Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Bertemu Sela
Sepuluh menit setelah kepergian Bu Sonia, tiba-tiba mobil Dilmar sudah berada di depan toko sang mama mertua. Dia keluar, sembari membuka kaca mata hitamnya layaknya super model yang keluar dari mobil memperagakan busananya. Bedanya Dilmar adalah seorang tentara yang saat ini sedang menggunakan seragam loreng. Kalau tubuh dan posturnya, Dilmar tidak kalah dengan para peragawan busana yang berjalan di catwalk.
Vanya sedikit terhenyak, dia was-was kalau Dilmar sudah memata-matainya sejak tadi.
"Abang," sapanya seraya meraih tangan Dilmar dan menciumnya, untuk sejenak Vanya bisa menyembunyikan rasa terkejutnya tadi.
"Ayo pulang," ajaknya seraya menatap ke dalam toko melihat seisi toko. Vanya patuh dan segera membereskan barang miliknya ke dalam tas.
"Mbak Rani, saya pulang duluan, ya," pamit Vanya pada Rani. Rani menoleh seraya mengangguk lalu menatap kepergian Dilmar dan Vanya memasuki mobil.
Vanya sudah memasuki mobil, tapi sepanjang memasuki mobil dan kini berada di dalamnya, jantung Vanya tidak berhenti berdegup kencang. Masalahnya kotak perhiasan pemberian Sidik tadi, masih Vanya simpan di dalam saku roknya.
Dilmar segera menyalakan mobilnya beserta car audio. Sebuah musik cadas mulai terdengar memberisiki dalam mobil. Suaranya yang menurut Vanya awur-awuran membuat telinganya justru berdenging dan sakit, karena Dilmar menyetel musiknya dengan volume tinggi.
Mobil Dilmar melaju, sesekali tangan sebelah kirinya bertalu-talu mengikuti irama musik cadas yang saat ini sedang diperdengarkan.
"Ya ampun, musiknya bikin telinga sakit, coba dikecilkan sedikit, mungkin akan sedikit enak," batin Vanya seraya menutup kuping kanannya yang terasa berdenging.
Vanya bukan tidak suka dengan musik cadas, tapi kalau volumenya tinggi dan membuat gendang telinga mau pecah, ia lebih memilih menutup telinga.
"Untuk apa A Sidik menjumpai kamu? Nekad benar dia sampai bisa menyusul ke toko mama," celoteh Dilmar bersama dikecilkannya volume car audio sampai ke angka tiga, sehingga suara Dilmar bisa terdengar oleh Vanya.
Vanya terkejut mendengar pertanyaan Dilmar barusan, itu artinya Dilmar memang melihat Sidik datang ke toko dan memberikan buket bunga dan kotak perhiasan yang entah perhiasan apa di dalamnya, karena belum Vanya lihat.
"Terkejut, ya? Aku sudah melihat semuanya tadi. Dia sampai menyusulmu ke toko mama, rupanya dia sangat nekad dan begitu mencintai kamu," ujar Dilmar.
"Apa yang dia katakan?" telisik Dilmar ingin tahu. Vanya menoleh ke sisi suaminya dengan perasaan serba salah. Dilmar membalas tolehan Vanya sehingga mereka kini saling menatap. Dilmar menyunggingkan senyum setelah melihat wajah Vanya terlihat memerah dan serba salah.
"Dia hanya menceritakan masa lalu, kenapa saat itu Hp nya tiba-tiba tidak bisa dihubungi," ungkap Vanya jujur.
"Bukan mengajakmu lari dan berselingkuh?" cetus Dilmar lagi sembari menatap ke depan.
"Tidak."
"Hemmmm."
Dilmar membalas dengan sebuah deheman. Tangannya tetap fokus dengan kemudinya. Mobil melaju menuju sebuah kafe di kota itu. Dilmar membelokkan mobilnya masuk ke dalam pelataran kafe.
Rupanya Dilmar ingin mengajak Vanya makan siang dulu di kafe. Dilmar turun duluan. Tanpa bicara apapun dia berjalan menuju pintu kiri mobil lalu membuka pintu itu.
"Keluarlah, kita makan siang dulu di sini," ujarnya dengan mimik wajah yang datar. Mungkin Dilmar masih merasakan rasa cemburu terhadap Sidik yang tadi sudah mendatanginya.
Dilmar memilih meja paling ujung di kafe itu. Seorang pelayan kafe menghampiri meja Dilmar dan Vanya. Vanya dan Dilmar duduk berhadapan dengan suasana yang canggung.
Pelayan kafe itu datang membawa pesanan Vanya dan Dilmar setelah dua puluh menit lamanya menunggu. Kecanggungan mereka sedikit terurai karena keduanya kini sedang menikmati makanan di depan meja mereka.
Pada saat sedang menikmati makanan, para pengunjung kafe berdatangan dan mulai memenuhi meja kafe yang tadi hanya ditempati beberapa orang saja. Tepat di samping meja Dilmar, tidak disangka Sela menempati meja itu bersama dua orang temannya dengan masih menggunakan seragam Perawat.
"Aku minumnya avocado milshake," ucap Sela yang masih belum sadar kalau meja di sampingnya adalah Dilmar dan Vanya. Sedangkan Dilmar belum menyadari kalau di meja itu adalah Sela dan teman-temannya. Akan tetapi Dilmar mengenali suara itu, sehingga ia segera menyudahi makan siangnya.
"Cepatlah, aku ingin segera pulang," ujar Dilmar. Vanya segera menyudahi makannya.
"Ayo." Dilmar meraih tangan Vanya dan merematnya, mereka bersamaan bangkit dari meja itu. Saat berdiri, tatapan Sela langsung menuju Dilmar dan Vanya yang saling meremat tangan.
"Kak Dilmar," panggilnya. Tapi Dilmar tidak menghentikan langkahnya, karena ia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Sela.
"Kak, tunggu," susulnya. Dilmar membalikkan badan.
"Siapa?"
"Kak Dimar sungguh-sungguh sudah tidak kenal aku?" heran Sela dengan telunjuk mengarah pada dirinya.
"Maaf, mungkin kamu salah orang. Permisi," tukas Dilmar seraya berlalu dan keluar dari kafe itu. Sela tertegun menatap sedih kepergian Dilmar dan Vanya.