Ketika Ling Xi menjadi putri yang tak dianggap di keluarga, lalu tersakiti dengan laki-laki yang dicintai, apalagi yang harus dia perbuat kalau bukan bangkit? Terlebih Ling mendapatkan ruang ajaib sebagai balas budi dari seekor ular yang pernah dia tolong sewaktu kecil. Dia pergunakan itu untuk membalas dan juga melindungi dirinya.
Pada suatu moment dimana Ling sudah bisa membuang rasa cintanya pada Jian Li, Ling Xi terpaksa mengikuti sayembara menikahi Kaisar kejam tidak kenal ampun. Salah sedikit, habislah nyawa. Dan ketika Ling Xi mengambil sayembara itu, justru Jian Li datang lagi kepadanya membawa segenap penyesalan.
Apakah Ling akan terus bersama Kaisar, atau malah kembali ke pelukan laki-laki yang sudah banyak menyakitinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Mula
"Ayah... Ibu... Tolong!"
Jian Li, seorang anak laki-laki terperosok mundur, menghindari ular yang ada di depannya. Padahal sang ular tidak berusaha menyakitinya karena kondisi ular hanya numpang lewat dan tak berniat jahat. Namun Jian Li pikir ular itu akan mematuknya, sehingga ia yang sangat takut, berinisiatif untuk mengambil kayu lalu ingin memukul ular tersebut.
Namun sebelum kayu itu sempat melayang, mata Jian Li terbelalak. Di hadapannya seorang gadis kecil dengan santai telah mengamankan ular tersebut.
"Beraninya dia?" batin Jian Li terpukau. Ling Xi ( nama gadis pemberani itu) membawa ular menjauh dari Jian Li. Ia melepaskan sang ular di tepi sungai.
"Hai ular, namaku Ling Xi. Kini kau aman, bebaslah." Ling Xi kecil melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal. Sang ular memandang Ling Xi lekat-lekat, seakan mengerti sebelum akhirnya meliuk pergi di antara rerumputan.
Ling Xi kemudian berbalik, turut pergi dari sana, dan ia pun melewati eksistensi Jian Li yang sudah berdiri tidak sekacau tadi. Ling Xi berhenti sejenak ketika Jian Li memanggilnya. "Hei kau," Kata Jian Li karena dia tidak tahu nama Ling Xi.
Ling Xi berhenti, menoleh lalu senyum tipis. Tepat saat itu seorang pelayan menghampiri Ling Xi.
"Nona muda, bawahan ini diperintah untuk menjemput Anda. Tuan besar telah menanti kepulangan Anda di kediaman."
Ucapan sang pelayan membuat Ling Xi bergegas. Ia menoleh sekali lagi pada Jian Li, namun Ling Xi tidak sempat berucap sepatah kata pun. Ia melesat pergi meninggalkan Jian Li.
...____________...
Sebelas tahun tahun kemudian.
Seolah takdir alam semesta berkonspirasi, Ling Xi dan Jian Li yang sudah besar kini terikat dalam benang asmara. Jian Li, dengan keberanian hati seorang prajurit adalah yang pertama kali menyatakan perasaannya, meminta Ling Xi menjadi kekasihnya. Tanpa satu sama lain tahu bahwa mereka sesungguhnya pernah bertemu sewaktu masih kecil.
Perjumpaan mereka yang tidak terduga terjadi di sebuah pasar tradisional, tempat Ling Xi gemar menghabiskan waktu untuk menikmati keramaian rakyat biasa meski darah bangsawan mengalir dalam dirinya.
Di sanalah ia bertemu kembali dengan Jian Li. Sejak pertemuan itu, keakraban di antara mereka kian erat menumbuhkan benih-benih perasaan yang tidak terduga dalam hati Ling Xi. Maka, ketika Jian Li mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan Ling Xi kekasih, Ling Xi pun menyambutnya dengan sukacita.
Ling Xi tidak jarang mengajak Jian Li bertandang ke kediamannya. Dari sana lah hubungan Jian Li dan keluarganya terajut. Jian Li pun tak asing lagi di meja makan keluarga Ling Xi, kerap terlibat dalam santap malam sehingga ia terlihat begitu akrab dan diterima hangat oleh ayahanda serta ibu tiri Ling Xi.
Selain itu, Jian Li juga mulai menunjukkan kedekatan dengan Xiu Ying, kakak tiri Ling Xi, putri dari ibu tirinya. Ayah Ling Xi memang menikah kembali setelah kepergian mendiang istrinya, mempersunting seorang wanita yang telah memiliki seorang putri, Xiu Ying, yang usianya lebih tua dari Ling Xi.
Namun, perlakuan Jian Li kepada Ling Xi dan Xiu Ying justru seperti terbalik.
Seiring waktu, kejanggalan dalam sikap Jian Li semakin nyata. Perilakunya terhadap Xiu Ying mulai menunjukkan nuansa yang berbeda. Jian Li terlihat lebih sering melirik Xiu Ying, senyumnya terkembang lebih lebar saat berinteraksi dengannya, bahkan tidak jarang ia mengulurkan bantuan kecil yang seharusnya menjadi tugas pelayan.
Ling Xi yang hatinya penuh cinta, tidak menyadari perubahan ini. Ia menganggap kedekatan Jian Li dengan Xiu Ying sebagai bentuk keramahan belaka, wajar karena mereka akan segera menjadi keluarga. Namun pelayan pribadinya bilang bahwa yang seperti kekasihnya Jian Li adalah Xiu Ying, bukan Ling Xi.
"Nona, ini kudapan dan teh penenangnya," ujar A Mei meletakkan nampan di atas meja. "Nona sudah belajar berjam-jam. Istirahat sejenak, ya."
Ling Xi mendongak, "Oh, A Mei! Terima kasih. Aku benar-benar tidak menyadari sudah berapa lama. Aku sedang asyik sekali. Materi ini sungguh menarik. Tapi sayangnya aku tidak dapat memahaminya." Ling Xi memang tidak pintar. Sebab itulah sang ayah kerap membandingkannya dengan Xiu Ying.
"Nona memang tekun. Bawahan ini senang melihat Nona begitu bersemangat. Ini pasti karena Nona teringat pesan Tuan Muda Jian Li, bukan?"
Wajah Ling Xi berseri. "Tepat sekali. Beberapa hari lalu, Jian Li bilang padaku, 'Ling Xi, kau harus terus belajar dan memperluas wawasanmu. Lihatlah Xiu Ying, dia begitu cerdas dan berpengetahuan luas. Wanita yang cerdas itu menarik.' Aku jadi semakin termotivasi. Aku ingin bisa pintar sepertinya."
Genggaman A Mei pada nampan mengerat sesaat, namun ia segera menormalkannya.
"Tentu, Nona. Bawahan ini setuju Nona harus terus belajar. Ilmu itu tidak ada habisnya."
Namun, A Mei tidak bisa menahan diri sepenuhnya. "Hanya saja, bawahan ini tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan ini." Ia berlutut di samping Ling Xi.
"Meskipun Nona begitu bersemangat belajar dan ingin seperti Nona Xiu Ying, bawahan ini masih saja merasa ada yang janggal."
Ling Xi mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu, A Mei?"
"Nona adalah kekasihnya Tuan Muda Jian Li, Tapi kenapa dia selalu saja membandingkan Nona dengan Nona Xiu Ying? Kenapa dia terus-menerus memuji kepintaran Nona Xiu Ying di depan Nona? Bawahan ini melihatnya, Nona. Cara Tuan Muda Jian Li memandang Nona Xiu Ying, cara dia berbicara dengannya Nona, sungguh-sungguh sungguh berbeda."
Mata Ling Xi sedikit meredup. "Tapi dia hanya ingin aku menjadi lebih baik, A Mei."
"Menjadi lebih baik itu bagus, Nona," sanggah A Mei, "tapi bukan dengan cara selalu membandingkan Nona dengan orang lain. Apalagi dengan seseorang yang hatinya selalu ia tuju. Jujur saja, Nona, kalau bawahan ini tidak tahu Nona adalah kekasihnya, bawahan ini akan mengira Nona Xiu Ying-lah kekasih Tuan Muda Jian Li. Caranya memperlakukan Nona Xiu Ying, melindungi dan memujinya, itu seperti perlakuan seorang kekasih. Sementara pada Nona, dia hanya memberi saran untuk belajar seperti orang lain."
A Mei tertunduk. "Bawahan ini sakit hati melihat Nona berusaha keras menjadi seperti orang lain demi mendapatkan perhatiannya. Nona sudah luar biasa apa adanya. Nona pantas dicintai karena diri Nona sendiri, bukan karena Nona bisa menjadi seperti Nona Xiu Ying. Rasanya bawahan ini ingin sekali berteriak padanya, menyadarkannya bahwa dia punya kekasih yang mencintainya, yang sedang berusaha menjadi apa yang dia inginkan, namun dia tidak pernah melihatnya."
Kali ini Ling Xi yang menunduk, "Aku... aku tidak tahu, A Mei. Aku hanya ingin dia melihatku."
Dan dari situlah Ling Xi lebih peka dengan sekitar. Ia melihat bagaimana Jian Li akan memastikan Xiu Ying sudah makan sebelum ia sendiri menyentuh hidangan, atau bagaimana ia lebih sigap menawarkan selendang pada Xiu Ying saat angin bertiup kencang, padahal Ling Xi juga ada di sana.
Suatu sore, saat mereka bertiga berada di ruang belajar, Ling Xi mengamati Jian Li yang dengan asyik membahas tentang obat-obatan dan Alkimia bersama Xiu Ying. Bahkan Jian Li sempat membetulkan anak rambut Xiu Ying.
Apa benar yang dikatakan A Mei?
.
.
.
Bersambung.
keselamatan rakyat dan pengawal
juga penting
pilihan bijak
/Determined//Determined//Determined/
Luka api
pasti panas dan sakit