Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 14
Sofia terbangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan dari biasanya.
Tak ada teriakan, tak ada keluhan. Hanya ketenangan yang menyelimuti apartemennya yang sederhana.
Sofia menghela napas dalam, membiarkan udara pagi memenuhi paru-parunya. Ia bangkit dari tempat tidur, merenggangkan tubuhnya.
Setelahnya, Sofia segera menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, ia mengenakan pakaian yang nyaman—blus putih dengan celana panjang hitam. Rambutnya ia sisir rapi, dan sedikit riasan ia aplikasikan agar wajahnya tampak segar.
Di dapur kecil apartemennya, ia menyiapkan sarapan sederhana:m, sandwich berisi telur dan sayuran, serta segelas susu almond hangat. Saat duduk menikmati sarapannya, Sofia menyadari betapa damainya hidup tanpa beban rumah tangga yang selama ini mengekangnya.
Tak ada lagi yang perlu ia layani.
Hari ini, Sofia berencana pergi ke toko kain untuk memulai bisnisnya. Selama bertahun-tahun, ia telah menahan keinginannya untuk kembali ke dunia fashion. Tapi sekarang, tak ada lagi yang bisa menghentikannya.
Setelah membereskan meja makan, Sofia mengambil tasnya dan berjalan keluar dari apartemen.
Di tempat parkir, sebuah mobil Honda Jazz berwarna hitam sudah terparkir sejak kemarin. Sofia sengaja tidak menggunakan mobilnya saat keluar dari kediaman Rahardian, karena tak ingin berdebat dengan Robin.
Mobil ini memiliki makna tersendiri baginya. Dulu, saat ulang tahun pernikahannya yang ke-10 dengan Robin, ayahnya memberikannya sebagai hadiah. Sofia masih ingat betapa bahagianya ia saat itu, mengira bahwa pernikahannya akan bertahan selamanya.
Ternyata, semua itu hanya ilusinya sendiri.
Sofia tersenyum sinis sebelum masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.
Mulai hari ini, mobil ini bukan lagi simbol kenangan pernikahannya.
Mobil ini akan menjadi kendaraan yang membawanya menuju masa depan yang baru.
Dengan tekad bulat, Sofia melajukan mobilnya menuju toko kain. Ia siap untuk membangun kehidupannya dari nol—bukan sebagai istri seseorang, bukan sebagai ibu yang diabaikan, tapi sebagai Sofia Amara yang sesungguhnya.
******
Pagi itu, Robin terbangun lebih lambat dari biasanya. Udara terasa dingin, sisa hujan yang mengguyur semalaman. Masih setengah sadar, ia berteriak, "Sofia! Siapkan air hangat!"
Namun, tidak ada sahutan.
Robin membuka mata sepenuhnya, mengernyit. Kenapa rumah terasa begitu sepi?
Barulah ia sadar—Sofia sudah tidak ada lagi di rumah ini.
Perasaan aneh menyelinap di dadanya, tapi ia menepisnya. Dengan malas, ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi dan mengenakan kemeja, ia keluar kamar dengan wajah sedikit berantakan.
Di saat yang hampir bersamaan, Mikaila dan Reno juga keluar dari kamar masing-masing. Wajah mereka masam, jelas menunjukkan ketidakpuasan.
Di dapur, Saskia sedang mengomel pada Bi Sari. "Jus detoksifikasimu ini aneh sekali! Sofia selalu membuatnya dengan rasa yang pas, kenapa ini hambar?"
Bi Sari hanya bisa menunduk, tidak berani membantah.
Dengan wajah kesal, Saskia keluar dari dapur dan menuju meja makan, diikuti oleh Mikaila dan Reno. Saat keempatnya berkumpul, suasana pagi itu penuh dengan keluhan.
"Benar-benar kurang ajar!" gerutu Saskia. "Sofia itu sudah keterlaluan! Keluar dari rumah dan minta cerai, sekarang kita semua jadi begini!"
Mikaila mengangguk setuju, "Mama memang keterlaluan. Dia pikir dia siapa? Sok-sokan keluar dari rumah, seolah dia bisa hidup sendiri!"
Reno menambahkan dengan nada kesal, "Tante Vanessa saja lebih baik dari Mama. Kalau Tante Vanessa yang ada di rumah ini, pasti semua lebih teratur. Aku yakin, cepat atau lambat mama pasti akan menyesali keputusannya."
Mendengar itu, Saskia menoleh ke Robin. "Benar, Robin. Kalau Sofia menyesal dan kembali, usir saja dia! Tidak perlu menerima perempuan yang tidak tahu diri itu!"
Mikaila langsung menyambung, "Papa harus menikahi Tante Vanessa. Mama sudah pergi, dia tidak pantas kembali. Aku yakin Tante Vanessa lebih bisa mengurus rumah dan lebih cocok mendampingi Papa."
Reno juga mengangguk, "Benar. Tante Vanessa jauh lebih baik dari mama. Dia lebih keibuan dan selalu mengerti kami."
Saskia mengangguk setuju mendengar ucapan kedua cucunya. "Ibu setuju Robin, kalau kau menikahi Vanessa. Dia lebih segala-galanya dari Sofia. Vanessa juga memiliki penghasilan sendiri, sebagai seorang desainer. Ibu yakin, kalau kau menikah nanti, Sofia pasti akan menyesal."
Tak ada lagi alasan Saskia untuk menolak Vanessa, dulu dia dan suaminya tidak merestui Robin dan Vanessa karena wanita itu mandul. Namun, sekarang Saskia telah memiliki penerus dari Sofia, yaitu Reno dan Mikaila.
Robin hanya diam, tidak langsung menjawab.
Dalam hati, Robin tahu bahwa Sofia tidak akan pernah kembali. Ia juga tahu, kepergian Sofia bukan sekadar kemarahan sementara—tetapi keputusan bulat yang sudah ia pikirkan matang-matang.
Namun, yang lebih mengusiknya adalah bagaimana Sofia bisa tahu tentang Vanessa dan perselingkuhan mereka?
Robin melirik sekilas ke anaknya, lalu ke kedua anaknya. Mereka tidak boleh tahu.
Tanpa banyak bicara, Robin hanya menghela napas dan melanjutkan sarapannya yang terasa hambar. Rumah ini tanpa Sofia terasa berbeda. Tapi Robin tidak ingin mengakuinya.
🍃🍃🍃🍃
Sofia memarkir mobil Honda Jazz-nya di depan sebuah toko kain besar yang terkenal dengan kualitas produknya. Setelah mematikan mesin, ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kecil. Ini adalah langkah awalnya untuk memulai hidup baru—tanpa Robin, tanpa keluarganya yang dulu, hanya ada dirinya sendiri dan impiannya yang telah lama ia kubur.
Dengan penuh percaya diri, Sofia melangkah masuk ke dalam toko. Begitu pintu kaca terbuka, seorang pegawai wanita yang ramah segera menyambutnya.
"Selamat datang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Pegawai itu tersenyum sopan.
Sofia membalas dengan anggukan lembut. "Saya ingin membeli kain dengan kualitas bagus, tapi harganya masih terjangkau. Saya ingin menjahit pakaian sendiri."
Mata pegawai itu berbinar. "Tentu, Bu. Silakan ikut saya, kami punya banyak pilihan kain berkualitas yang mungkin cocok untuk Anda."
Sofia mengikuti pegawai itu ke bagian dalam toko, di mana rak-rak kayu dipenuhi gulungan kain dengan berbagai warna dan motif. Dengan teliti, Sofia mulai menyentuh dan merasakan tekstur kain satu per satu.
"Yang ini bagus," gumamnya sambil menyentuh kain katun halus berwarna gading.
Sofia juga memilih beberapa warna lain—biru tua, hijau zamrud, hitam elegan, dan merah marun. Warna-warna yang klasik tapi tetap berkelas.
Pegawai itu mengangguk, "Pilihan yang bagus, Bu. Ini kain yang nyaman dan mudah dijahit. Apakah Anda ingin membeli dalam meteran atau dalam jumlah besar?"
Sofia berpikir sejenak. Ini pertama kalinya ia benar-benar memulai sesuatu untuk dirinya sendiri. "Saya akan membeli beberapa meter dulu. Jika cocok, saya akan kembali untuk membeli lebih banyak."
Pegawai itu segera mencatat pesanan Sofia dan membawa kain-kain yang telah dipilihnya ke meja kasir. Sementara itu, Sofia merogoh dompetnya dan membayar dengan tenang. Untungnya, tabungannya lebih dari cukup untuk membangun usaha ini dari nol.
Setelah semua kain dibungkus rapi dalam tas besar, Sofia mengucapkan terima kasih dan berjalan keluar toko dengan perasaan puas.
Ini baru permulaan.
Namun, dalam hati, Sofia tahu—ini adalah langkah pertamanya menuju kebebasan dan kesuksesan.