Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARI KELULUSAN
Perhatian perhatian kepada seluruh kelas XII dilarang mencoret-coret seragam ataupun atribut lain. Hendaknya seragam yang kalian gunakan disedekahkan kepada tetangga atau siapapun yang membutuhkan sebagai amal jariyah kalian. Euforia kelulusan lebih baik digunakan untuk sujud syukur tanpa perayaan berlebihan. Terimakasih.
Suara Pak Ridwan, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan di mikrofon sekolah, menginterupsi siswa-siswi kelas XII yang baru saja mendapat kelulusan. Tangis haru karena telah lulus terdengar sahut menyahut, hingga adik kelas pun ikut terbawa suasana.
Selamat
Selamat
Jangan lupain aku
Habis ini kuliah ke luar kota
Doakan aku mendapat kerja
Begitu kata yang terucap pada masing-masing siswa. Siap menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Mereka memang tak semuanya melanjutkan ke perguruan tinggi, ada juga yang langsung mencari kerja bahkan khusus anak perempuan ada banyak yang siap jadi pengantin.
"Kalian berangkat kapan?" tanya Mina kepada kedua sahabatnya, Tiwi dan Nayratih, dengan wajah sendu. Bagaimana tidak, hanya Mina yang tak ada niatan kuliah. Perekonomian keluarganya hanya cukup untuk membiayainya hingga SMA, kalau mau kuliah Mina harus berusaha sendiri. Apalagi sang ayah baru saja terkena musibah, kecelakaan sehingga mengalami patah kaki. Otomatis, kekuatan beliau saat mencari nafkah tak sekuat dulu. Mau tak mau Mina puj sepertinya akan mengikuti kebiasan anak perempuan di desanya, menikah muda.
"Mungkin dua minggu lagi, sekalian cari kos dan adaptasi hidup di sana sebelum masuk kuliah," jawab Tiwi yang memang diterima di salah satu kampus negeri jurusan pertanian.
"Kalau kamu, Nay?" tanya Mina.
"Mungkin lusa, Ibu sekalian ada acara di sana!" Nayratih memang berasal dari keluarga berada di atas mereka. Dari pihak ibu, Nay merupakan keturunan tuan tanah. Sedangkan ayah Nay adalah seorang TNI.
Tak ayal, Nayratih mengambil jurusan kedokteran.
Bahkan sang kakek, sudah menyiapkan sebidang tanah yang akan dibangun rumah sakit untuk Nay kelak.
"Kamu yakin, Min. Gak pengen kuliah?" tanya Tiwi sekali lagi. Obrolan tentang kuliah sudah menjadi makanan sehari-hari bagi ketiganya. Tiwi maupun Nay memberi dukungan, bahkan sedikit memaksa kepada Mina untuk kuliah. Masih ada jalur tulis agar dapat kuliah.
Mina hanya bisa menunduk dan menghela nafas berat. Semakin sedih, kenapa ia tak punya nasib seperti kedua sahabatnya? Tapi ia tak bisa juga menyalahkan takdir, hanya bisa menerima. Ingin berontak, tapi berontak ke mana? Sampai saat ini ia hanya masih bisa diam dan menerima.
"Kamu bisa mengajukan beasiswa nantinya, Min."
Mina menggeleng, "Tetap saja sejak awal butuh uang, Wi! Beasiswa cair juga gak langsung, bisa satu semester, bisa juga di akhir semester. Aku realistis saja. Setidaknya kalau mau kuliah, tetap harus punya uang!"
Nay dan Tiwi mengangguk, apa yang diucapkan Mina sangat benar. Biaya pendidikan di Indonesia mahal, pemerintah masih belum bisa mengcover semua anak negeri mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
"Meski kamu gak bisa kuliah bareng kita, tapi jangan patah semangat ya, Min. Kamu bisa kuliah tahun depan," saran Nay sangat bijak.
Lagi-lagi Mina hanya diam, merapatkan bibirnya. "Min, jangan bilang kamu mau nikah?" tebak Tiwi, curiga saja dengan gelagat Mina yang hanya diam dan wajahnya terlihat sangat sedih.
Mina tak menjawab, tapi tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menangis sesenggukan. Nay dan Tiwi saling pandang, kemudian memeluk Mina.
"Jangan nangis dong, Min!" ucap Nay sembari mengelus pundak Mina yang tampak masih naik turun. Terlihat sekali beban hati cukup berat dirasakan gadis manis itu.
"Cerita ya, jangan dipendam sendiri. Meski nanti kita jauh, jangan pernah sungkan berbagi kabar!" lanjut Tiwi yang terbawa suasana, mendadak melow. Tak menyangka perpisahan ketiga sahabat akan terjadi juga.
Di antara semua teman di SMA ini, yang sepemikiran adalah ketiganya. Bisa dibilang Tiwi, Nay, dan Mina itu sefrekuensi. Cara pandang, pintarnya, bahkan cara ngomong mereka mirip. Tak ayal cita-cita mereka tuh sama, menjadi wanita karier, hidup di kota dan tidak menikah muda.
Aku tidak membayangkan saja, lulus SMA jadi pengantin kira-kira kalian datang gak?
Sebuah pertanyaan dari Mina di awal kelas XII dulu, spontan saja Tiwi dan Nay memukul lengan Mina. "Jangan nikah muda!"
Nikmati dulu masa remaja kita, Min.
Mental kita masih belum siap buat menimang bayi, Min.
Dunia kita masih main, bukan ribet dengan bayi.
Apapun jalannya, please jangan nikah muda, Min.
Ucapan kedua sahabatnya terus terngiang oleh Mina, "Kalau gak bisa tahun ini, mungkin di tahun depan kamu menyusul kami untuk kuliah. Tetap semangat, Min!" ucap Tiwi menahan tangis. Mau bagaimana pun keduanya tidak boleh egois, memaksakan kehendak agar Mina kuliah. Mereka memang support system yang bagus, tapi tidak dengan keuangan. Tiwi dan Nay tentu angkat tangan kalau urusan biaya pendidika dengan keluarga Mina..
"Iya, Wi, Nay. Apapun yang terjadi aku tetap ingin kuliah!"
Mereka bertiga pun berpelukan, saling menguatkan dengan kondisi keluarga masing-masing.
Selepas urusan di sekolah selesai, Mina pun pulang. Langkahnya gontai, seperti tak ada niatan untuk hidup. Sepanjang jalan pulang, ia terus memikirkan cara bagaimana bisa kuliah. Ada sedikit gengsi bila ia dibandingkan dengan Tiwi dan Nay oleh tetangga. Gadis ini sudah bisa memprediksi nanti saat Tiwi dan Nay berangkat kuliah ke kota, Mina akan disindir habis-habisan oleh tetangga yang memang tak pernah mengerti perasaan dan kondisi keluarga orang lain.
"Assalamualaikum," ucap Mina pelan. Ia sengaja lewat pintu samping rumah, karena sadar sedang ada tamu. Ia pun mengambil gelas di rak piring, mulai meneguk air untuk membasahi kerongkongannya.
"Mbak, udah pulang?" tanya Risma antusias. Mina hanya mengangguk saja, badan dan lidahnya cukup capek siang itu.
"Mbak, mbak, kamu harus lihat calon suamimu!" sebuah berita duka di siang bolong. Tadinya Mina duduk bersandar di kursj plastik dekat lemari es, ia langsung tegak, matanya melotot, menuntut penjelasan Risma.
"Maksud kamu?"
Risma hanya menunjuk dengan dagunya, bahwa di ruang tamu itu bapak dan ibu sedang mengobrol dengan seseorang yang katanya disiapkan untuk menikahi Mina. Allahu akbar!
"Kamu jangan bohong, Ris!"
"Ck, ngapain aku bohong! Emang Mbak Mina gak pernah dikasih tahu ibu sama bapak soal Pak Sulaiman?" balas Risma dengan mengerutkan dahi.
"Pak Sulaiman?" tanya Mina memastikan. "Pak Sulaiman, bapak camat terhormat yang rumahnya di perumahan seberang?" semakin detail saja Mina mengorek kebenaran siapa Pak Sulaiman itu.
Sesuai prediksi, Risma hany mengangguk. "Mbak emang kamu gak tahu kalau mau dijodohin sama Pak Sul?" Risma kembali menanyakan dan dijawab gelengan oleh Mina.
"Waduh, berat nih. Pasti nanti malam ada baku hantam nih," sindir Risma yang tahu persis watak Mina bila proses tak sesuai dengan rancangannya. Emosi terus.