Semua telah terjadi, imanku rasanya telah kubuang jauh. Berganti Nafsu syahwat yang selama ini selalu kupendam dalam-dalam.
Apakah ini benar-benar keinginanku atau akibat dari sesuatu yang diminumkan paksa kepadaku oleh pria-pria itu tadi.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Satu yang pasti, aku semakin menikmati semua ini atas kesadaranku sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berteduh
Kulihat ada sebuah warung yang sudah tutup dan aku pun memutuskan berteduh di sana. Kuparkirkan motorku dan kubiarkannya kehujanan karena memang tidak ada parkiran yang teduh ditempat ini.
Sedangkan aku memilih masuk ke dalam warung yang tidak terkunci tersebut. Untungnya warung tersebut tanpa pintu sehingga aku bisa duduk-duduk di dalam.
Kukibarkan gamisku yang sudah basah total akibat hujan yang mendadak ini. Kurasakan kerudungku juga basah parah hingga beberapa helai rambutku sedikit keluar dari sela kerudung.
Kucoba merapikan rambutku agar tidak terlihat, dan kulepas kain cadarku yang basah dan terasa tidak nyaman digunakan.
Kubuka layar ponselku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 23.16, kulihat beberapa teman-teman kajianku sudah membuat status WA sampai rumah dengan selamat.
Begitu pula dengan Ukhti Farida yang juga sudah membuat status WA tentang beberapa poin yang disampaikan di kajian Ustadzah Jihan tadi.
Aku pun terus menantikan redanya hujan kali ini, namun sayangnya bukannya reda, hujan malah semakin deras saja.
Kurasakan tubuhku mulai sedikit menggigil karena seluruh pakaianku yang basah kuyup terkena hujan. Kucoba mengisi waktu dengan membuka aplikasi instagram pada handphoneku.
Langsung terlihat beberapa postingan akhwat-akhwat bercadar yang terlihat anggun dengan gamis lebar bercadarnya. Jujur saja cara berpakaian mereka yang terlihat anggun mempesona itulah yang membuatku terinspirasi dan mencoba untuk memakai cadar.
Hasilnya sungguh di luar dugaan, aku terlihat lebih anggun dan dewasa saat mengenakan cadar. Bahkan beberapa teman yang melihatku mulai mengenakan cadar memuji pesonaku yang kata mereka punya auranya sendiri.
Tetapi tak sedikit pula yang terkejut dan tidak setuju dengan perubahan cara berpakaianku, terutama dari lingkup keluarga besar kedua orangtuaku. Wajar saja dan aku tidak begitu memikirkannya.
Penolakan itu justru menjadi penyemangatku untuk berhijrah, bukan hanya caraku berpakaian, namun juga sikapku.
...“Bruuuumm bruummmm brummmmm”...
Dari kejauhan terdengar suara knalpot racing yang berisik memekakkan telinga.
Sepertinya bukan hanya satu motor saja, tetapi ada beberapa suara knalpot yang terdengar bergemuruh menjadi satu membuat suasana yang tadinya hening menjadi berisik.
Aku pun buru-buru memakai kain cadarku kembali untuk berjaga-jaga dan kurapikan kembali kerudungku. Walau masih basah, aku tidak peduli karena cadar dan kerudung sudah menjadi pakaian wajib yang harus digunakan saat ada orang lain di dekatku.
Daripada aku harus mengekspos wajahku ke seseorang yang bukan mahramku, lebih baik aku bertahan sejenak menutup wajahku dengan kain cadar basahku ini.
Suara knalpot sepeda motor semakin mendekati tempatku berteduh. Sesekali kudengar mereka menggeber-geber motornya dengan berisik. Aku hanya berdoa dalam hati agar mereka tidak berhenti di tempat aku berteduh saat ini.
Bagaimanapun, aku sendirian di tempat yang tidak kukenal, tentu saja sebagai gadis normal, aku merasa was-was dengan kehadiran sekelompok orang-orang yang berisik itu.
...“Bruuuuuummmmm bruummmmmm”...
Suara riuh knalpot itu melewati warung kosong tempat aku berteduh.
Benar saja, Jumlah mereka ternyata banyak. Terhitung kurang lebih ada 10 motor lebih yang tadi melintas di warung tempatku berteduh sambil menggeber-geber motornya.
Untungnya mereka melanjutkan perjalanan tanpa melihat ke arahku sama sekali.
Kembali kulihat jam tanganku, malam pun semakin larut tepatnya pukul 23.42. Hujan masih turun dengan derasnya di malam yang semakin sunyi ini. Aku buka aplikasi maps dan kucoba pelajari arah pulang yang benar, walau jujur saja aku adalah seseorang yang tidak pandai membaca aplikasi peta itu.
Kulihat jarak yang tersisa menuju rumahku masih 37 km lagi.
...“Brummmmm bruuummmm”...
“Ehhhh kok mereka kembali?” gumamku ketakutan dan bersembunyi kembali di dalam warung.
Ketakutanku semakin menjadi saat melihat mereka satu persatu berdatangan dan berhenti di samping sepeda motorku yang kubiarkan terparkir di pinggir jalan.
Kulihat mereka mendekati sepeda motorku dan menggerakkan stang motor sepeda motorku.
Rasanya, jantungku berhenti berdetak saat mereka menangkap mataku yang sedang mengintip dari dalam warung. Aku kembali bersembunyi semakin dalam, namun sayang 3 orang lelaki telah berjalan menuju ke arahku sambil membawa golok dan celurit
“Hahahah... Ada ukhti-ukhti cadaran malam-malam gini habis ngapain, ya?” goda salah satu dari mereka.
Tidak bisa kulihat wajah mereka dengan jelas, yang kutahu ketiga lelaki itu berbadan besar dan postur mereka menyeramkan. Aku merapat ke arah tembok warung dengan ketakutan dan berdoa semoga rombongan yang kelihatannya gang motor itu segera pergi.
“Kalau ditanya itu dijawab, dong, cantik... Heheheh...” ujar lelaki lainnya yang posturnya sama besarnya.
“Sa—saya habis pengajian.…” jawabku terbata-bata.
“Ho? Pengajian? Ga bohong lu? Bukan lagi jual diri lu?”
“Astaghfirullah hal adzim....”
“hehehe... Yuk ikut kita aja, yuk!” ujar salah satu di antara mereka sambil cengengesan dan berusaha menarik tanganku.
Aku yang tidak biasa bersentuhan dengan lelaki bukan mahram, secara reflek langsung menangkis tangannya yang menarik tanganku dengan paksa. Kulihat lelaki itu terlihat begitu marah dan menamparku dengan keras setelah kutepis tangannya.
“Sombong lu ya?” kata lelaki tadi, kesal.
Mereka menatap tajam ke arahku, aku semakin ketakutan saat ketiga orang itu semakin memepetku ke dinding kayu warung ini.
Mereka tersenyum sinis sambil memainkan golok seperti berusaha menakutiku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas wajah mereka yang jauh dari kata tampan.
Aku begitu ketakutan hingga lebih banyak memilih memejamkan mataku sambil menunduk total karena wajah mengerikan mereka dan juga aroma tak sedap yang berasal dari mulut mereka
“Hehehe jangan lu kira mentang-mentang lu cadaran, kita ga berani macam2 ke lu,” kata salah satu di antara mereka sambil menggerakkan ujung goloknya tepat di depan dad4ku.
“Sekali tebas pakaian lu, lu udah bisa kita bug1l1n. Ngerti lu?” imbuh lelaki itu.
Kali ini ia gerakkan ujung goloknya tepat di area payud4r4ku.
Mendadak mulutku terkunci rapat mendengar perkataannya. Aku tidak berani menggerakkan tubuhku sedikitpun.
Ujung tajam golok itu benar-benar tepat menempel pada ujung payud4r4ku yang masih tertutup kerudung dan juga gamis.
Kulihat ia mulai menggerakkan goloknya kebagian belahan dad4ku dan digeser perlahan ke bawah. Membuat lekuk dad4ku sedikit membentuk karena tekanan dari ujung golok.
“Jawab, lu lagi jual diri, kan? Berapa harga tubuh, lu?” tanya seorang lelaki kekar berambut berantakan.
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang aneh menurutku. Setahuku, pelacur tidak ada yang pakaiannya serba tertutup sepertiku saat ini.
Sungguh itu sebuah tuduhan yang amat kejam bagiku. Dan parahnya lagi pertanyaannya seperti memaksaku menjawab jika memang benar aku adalah seorang gadis yang sedang jual diri.
“Saya tidak jual diri!” Aku memberanikan menjawab pertanyaan kurang ajarnya.
...“Plak plak plak,” ...
pipiku kembali dihajar dengan sebuah tamparan bertubi-tubi.
Aku mencoba tetap tegar walau pipiku rasanya perih menyakitkan. Tanpa terasa air mataku jatuh karena tidak pernah selama hidupku diperlakukan kasar seperti ini
“Jangan bohong lu.. Ga usah jaim-jaim lu lont3!” ujar lelaki kekar itu semakin menghunuskan ujung golok ke dad4ku.
“Udah kita bawa aja ke markas dulu,” kata lelaki yang tadi menarik tanganku, tiba-tiba mencoba menahan rekannya yang hendak melukaiku.
Lalu lelaki yang menggerakkan goloknya ke dad4ku tadi merampas tasku dan mencari sesuatu dari dalam tasku.
Setelah mereka mendapatkan kunci motorku, mereka menarik paksa tubuhku keluar, hujan-hujanan hingga pakaianku kembali basah kuyup.
“Lu bawa motornya. Nih lont3 kita angkut sekalian,” kata pria kekar memberi perintah ke temannya.
Tubuhku kembali ditarik dan dipaksa naik ke salah satu motor mereka, mataku ditutup rapat oleh sebuah kain hingga aku tidak bisa melihat sama sekali keadaan sekelilingku.
Kurasakan salah seorang turut duduk dibelakangku, sepertinya saat ini aku dalam posisi boncengan bertiga dan aku diapit oleh 2 orang lelaki.
Satu persatu mulai menyalakan mesin sepeda motornya. Suara knalpot brong mulai kembali bising terdengar beriringan. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana.
Dalam hati aku berdoa semoga aku baik-baik saja. Tetapi sayang, dalam beberapa menit saja doaku sudah tidak dikabulkan.
Lelaki yang duduk di belakangku dengan sangat kurang ajar sengaja merem4s-rem4s payvd4r4ku.
Aku mencoba berontak menghindari sentuhan tangannya yang kurang ajar, namun lelaki itu kembali membisikiku, “Diam! atau gua bunuh lu!”
Tubuhku mendadak melemah, perlawananku perlahan musnah. Aku semakin ketakutan saat ini. Tidak kusangka pada akhirnya aku mengalami kejadian seperti ini.
Mendadak, aku menyesal. Andai saja aku menerima tawaran Ukhti Farida untuk bermalam di rumahnya, tentu kejadian ini tidak akan terjadi.
Atau andai saja aku tidak menghadiri kajian Ustadzah Jihan malam ini, pasti aku tidak akan mengalami semua ini.
Pikiranku kalut, jantungku terasa sakit, hingga pada akhirnya aku menangis sesenggukan di balik kain hitam yang menutupi kedua mataku.
Sementara itu, tangan kasar lelaki yang duduk di belakangku seakan tak peduli dengan tangisanku. Ia terus merem4s dan melec3hkan tubuhku dengan kurang ajar sepanjang perjalanan malam ini.