Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part Time
...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...
...****************...
Calista Ruby atau yang sering dipanggil Caca itu menghembuskan nafasnya yang hangat dengan berat. Tangannya meremas kuat tali tas selempang miliknya sambil menatap sebuah mansion besar dengan pagar yang dihiasi tanda berbentuk "LP" dari emas.
Jantungnya berdebar cukup cepat, hampir seperti genderang perang, membayangkan hari pertamanya sebagai pengasuh anak balita konglomerat Inggris. Angin awal November bertiup sedikit lebih kencang, menusuk kulit meskipun sudah berbalut mantel tebal. Tangannya yang dingin semakin erat memeluk tasnya, mencoba menyalurkan ketegangan.
"Aku bisa! Aku tentu saja bisa! Ini hanya hal biasa seperti yang kulakukan di Indonesia!" Ia mengulang mantra itu dalam hati, tetapi suara kecil dalam dirinya tetap bertanya, Benarkah ini akan berjalan semudah itu?
Dengan langkah berat, Caca memberanikan diri menuju gerbang besar kediaman keluarga Pattinson. Sepasang penjaga berdiri kaku di sisi gerbang, mengawasi setiap gerakannya seperti patung hidup.
"Nama?" tanya salah satu penjaga bertubuh agak gemuk dengan nada rendah, sambil memegang sebuah tablet. Ekspresinya tanpa senyum, membuat dada Caca semakin terasa sesak.
"Calista Ruby," jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh tiupan angin. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan getaran di suaranya sambil mencuri pandang pada penjaga lainnya yang sama sekali tidak menunjukkan reaksi.
Caca membaca nama di tag dada penjaga itu—Arthur. Saat ia menunggu, waktu terasa lebih lambat, seolah-olah tablet yang dicek Arthur adalah penentu nasibnya.
"Silahkan masuk," ucap Arthur akhirnya, memberikan izin dengan nada datar.
Caca hanya bisa mengangguk, refleks memberikan senyum kecil ala Indonesia. Namun, senyumnya langsung memudar saat menyadari kedua penjaga itu kini saling melirik dengan raut bingung.
"Apa yang barusan dia lakukan?" bisik si penjaga yang lebih kurus, menoleh pada Arthur.
Arthur mengedikkan bahu. "Budayanya mungkin," jawabnya, namun tetap tampak tak yakin.
Caca tidak mendengar percakapan mereka. Matanya sibuk menjelajahi halaman mansion yang megah, hampir seperti lukisan dari buku dongeng: taman yang tertata sempurna, air mancur yang gemericiknya terdengar lembut, dan bangunan besar bergaya klasik Inggris. Sekilas, ia teringat gambar rumah impiannya sewaktu kecil—selalu ada air mancur di depan. Bibirnya melengkung, tersenyum kecil di tengah rasa gugup.
Melangkah menaiki tangga ke pintu utama, ia mengetuk pelan, takut terlalu keras. Suara gagang pintu berderit membuatnya mundur selangkah, bersiap menghadapi orang di balik pintu.
Pintu itu dibuka oleh seorang wanita dengan seragam hitam putih yang rapi, lengkap dengan senyum profesional. “Silahkan masuk,” sapanya sopan, tetapi dingin.
Caca tersenyum lebar, lagi-lagi menunduk kecil sebagai balasan. Namun, senyumnya cepat surut ketika pelayan itu hanya memandangnya dengan sedikit kebingungan, lalu berbalik masuk tanpa banyak kata. Caca melangkah masuk, matanya membesar memandang interior mansion yang tak kalah mewah dari eksteriornya. Setiap sudutnya seperti pameran seni yang hidup.
Ia dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu, tetapi Sarah, si kepala pelayan yang membukakan pintu, kembali bertanya tanpa banyak basa-basi, "Apakah Anda ada janji?"
"Oh, saya pengasuh baru," jawab Caca buru-buru. Senyumnya kembali mengembang, meski ia tahu jawabannya terdengar terlalu ceria untuk tempat ini.
Namun, Sarah tidak bereaksi, wajahnya tetap netral. Caca langsung mengulum senyumnya, perasaan kikuk merayap cepat. Sepertinya keramahan khas Indonesia tidak selalu diterjemahkan dengan baik di sini.
Sarah meninggalkannya sendirian, membiarkan Caca menggigit bibir bawahnya sambil memelototkan matanya pada dirinya sendiri. “Bodoh! Kenapa malah senyum-senyum nggak jelas?” bisiknya dalam hati, tangannya mengepal di pangkuan.
Pelayan lain datang menyuguhkan minuman dan kue kecil di atas meja. Mereka melakukannya dalam diam yang membuat Caca semakin canggung. Ia menunggu mereka berbicara, tetapi mereka hanya pergi tanpa sepatah kata, meninggalkan dirinya yang kembali merasa asing di ruang ini.
Ketegangan itu pecah oleh suara langkah yang mantap di tangga. Seorang pria muncul, tinggi, berkulit putih, dengan rambut coklat rapi. Ia memeluk seorang anak laki-laki kecil yang tampak sibuk memainkan mainannya. Wibawanya memenuhi ruangan, meskipun ekspresinya sama dinginnya dengan Sarah.
"Selamat siang, Nona Calista," sapanya, dengan nada datar namun sopan.
Caca segera tersenyum, menunduk sedikit. “Selamat siang, Tuan Pattinson,” jawabnya. Suaranya terdengar lebih sopan daripada biasanya, tapi ia merasa pelayan-pelayan di sekitarnya memperhatikan dengan tatapan penasaran.
Logan Pattinson, pria itu, duduk dengan anaknya di sofa, mengamati Caca dengan tenang. "Kau pengasuh?" tanyanya singkat.
Caca mengangguk kecil, terlalu gugup untuk mengatakan lebih banyak.
"Ini Ray, anak yang akan kau asuh," katanya sambil membetulkan posisi duduk putranya. Anak itu tampak acuh, tetap sibuk dengan mainannya, seolah dunia luar tidak penting. "Dia tidak cepat akur dengan orang asing, jadi kuharap kau bisa mengatasi ini di hari pertamamu."
Kata-kata itu membuat hati Caca mencelos. Ia memaksakan senyum lagi, meski pikirannya penuh pertanyaan.
"Katanya kau berkuliah di sini, kan?" tanya Logan, menatap Caca dengan wajah tanpa ekspresi.
Caca sedikit terkejut, namun segera menguasai dirinya. "Ah, iya," jawabnya sambil tersenyum. "Aku berkuliah di UCL."
"Apa pekerjaan ini tidak akan mengganggumu?" Logan bertanya lagi.
Jantung Caca berdegup kencang, khawatir akan memberikan jawaban yang salah. "Oh, em... Sepertinya tidak," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.
Logan mengangguk pelan. Meski wajahnya tetap datar, Caca menangkap sekilas bayangan kesedihan di raut lelaki itu. Ada sesuatu yang suram di balik wajah lelahnya, sesuatu yang membuat Caca bertanya-tanya.
"Baiklah kalau begitu," ujar Logan akhirnya. "Lagi pula, aku hanya akan menitipkan Ray kepadamu untuk beberapa saat setiap kali aku dan ibuku mungkin tak bisa di rumah. Apakah itu akan mengganggumu?"
Caca mengangguk dengan percaya diri. Menurut pengalamannya, menjaga anak kecil seharusnya tidak terlalu sulit. Lagipula, ia pernah menjaga keponakan dan adik-adiknya di Indonesia, yang jauh lebih nakal.
"Sama sekali tidak, Tuan Pattinson," jawabnya penuh keyakinan.
Logan tersenyum samar. Keputusan ini bukan hal yang mudah baginya, tetapi ia merasa Caca adalah pilihan yang tepat. Meskipun rumah ini penuh pelayan, mereka tidak memiliki kesabaran atau minat untuk merawat anak kecil seperti Ray.
"Kemungkinan besar kau harus menginap di sini jika Ray memintanya," lanjut Logan, "atau saat aku dan ibuku harus bertugas dalam waktu yang tidak bisa kami tentukan. Kau keberatan dengan itu?"
"Ya, saya bersedia melakukannya, tentu saja," jawab Caca, mencoba terdengar ramah meskipun suaranya sedikit bergetar.
Aura Logan begitu kuat. Meski wajahnya sendu dan suram, sifat maskulin dan tegasnya tetap terasa mendominasi. Caca merasa sedikit terintimidasi, tapi ia mencoba mempertahankan senyumnya.
"Terima kasih. Itu awal yang baik," kata Logan, mengakhiri percakapan. Ia kemudian menggendong Ray, yang tampak tenang di pelukannya. "Nah, kalau begitu, kau bisa mencoba berkenalan sebentar dengan Ray."
Caca bangkit berdiri, siap menerima Ray. Namun, saat ia mendekat dan mencoba meraih anak kecil itu, Ray menolak. Ia memeluk erat ayahnya, menolak berpindah ke pelukan Caca.
"Ah... Inilah yang kumaksud, Nona Calista. Dia sangat sulit untuk cepat akrab," ujar Logan tanpa ekspresi, seakan sudah menduga hal ini.
Caca merasa gugup, namun ia tidak menyerah. Ia menunduk sedikit, tersenyum lembut, dan berkata, "Halo, Ray... Namaku Calista. Tapi kamu bisa panggil aku Caca saja."
Ray mengangkat wajahnya sebentar, menatap Caca dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Namun, hanya beberapa detik kemudian, ia kembali menyembunyikan wajahnya di dada Logan.
Caca mencoba tetap tenang, meskipun di dalam hatinya mulai muncul rasa khawatir. Pikiran tentang kegagalan di hari pertama mulai menghantui. Apakah Ray sudah membencinya?
"Maaf, Nona Calista," kata Logan, menyadari kecemasan Caca. "Dia memang sulit dibujuk."
Caca hanya tersenyum tipis, meski pikirannya mulai berkecamuk. Ia memandang Ray, mencoba memikirkan cara untuk mendekati anak itu. Namun, ada sesuatu di balik sikap Ray yang membuatnya bertanya-tanya.
Nyonya Pattinson tiba-tiba muncul dan berjalan mendekat ke arah anak dan cucunya sambil tersenyum lembut.
"Halo," sapanya dengan nada penuh kehangatan.
Caca menoleh, wajahnya langsung memucat. Gugup dan cemas, ia tidak dapat menghilangkan pikiran buruk yang menghantui. Satu lagi orang yang melihat betapa dirinya kesulitan dan kini Nyonya Pattinson lah orang itu. Ia khawatir nenek dari Ray malah tak menyukainya.
"Ibu, ini Calista, pengasuh Ray yang baru," kata Logan, memperkenalkan Caca pada ibunya sambil masih berusaha membujuk Ray.
Caca dengan canggung menunjukkan gestur sopan seperti biasa yang ia lakukan. Namun, tak lama setelahnya, ia merasa menyesal. Nyonya Pattinson sempat terdiam dan memandangnya dengan tatapan sedikit heran. Meski begitu, wanita itu kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada Logan dan Ray.
Caca meremas kedua tangannya erat-erat. Tubuhnya mulai berkeringat dingin, seakan aliran darahnya tiba-tiba berhenti. Jantungnya berdegup semakin kencang.
Mengapa di saat seperti ini ia malah bertindak ceroboh?
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia