Pertemuan yang tidak sengaja dengan orang yang sangat menyebalkan menjadi awal sebuah takdir yang baru untuk dr. Fakhira Shakira.
Bruukk
"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.
"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.
"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.
Karena keegoisan seorang Erfan Bumi Wijaya yang menyebalkan, membuat Hira mengalami pelecehan. Sejak kejadian itu ia tak bisa jauh dari sang pria menyebalkan.
Rasa nyaman hadir tanpa diundang. Namun sayang sang pria sudah menjadi calon suami orang. Sampai pada kenyataan ia sudah dibeli seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Erfan berdecak kesal saat dokter jutek keluar dari ruang ICU mengabaikannya. Padahal dokter itu melewati yang lain dengan tersenyum, hanya ia yang mendapatkan pelototan mata.
"Ih kok dokter judes amat." Geram Erfan, Mama Kila dan Ummi menoleh pria yang sedang kesal itu dengan tatapan heran.
"Kenapa Fan? Tadikan dokternya senyum manis banget." Bela Mama Kila yang tidak terima dokter seanggun Hira dibilang jutek.
"Mana ada Ma, masa aku dipelototin cuma gara-gara ketabrak gak sengaja." Erfan menggerutu yang mengundang tawa.
"Oh, jadi marah karena gak dapat senyuman si dokter cantik kayak kita-kita," goda Ummi dengan geleng-geleng kepala.
"Enggak, cuma senyuman gitu doang banyak kali Ummi. Aku bisa dapat gratis." Erfan membela diri agar tak tersudutkan, tapi kenapa juga ia jadi kesal gara-gara dokter yang gak dikenalnya itu ya... Aneh, Erfan biasanya cuek bebek. Kecuali urusan Elvina yang tak pernah bisa diabaikannya.
"Ya kali kalau senyum bayar, semua orang berbondong-bondong mau senyum aja biar cepat kaya, gak perlu kerja lagi," Ken mencebik.
"Kayaknya sudah ada yang berpaling dari menantu Abi nih." Abi menepuk-nepuk pundak Erfan. "Itu tanda kalau hatimu sudah terbuka, Nak." Tambah Abi Nazar, disetujui yang lain.
"Abiiii, Erfan tau salah karena belum bisa move on. Tapi mana bisa juga secepat itu suka sama orang." Tak mungkin ia jatuh cinta pada pandangan pertama, ini hanya rasa kesal karena perkataan sang dokter yang gak sopan.
"Kalau gak suka ngapain dipikirin." Ah Adnan ikut-ikutan, Erfan sendirian gak bisa membela diri. Cara satu-satunya adalah—kabur. Oh tidak, ia lupa meminta seketarisnya untuk mengcancel meeting siang ini. Beruntung sekali Erfan, ada alasan yang membantunya saat ini.
Tuhkan selalu kebetulan, ponselnya berdering disaat yang tepat, panggilan dari seketarisnya. Erfan minta waktu untuk di tunda tiga puluh menit. Meeting tak jadi batal, ini lebih baik gumamnya untuk kabur dengan cara yang elegan. Kabur aja pakai cara elegan ya? Ah Erfan bisa aja.
"Aku harus balik ke kantor sekarang, tadi buru-buru ke sini lupa kalau ada meeting." Ujarnya pada Ken dan keluarga. Syukurlah tidak ada yang curiga kalau Erfan hanya ingin melarikan diri sekarang, dari pembahasan dokter muda nan cantik itu. Cantik? Jadi Erfan mengakuinya cantik.
Perjalanan yang ditempuh dalam dua puluh menit bisa digunakan Erfan untuk memejamkan mata. Mengetahui Elvina baik-baik saja itu sudah membuatnya lega. Walau belum bisa bertemu dengan perempuan itu.
Erfan memasuki kantor dengan sangat berkharisma. Pria itu menjadi orang yang dingin dan datar saat berada di wilayah kantor. Ia melangkah memasuki lift, ruangannya ada di lantai sembilan belas. Gedung bertingkat itu milik sang papi, Wijaya. Sekeras apapun menghindar dari keinginan papi tetap saja ia yang kalah. Sampai harus menerima permintaan papi mengurus perusahaan.
Masih ada lima menit sebelum meeting, Erfan menghempaskan tubuh di sofa. Akhir-akhir ini pikirannya sangat lelah, selain masalah perasaan yang terpendam kadang bisa meledak-ledak. Kerjaan yang tak ada habisnya membuat ia jenuh.
"Semua sudah siap di meeting room Pak." Suara dari Ressa sang seketaris membuyarkan lamunan Erfan.
"Ya, thanks." Ucap Erfan singkat kemudian bangkit dari duduk lalu masuk ke meeting room.
Satu setengah jam ia habiskan dalam ruangan itu. Sudah cukup untuk membuat semua yang ada dalam ruangan ketar-ketir. Erfan kembali keruangan, menghempaskan tubuh di kursi kemudian berputar-putar seperti oranv yang tak punya kerjaan.
Tok tok tok
"Ya masuk." Teriak Erfan saat ada yang mengetuk pintu. Posisi kursinya masih membelakangi meja, ia ingin istirahat sebentar. Jadi tidak melihat siapa yang datang.
"Kakak kita makan siang yuk?" Mendengar suaranya Erfan sudah tau itu siapa.
"Males, kamu makan aja sendiri." Erfan memutar kursi, menatap dingin perempuan yang berdiri di depan meja. Entah kenapa, kebencian itu masih ada. Ia sangat benci dengan Fany—adiknya, karena tindakan bodoh gadis itu.
"Ya sudah makan di sini aja, aku pesan go food dulu." Ujar Fany sembari tersenyum, tak tersinggung sedikitpun dengan ucapan kakaknya.
"Gak usah Fany, kamu denger gak sih. Lebih baik sekarang pulang. Bikin kepalaku tambah mumet aja."
"Kakak! Aku cape lho nyusulin ke sini," Rengek Fany manja, tidak terima diusir kakaknya sendiri.
"Emang aku minta kamu ke sini, hah? Kamu keluar atau aku yang keluar?" Bentak Erfan geram, kemarahannya sudah sampai ubun-ubun. Kalau dulu ia sangat senang melihat tingkah adiknya yang manja. Sekarang? Tidak lagi, tingkah itu sangat menjijikan bagi Erfan.
"Kenapa sih Kakak gak kayak dulu lagi." Fany menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, sampai menimbulkan bunyi berisik.
"Tentu kamu masih ingat dengan kesalahan yang kamu buat Fany, jangan berlagak bego." Erfan beranjak meninggalkan ruangan, membanting pintu dengan keras sampai menimbulkan dentuman. Fany dibuat terperanjat dengan tingkah sang kakak. Dulu lelaki itu sangat menyayanginya, selalu memperlakukan Fany dengan lembut.
"Semua ini gara-gara Nana." Geram Fany, meninggalkan ruangan Erfan. Dua tahun sudah masalah itu berlalu, tapi kakaknya belum mau memaafkan.
Hari beranjak sore, Erfan bosan berada di kantor. Ia berjalan menuju cafe di seberang gedung kantor miliknya. Di daerah ini memang area kampus, gak heran kalau banyak mahasiswa yang memilih untuk nongkrong. Sembari minum segelas kopi sampai sore dengan wifi gratis. Lebih hematkan, dasar otak mahasiswa.
Ia menikmati segelas coffe latte sambil memperhatikan para mahasiswa yang keluar masuk cafe. Sekarang jam empat sore, makanya suasana cafe rame. Erfan menghubungi Ilmi untuk menemaninya nongkrong. Teman yang setia bersama dengannya selama di London. Sekarang pria itu juga sudah menetap kembali di Indonesia, nasib mereka tak jauh berbeda.
Sepuluh menit kemudian pria yang ditunggunya itu datang dengan tampang yang tidak kalah menawan dari Erfan. Seorang Ilmi Lateef Pranadifta yang dapat membuat para wanita tergila-gila karena ketampanannya. Pria dengan kaos oblong hitam dilapisi jaket berwarna navy itu terlihat sangat ramah. Senyumannya selalu mengembang, bagaimana para gadis tidak histeris melihatnya.
"Kenapa bro?" Ujar Ilmi, menarik kursi kemudian duduk di depan temannya yang sedang galau. "Kelamaan jomblo lo, udah sana cara pendamping. Kapan bisa move on kalau gini terus."
"Bacot lo enak Mi, mentang-mentang udah punya buntut."
"Nikah emang enak Fan, bisa menikmati sesuka hati. Gak kayak lo masih betah menikmati rasa suka sama istri sahabat sendiri."
"Bacot lo, gue gak minta lo datang buat ceramah ya Mi, kalau mau ceramah ke mesjid sana." Erfan berdecak, meneguk habis coffe lattenya.
"Mi, Mi, emang gue mami lo." Erfan terkekeh, temannya yang satu ini paling benci dipanggil Mi, tapi Erfan suka menggodanya. "Lalu? Ngapain lo manggil gue ke sini, emang gue wanita panggilan yang bisa lo panggil sesuka hati." Sarkas Ilmi geram.
"Entahlah, lagi pengen nge-refresh nih otak, ditemenin kek bukan diceramahin. Kalau mau dengar ceramah gue bisa datang kekajian sendiri."
"Ngapain direfresh? Install ulang aja memori otak lo yang hang itu." Ini teman halalkan buat ditendang.
udah untung suami mendukung pekerjaan nya,malah mau di bikinin tempat praktek sendiri, kurang apa coba si erfan