Mentari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Tari dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
"Beginilah nasib, ya. Cuma kebagian bersih-bersih aja," gerutunya pelan, mengungkapkan kekecewaannya pada keadaan. Ia tahu, setiap kali disentuh oleh Tari, dirinya seolah hanya menjadi alat pemuas.
"Ya Allah, jika ini memang takdir hidupku, aku ikhlas menjalani semuanya. Tapi, jika mereka sudah terlalu jauh menyakitiku, apakah aku salah jika memohon jalan keluar? Apakah Engkau akan mengizinkanku untuk berpisah dari suamiku, ya Allah?"
Tari menghela napas panjang, air matanya jatuh tanpa henti. Dalam doanya yang penuh emosi, ia mencurahkan segala beban yang selama ini ia pendam.
"Sungguh, aku merasa dizalimi, ya Allah. Nafkah lahirku kurang, nafkah batinku juga tak pernah terpenuhi. Aku benar-benar tidak rida dengan semua ini. Di keluarga ini, aku selalu dianggap musuh. Mereka tidak pernah melihatku sebagai bagian dari mereka, padahal aku hanya berusaha menjadi menantu yang baik."
Ia menggigit bibirnya, menahan isak yang semakin keras. Rasa sakit di hatinya terlalu dalam untuk diabaikan.
"Dan suamiku, ya Allah, dia tidak pernah mau membelaku. Apakah ini pertanda bahwa dia bukan jodohku yang sesungguhnya? Jika memang benar begitu, tolong tunjukkan aku jalan yang terbaik. Berikan aku petunjuk, ya Allah," lirihnya sambil menengadahkan tangan.
Tari diam sejenak, kemudian menyeka air mata yang membasahi pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan doanya.
"Kalau memang suamiku bukan yang terbaik untukku, aku mohon, ya Allah, kirimkan seseorang yang lebih baik. Kalau bisa, dia lebih tampan, lebih mapan, dan tentunya lebih sayang padaku. Oh, dan satu lagi, ya Allah... berikan aku pasangan yang kuat, yang bisa membuatku merasa puas dan dihargai, terutama saat kami beribadah bersama di malam-malam penuh berkah."
Doa itu meluncur dari bibir Tari dengan penuh harapan, meskipun ia sadar betapa sulitnya permintaannya. Namun, di tengah kekecewaan dan keputusasaannya, ia hanya bisa berpegangan pada Sang Pemilik Kehidupan.
Setelah selesai berdoa, Tari menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Meski rasa sakit masih ada, ia merasa sedikit lebih ringan setelah mencurahkan segalanya kepada Tuhannya.
Di dunia ini, Tari benar-benar sebatang kara. Tak ada lagi tempat ia bersandar kecuali kepada Sang Pencipta. Hanya kepada-Nya ia bisa mencurahkan segala isi hati yang penuh luka dan harapan.
"Amin ya rabbal alamin..." ucapnya lirih, menutup sesi panjang doanya yang penuh keikhlasan.
Setelah menyeka sisa air mata di pipinya, Tari bangkit perlahan. Ia melipat mukena putih sederhana yang masih ia gunakan. Mukena itu adalah mahar dari Teguh saat mereka menikah dulu, salah satu benda yang masih ia hargai meski kenangan manis di antara mereka mulai memudar.
Tari lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping sajadah. Ia menarik napas dalam, menguatkan hati untuk melanjutkan pekerjaan yang semalam belum terselesaikan.
Dengan penuh konsentrasi, jemarinya mulai menari di atas layar. Ia menulis kisah yang telah lama ia rancang, menuangkan segala ide dan imajinasinya ke dalam aplikasi menulis novel yang menjadi tumpuan mimpinya.
Dug. Dug. Dug.
Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Seruan azan subuh menggema dari masjid terdekat, menandakan waktu terus berjalan tanpa henti. Tari terkejut, tak menyangka sudah dua jam lebih ia tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kali ini ia tersenyum lebar.
"Alhamdulillah," gumamnya pelan, penuh syukur. Akhirnya, targetnya tercapai. Bab terakhir dari novelnya selesai, dan ia berhasil mengajukan kontrak kerja sama dengan platform menulis yang selama ini menjadi impiannya.
Tari menatap layar ponsel dengan bangga. Meskipun hatinya kerap diliputi rasa kecewa, ia tahu ada satu hal yang masih bisa ia perjuangkan: mimpi-mimpinya sendiri.
Dengan semangat baru, Tari melipat kembali sajadahnya, lalu bersiap untuk melaksanakan salat subuh. Hari itu, ia merasa ada harapan kecil yang kembali menyala di dalam dirinya.
hebat tari,mulut Bu ayu perlu dibalas