Elisabet Stevani br Situmorang, tadinya, seorang mahasiswa berprestasi dan genius di kampusnya.
Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Elisabet kecewa dan marah, demi menghibur dirinya ia setuju mengikuti ajakan temannya dan kekasihnya ke klup malam, ternyata ia melakukan kesalahan satu malam, Elisabet hamil dan kekasihnya lari dari tanggung jawab.
Karena Ayahnya malu, untuk menutupi aib keluarganya, ia membayar seorang pegawai bawahan untuk menikahi dan membawanya jauh dari ibu kota, Elisabet di kucilkan di satu desa terpencil di Sabulan di Samosir Danau toba.
Hidup bersama ibu mertua yang yang sudah tua dan ipar yang memiliki keterbelakangan mental, Elisabet sangat depresi karena keluarga dan suaminya membuangnya saat ia hamil, tetapi karena kebaikan ibu mertuanya ia bisa bertahan dan berhasil melahirkan anak yang tampan dan zenius.
Beberapa tahun kemudian, Elisabet kembali, ia mengubah indentitasnya dan penampilannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Kabur
Suami Kabur.
Vani tidak mau tinggal di rumah ibu mertuanya yang miskin, rumah dan semua yang ada di sekelilingnya membuatnya muak.
Tidak ada televisi, bakan lampu penerangan juga hanya menggunakan lampu pijar yang sepuluh wat, jadi sekeliling rumah kayu terlihat remang dan sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar riuh disamping rumah Bonar.
Dalam rumah itu ada dua kamar, kamar pertama ditempati Vani dan Bonar yang dilengkapi tempat tidur lama, sebuah dipan yang beralaskan tikar bayun dan sebuah kelambu, dipan tua itu sudah mulai rusak, bahkan sudah mulai bunyi jika tidur diatasnya.
Saat malam tiba ia sengaja tidak tidur sebelum Bonar pulang, ia masih bersikeras untuk ikut pulang ke Jakarta.
“Tolong Bang, bawa aku pulang, aku janji tidak akan menemui keluargaku,” ujar Vani, ia memohon suaminya agar membawanya ikut bersamanya.
“Kau gila ya! Aku ini punya pacar, tugasku hanya menikahimu”
“Kalau kamu tidak mau membawaku pergi, berikan uang itu padaku agar aku pergi sendiri.”
“Kau gila ya, pak Sudung memberi uang untukku bukan untukmu, keluargamu membayar ku menikahi agar anakmu lahir punya akta lahir dan punya bapak.”
“Kalian tidak boleh memperlakukan seperti ini.”
“Makanya, jangan bunting kalau belum menikah,” ujarnya lagi, mereka berantem di dalam kamar, mereka tidak tahu kalau pertengkaran mereka sudah jadi tontonan para tetangga yang tukang gosip.
Tidak lama kemudian Inang Lisda yang melihat beberapa ibu-ibu mengintip dibawah kamar anaknya, ia membawa air satu ember, ia membuka kamar mereka dan membuka jendela lalu menyiramkan air satu ember.
Burrr ….!
Mereka semua berlarian.
“Aha inong?”
(Apa mama?)
“Akka tukang kuping di siram saja pakai air.”
Sadar rahasia mereka sudah terbongkar membuat Bonar ingin secepatnya menghilang dari kampungnya, ia sudah capek mendengar penghinaan dan ledekan dari semua orang di kampungnya dari ia kecil, membuatnya enggan untuk kembali ke kampungnya, ia tidak pernah pulang ke kampung, ia malu.
Kakak perempuannya yang idiot dan bapaknya dari dulu tukang mabuk, bahkan bapaknya meninggal karena mabuk.
Maka di kampung itu ia dapat julukan anakni Partenggen, atau anak tukang mabuk, di tambah kakak perempuannya yang idiot, yang selalu jadi bahan bulian anak-anak kampungnya, dan sekarang ia menikah dengan wanita yang bunting, ia tahu kalau seluruh kampungnya dari atas sampai bawah pasti sudah menggosipkan dirinya dan keluarganya.
“Sial, semua orang mendengarnya. Kamu keluar dari sini!” ucapnya kesal.
“Aku tidak mau sebelum kamu mengajakku ikut bersamamu.”
“Dasar sinting! Itu tidak akan terjadi, mana mungkin aku mengajak wanita bunting bersamaku, apa nanti kata pacarku sama teman-temanku?”
“Kamu suami yang tidak berguna, tidak bertanggung jawab,” ujar Vani, ia memaki-maki Bonar suaminya.
Paaak …!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuatnya seketika terdiam, pipinya terasa panas mendapat tamparan tersebut.
“Kamu jangan bicara macam-macam ya, kamu harusnya berterimakasih padaku karena aku mau menikahimu.”
“Kamu menikahiku lalu meninggalkanku lalu apa artinya?”
“Dengar! keluargamu sendiri membuangmu, bahkan ibu tirimu memintaku melenyapkanmu, tetapi aku punya hati, makanya aku membawamu ke rumah kami, itu aku lakukan karena aku mengingat kebaikan almarhum nantulang.”
“Jangan bawa-bawa almarhum ibuku, kamu orang jahat tidak pantas melakukan itu.”
“Ya, ibumu pasti menangis di surga sana melihat boru kesayangannya bunting, dan kekasihnya tidak mau bertanggung jawab malah kabur ke luar negeri.”
“Jangan ikut campur urusanku, dia pasti akan datang menjemput kami kalau kamu dan Daddy tidak memaksaku menikah denganmu.”
“Jangan mimpi Vani, dia sudah meninggalkanmu, dia kabur.”
“Dia tidak kabur, aku percaya pada Andre, dia hanya ingin menemui keluarganya di luar negeri, dia minta izin untuk menikahiku lalu membawaku bersamanya.”
“Jangan Naif lah, memangnya dari Jakarta ke Jerman berapa lama? Sampai berbulan-bulan? Dia sudah meninggalkanmu, sudah berapa bulan, apa kamu menunggunya sampai perutmu yang besar itu sampai meledak dulu?”
Mendengar lelaki berkulit gelap itu menertawakannya, ingin rasanya ia terjun ke danau toba dan mati, tetapi ia tidak ingin menyakiti bayi dalam kandungannya, ia ingin tetap bayinya tetap sehat, karena ia yakin Andre kekasihnya akan menjemput mereka berdua, dan membawanya tinggal di luar negeri, ia percaya pada kekasihnya karena ia satu-satunya selama ini bersamanya.
“Aku percaya padanya, dia akan datang.”
“Ya, ya percaya saja pada lelaki berengsek itu, kamu tidak tahu, mungkin dia sudah punya kekasih yang lain.”
“Itu tidak akan terjadi karena aku percaya padanya.”
Satu malam itu Vani bahkan ia terjaga sepanjang malam, ia takut suaminya pergi lalu meninggalkannya, tetapi menjelang pagi rasa dingin itu membuat tubuhnya meringkuk, matanya tidak kuat lagi menahan rasa kantuk.
*
Suara kokok ayam yang riuh membangunkannya.
Ia mendongak dan panik, ternyata Bonar sudah pergi meninggalkannya, pagi-pagi sekali ia sudah pergi menaiki kapal pertama menuju Mogang
Vani menarik selimut dan keluar setengah berlari menuju pelabuhan di samping rumah mertuanya, tetapi saat ia tiba semua kapal sudah berangkat tidak ada lagi, harus menunggu besok.
“Bonar brengsek!”
Ia menangis di tepi pelabuhan, tidak menghiraukan tatapan orang padanya, ia bahkan berdiri di pinggir batu dengan bertelanjang kaki lalu ia berteriak keras di tepi Danau Toba.
“Aaa …! AAA!”
Semua orang di tepi Danau Toba yang setiap pagi ramai, ada yang mencuci pakaian ada yang mandi. Danau Toba sumber mata air untuk setiap rumah di tepi danau.
“Bah nabohado doi?”
(Wah kenapa itu?) tanya seorang kakek yang kebetulan mengangkat air dari Danau Toba.
Seketika keluarga Inang Lisda menjadi terkenal karena ulah Vani yang tanpa malu berteriak keras memanggil suaminya.
“Bonar! Awas kamu, aku akan membalasmu nanti. Dasar kribo suami tidak berguna!” Teriaknya di pinggir Danau Toba.
Padahal dipinggir Danau Toba itu ada larangan tidak boleh wanita yang rambut panjang berdiri sendirian dan berteriak tidak sopan, bisa- bisa namboru penjaga Danau Toba akan marah dan meminta tumbal.
Itulah mitos yang di yakini warga sekitar, makanya saat Vani berteriak- teriak memaki suaminya Bonar, warga sekitar marah dan meminta wanita hamil itu untuk pergi. Tetapi ia tidak mau mendengar larangan masyarakat di sana.
Jadi di panggil lah Inang Lisda ibu mertuanya yang sudah tua, dan Edanya yang idiot, karena kemanapun Inang Lisda pergi, borunya yang kurang waras itu selalu ikut, mau ke pasar mau ke pesta ia juga akan ikut.
“Ayolah inang pulang, di rumah kita bicarakan,” ujar Inang Lisda membujuk menantunya karena juga malu jadi tontonan orang.
Mesnur eda yang setengah waras maju dan meminta edanya atau iparnya untuk pulang, melihat wajahnya yang jelek dan penampilan edanya yang berantakan membuat Vani semakin gila.
“Pergi sana, menjauh dariku!” Bentaknya mengusir iparnya.
Wanita yang kurang waras itu hanya tertawa dan memiringkan kepalanya ke samping kiri dan ke kanan, setelah lelah berteriak dan puas mempermalukan dirinya sendiri, ia ikut pulang ke rumah.
Dia tidak punya pilihan lain, karena untuk keluar dari Desa Sabulan hanya mengandalkan kapal, karena desa itu tepat berada di pinggir gunung di sebrang danau Toba.
Setelah Bonar meninggalkan Vani dan tidak meninggalkan uang sedikitpun, wanita berwajah cantik itu sangat marah.
“Suatu saat aku akan membalas kalian semua,” ucapnya kesal, ia mengunci diri di dalam kamar.
Sementara ibu mertuanya dan Mesnur sudah berangkat ke ladang, merasa perut lapar, ia keluar dan mencari makanan di dapur , dengan tatapan bingung dan jijik Vani membuka periuk atau hudon yang digantung di tengah tungku, ia membuka tutupnya masih ada nasi tetapi sudah dingin, tidak terbiasa makanan yang dingin ia ingin memanaskan , tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya menyalakan api dengan kayu bakar, padahal tubuhnya sudah mulai kelaparan.
“Bodoh amat aku makan dingin saja.”
Ia menyendok nasi ke dalam piring, ia mencari lauk, saat di buka hanya ada ikan asin dan jengkol lalapan.
“Apa ini? Ini bukan makanan manusia.” Ia melemparkan piring itu dari tangannya.
Makanan seperti itu tidak akan bisa masuk ke perutnya, tadi malam saat Bonar ada masih membeli lauk dari lapo, sekarang tidak ada Bonar, tidak ada makanan yang enak.
Ia membuka dompet miliknya dan mengeluarkan uang sisa, lalu pergi warung. Pemilik warung pun agak jauh dari rumah mertua, Vani memang tinggal di desa terpencil.
Ia membeli telor dan mie instan, hanya karena itulah yang ada makanan yang di jual di warung tersebut.
Tiba di rumah, ia tidak tahu cara memasak pakai kayu bakar, ia diam tidak tahu harus melakukan apa, tidak mau mati kelaparan ia pergi lagi ke warung dan meminta tolong untuk dimasakkan. Mereka semua sudah tahu kalau wanita hamil itu istri Bonar lelaki yang meninggalkannya.
Semua orang hanya bergosip dan melihatnya, tetapi Vani bukan tipe wanita lembek, ia bersikap bodoh amat dengan tatapan semua orang inang-inang tukang gosip tersebut.
‘Selagi aku tidak meminta-minta dan menyakiti kalian, aku akan peduli dengan tatapan kalian’ ucapnya dalam hati.
“Dek, kenapa tidak masak di rumah ibu mertuamu?” tanya yang punya warung.
“Aku tidak bisa menyalakan api Nantulang.”
“Memangnya mama mertua kau kemana?”
“Gak tau.”
“Coba kau tengok ke ladang atas, ke situ mungkin inang mertuamu.”
“Ya Nantulang.”
Setelah kenyang ia kembali ke rumah dan masuk kembali ke kamar lalu ia memainkan ponselnya , ia terus mencoba menghubungi Andre kekasihnya, lelaki yang sudah menanamkan benih di rahimnya.
Tetapi sebagaimana keras pun usahanya untuk menghubungi Andre, nomornya tidak diangkat, bahkan semua orang yang di kenal memblokir nomor Vani.
Di sisi lain, lelaki yang berpakaian setelan jas mahal itu menelepon Bonar.
“Bagaimana?”
“Sudah Pak, saya sudah menikahinya dan saat ini saya meninggalkan di rumah mama saya, saya juga meninggalkan sejumlah uang untuknya, untuk biaya hidup dan melahirkan seperti yang bapak katakan.”
“Baik, aku tidak ingin melihatnya lagi, makannya perintahkan pak Dul untuk memblokir nomor semua orang dari nomornya agar dia tidak bisa menghubungi orang lagi.”
“Ya Pak.”
“Tapi kamu meninggalkan uang untuknya’ kan?”
“Ya Pak,” jawab Bonar.
Padahal ia berbohong, ia tidak meninggalkan uang sedikitpun untuk Vani, ia membawa kabur uang yang diberikan ayah Vani, ia hanya memberikan sedikit uang untuk biaya hidup untuk ibunya yang sudah tua.
Bersambung ..
tetap semangat ,....horas!
Berkah&sukses selalu.