyu hanya menjawab dengan gumaman mulutnya.
“Gue minta dia jadi asisten, tapi dia menolak. Hah ... padahal jika dia setuju, gue kan bisa mendekatinya. Siapa tahu kita cocok.”
Abimanyu yang semula berusaha mengabaikan ocehan teman sejawatnya langsung menoleh. “Apa maksudmu?”
Melihat raut wajah Abimanyu yang garang, Gerald menyahut, “Apa? Tidak ada larangan, kan, untuk dosen menikahi mahasiswanya? Lagian, dia juga sudah cocok untuk menikah.” Gerald tersenyum memikirkan ucapannya sendiri.
Entah kenapa, Abimanyu merasa tidak suka dengan ucapan Gerald.
“Apakah kau tidak takut dengan gosip?”
“Kenapa harus takut? Lagian, aku tidak berniat pacaran, aku berniat menikah.” Pria blasteran itu tertawa. “Sayangnya, dia wanita tidak peka. Padahal, gue sempat terang-terangan kalau gue ngajak dia nikah.” Gerald berubah sendu.
Sudut mata Abimanyu berkedut mendengar itu, rahangnya sedikit menegang, tapi dia tetap bersikap tenang. “Lalu, apa jawabannya?”
“Lo ingin tahu?”
Abimanyu diam, menandakan kalau dia ingin mendengar jawabannya.
“Dia tertawa, lalu berkata, ‘Apa bapak salah makan?’ Tentu saja, gue malu banget, kan? Akhirnya saat itu gue ngajak dia buat jadi asisten dosen. Gila, dia malah jawab, ‘Bapak ini ada-ada saja, kalau mau nawarin jadi asisten dosen, kenapa harus berputar pura-pura ngajak nikah.’ Gila, dia ngomong kaya begitu sambil tertawa keras. Ingin sekali gue tenggelam ke dasar kerak bumi.”
Gerald menggerutu, menyadari ketidakpekaan Infiera, mahasiswa. Padahal, saat dia ngajak nikah dengan memasang wajah serius, berharap gadis itu percaya kalau dirinya tulus. Sayangnya, Fiera hanya menganggap kalau itu hanya prank.
“Sayangnya, gue malah makin penasaran sama dia yang seperti itu.” Gerald melanjutkan ceritanya.
Abimanyu hanya diam, mendengarkan ucapan rekan sesama dosen itu sekaligus temannya. Dia menatap pintu keluar, di mana tadi Fiera menghilang dari pandangannya. Ucapan Gerald, berhasil mengusik ketengan Abimanyu.