sinopsis:
Nama Kania Abygail tiba tiba saja terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional.
Awalnya Kania mensyukuri itu karna Liam Sangkara, mentari paginya itu juga tergabung dalam Olimpiade itu. Setidaknya, kini Kania bisa menikmati senyuman Liam dari dekat.
Namun saat setiap kejanggalan Olimpiade ini mulai terkuak, Kania sadar, fisika bukan satu - satunya pelajaran yang ia dapatkan di ruang belajarnya. Akan kah Kania mampu melewati masa karantina pra - OSN fisikanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zuy Shimizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Chapter 10: Ketika Yang Lain Berucap
"Rupanya mencintaimu tak semudah mengerjakan soal IPHO 2023. Tapi tetap, akan kulakukan."
\#\#\#
MERASA kondisinya sudah cukup baik, Kania memutuskan untuk mulai ikut belajar lagi hari ini. Sehingga pagi harinya, gadis itu dan kedua temannya sudah bersiap menuju ke resto. Namun di tengah langkah mereka di koridor, sahutan seseorang membuat ketiganya berhenti.
"Kania"
Gadis bersurai hitam itu menoleh ke belakang, dimana arah suara berasal. Namun detik berikutnya, ia harus meneguk ludahnya. "Evan? Gimana? Mau ke resto bareng?"
Evan tak langsung menyahut. Ia menatap bergiliran antara Kania dan dua temannya yang lain, sebelum akhirnya pemuda itu menghela nafas sembari menatap pada Renatta. "Gue mau ngomong bentar sama Kania, kasih waktu."
Renatta tak menyahut. Gadis itu bahkan tak berucap sama sekali. Ia hanya menatap Evan dingin, untuk waktu yang cukup lama. Levia yang menyadari atmosfer di lingkungannya pun memilih untuk diam.
Sepersekian detik kemudian, Renatta segera membalikkan tubuhnya dan beranjak melangkah turun dengan diikuti oleh Levia. Namun gadis itu tetap tidak bisa lupa tetang tatapan yang seolah mengatakan, ada yang belum selesai, namun tak perlu diselesaikan.
"Ada apa, Evan?" Kania berusaha bersikap tenang meski ia merasa ada sesuatu yang sedikit mengganjal di hatinya. Apalagi Kania termasuk orang yang paham akan tatapan Renatta tadi.
"Kamu pacaran sama Liam?"
Kania terdiam sejenak. "Enggak. Emangnya kenapa?"
"Gebetan?"
Kania menghela nafas tegas. "Ada apa sih?"
"Aku..." Evan meremas celananya sendiri. "Aku nggak suka..."
"Apa? Kamu nggak suka Liam?"
"Aku nggak suka kalo kamu deket sama dia."
"Liam bukan orang jahat."
"Seseorang nggak perlu kelihatan jahat untuk matahin hati orang lain."
Kania mengerutkan dahinya. Entah kenapa ada rasa kesal yang mengumpul semakin lama ia menatap Evan. Cerita Renatta malam itu benar-benar merubah pola pikirnya, namun Kania tetap berusaha untuk bersikap netral.
"Kamu nggak jelas ah, Evan." ujar Kania tenang. "Aku duluan ke resto,"
Tepat saat Kania hendak mulai melangkah untuk beranjak, Evan menahan tangan gadis itu dan sontak membuat Kania terhenti. "Aku suka kamu, apa itu kurang jelas?"
Kania membulatkan matanya sempurna.
--- OLIMPIADE ---
"Kak," sapa Liam sembari menarik sebuah senyum lebar begitu matanya menangkap kehadiran Renatta yang mendekat dengan sebuah piring ditangannya.
Renatta hanya mengangguk sembari menarik sebuah senyum tipis. Terlalu sulit baginya untuk bersikap ramah usai terjebak dalam sorot mata Evan beberapa menit lalu. Meski begitu, aura kecantikannya masih terpampang di tengah ramainya resto.
"Kania udah sembuh?" tanya Liam.
Renatta mengangguk pelan. "Memang belum bener-bener fit, tapi udah bisa ikut belajar lagi lah. Yang penting gue bakal tetep jaga dia."
"Bagus deh, gue seneng dengernya." Liam tersenyum tipis sembari menambahkan kuah sup ayam yang berada di depan mata ke dalam mangkuknya.
"Lo ada 'sesuatu' sama Kania, ya?"
Liam menoleh sembari mengangkat satu alisnya. "Maksudnya?"
Robin menghela nafas sebal sambil menatap Liam tajam. Ia paling benci orang yang tidak paham dan pura-pura tidak paham apa yang mereka bicarakan.
"Eh, Kak, udah belum?" tanya Levia sembari menyenggol lengan Renatta.
"Eh, lu duluan aja, Via. Gue masih bingung mau makan apa. Titip tas gue, dari pada nanti tempat duduknya malah dipake orang."
"Yaudah siniin," ujar Levia sembari mengulurkan tangannya. Begitu Renatta memberikan tasnya, Levia pun segera mencari tempat duduk dengan dua tas di pundak kanannya.
Saat dirasa Levia sudah cukup jauh, Renatta segera menghela nafasnya dan terfokus kembali pada Liam. "Lo ngegebet Kania?"
"Ng.... nggak tau, Kak. Gue belum pernah nyobain cinta-cintaan gitu. Sumpah." ujar Liam dengan pipi yang mulai memerah.
"Seriusan?"
Liam mengangguk.
"Terus yang lo rasa ke dia apa?"
Ah, seketika jantung Liam berdebar. Sejak malam itu, jangankan mendeskripsikan soal rasa, mengingat sosok Kania sendiri sudah membuat Liam tersenyum dengan sendirinya. Entah, Liam merasa begitu lemah dihadapan Kania.
"Gemes. Gue suka senyumannya. Whatever will be, I'll protect her smile."
"That's mean you lover her, stupid." sahut Renatta cepat sembari memasukan sepotong ayam ke piringnya yang telah berisikan nasi. "Gue nggak mau ngebacotin apapun, nggak mau komentar kalian cepet jadian atau gimana, lo cuma harus inget satu hal."
"Apa?"
"Lo leader. Fokus."
Deg!
Liam diam. Dan Renatta menang telak.
"Sekali lagi, gue nggak mau bacotin atau ikut campur. Gue cuma mau lo ngasih perhatian yang sama ke yang lain. Gue nggak bilang lo lebih buruk dari gue, gue waktu jadi leader IT tahun lalu juga pasti ada kekurangan. Kita saling mengingatkan aja."
Liam terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk sembari berucap, "Iya, Kak."
"Semangat!" ujar Renatta sembari menepuk pudak pemuda itu lalu mengusapnya sejenak sebelum berlalu pergi.
Liam hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Namun hati dan otak tidak bisa dibohongi. Dusta besar jika ia tidak kepikiran soal hal ini.
Liam salah, rupanya mencintai seseorang membuat Liam lupa akan yang lainnya. Yah... ternyata berbuat adil itu cukup berat.
✩₊̣̇. To Be Continue