Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suasana Subuh
Malam tiba di penghujungnya, kokok ayam jantan saling bersahutan satu sama lain membangunkan manusia dari buaian mimpi indah. Disambut suara bedug yang ditabuh di surau-surau, pertanda waktu subuh sebentar lagi datang menjemput.
Para penduduk tak lagi ada yang terpejam, semua telah bangun kecuali anak-anak mereka. Para lelaki berduyun-duyun pergi ke surau menunaikan shalat jamaah subuh bersama sesepuh kampung, sedangkan para wanita sibuk di dapur. Di depan tungku geliat pekerjaan telah mereka lakoni. Memasak nasi serta lauk pauk dan sayur yang dipetik langsung di kebun belakang rumah mereka.
Namun, wanita itu, masih menggelung diri di dalam selimut. Hampir sepanjang malam kedua matanya enggan terpejam. Memikirkan nasib diri juga mantan suami yang katanya telah menikahi sahabatnya.
Sementara Bi Sari tengah bertempur dengan alat masaknya, sesekali akan meniup api dengan menggunakan sebilah bambu sebagai penghantarnya. Ia juga terlihat sedang memetik daun singkong yang akan dijadikan menu sederhana pagi itu.
Bibirnya tampak tersenyum, bertahun lamanya tidak melakoni kegiatan seperti itu. Tinggal di Jakarta di rumah mewah seorang juragan, masak dan segala macam pekerjaan tak perlu susah payah seperti di desa.
"Ah, perasaan, kok, saya kangen banget hidup kayak gini. Udah lama banget nggak masak di tungku," ucap Bi Sari sembari menghela napas pendek. Dalam hati berucap syukur, betapa ia gembira bisa kembali pada kehidupannya yang dulu.
Setelah memastikan api di tungku menyala, ia beranjak meninggalkan dapur dan pergi ke belakang rumah. Di sana ada sebuah sumur timba, dari sanalah para penduduk mendapatkan air. Tak ada mesin air, apalagi air dari pemerintahan. Hampir setiap rumah memiliki sumur.
Seira melenguh, telinganya terusik juga oleh suara-suara ayam berkokok juga suara laki-laki yang bersenandung shalawat di surau lewat pengeras suara. Begitu, menunggu adzan subuh sambil mengumpulkan jamaah.
Ia memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil hebat. Dinginnya AC di kamarnya dulu, tak sedingin udara sejuk di desa tersebut. Beranjak duduk sambil menggosok-gosokkan tangannya untuk mendapatkan rasa hangat.
Sambil menggelung tubuh dengan selimut, ia mulai menuruni ranjang dengan hati-hati karena bergerak sedikit saja dipan kayu itu akan menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu.
"Aku harus memperbaiki semua yang ada di rumah ini supaya jadi layak huni. Kalo begini banyak dinding yang bolong juga, bisa-bisa hewan dari hutan masuk semua," gumamnya, membawa kaki melangkah pelan sambil memperhatikan keadaan rumah.
Dinding yang hanya terbuat dari anyaman bambu itu telah keropos sehingga terdapat lubang di beberapa bagian. Belum lagi karena dimakan rayap akibat tak ada yang menempati. Keduanya melakukan bersih-bersih seadanya siang tadi sebelum ditempati dibantu Fatih dan Mang Udin merapikan semuanya.
"Bi! Bibi di mana?"
Sayup-sayup suara besi tua terdengar di ruang tengah rumah. Seira mencari wanita itu hingga ke dapur mengikuti arah bunyi yang ia dengar. Sepi, ia harus berjalan pelan karena penerangan di rumah itu hanya dihasilkan dari damar yang menempel di dinding.
Tak ada pintu, setiap ruangan hanya dihalangi dengan sebuah kain panjang yang dipaku di atasnya. Benar-benar sederhana atau lebih tepatnya tak layak huni. Atap yang terbuat dari anyaman daun kiray itu pun sudah tak mampu menahan air hujan yang turun. Miris memang, kehidupan di desa itu masih sangat jauh dari kata modernisasi.
"Bibi!" panggilnya lagi seraya membuka tirai kain di dapur, tapi tak mendapati siapa pun jua. Hanya ada tungku dengan apinya yang menyala cukup besar. Di atasnya ada dua buah peralatan masak yang ia tak tahu apa namanya.
Seira yang fokus pada api di tungku, tersentak ketika pintu belakang terbuka. Kedua matanya membelalak awas, khawatir ada orang lain yang masuk sembarangan.
"Eh? Non, cariin Bibi, ya?" tanya Bi Sari sambil memasuki dapur dengan menenteng satu buah ember.
Keadaan yang gelap membuat penglihatan Seira berkurang, barulah setelah mendengar suara Bi Sari ia bernapas lega dan menurunkan kewaspadaan.
"Bibi, aku kira siapa? Abisnya gelap banget," ucapnya sambil mengurut dada.
Bi Sari tersenyum ia berada di depan tungku memeriksa satu alat masak yang mengepulkan asap ketika dibuka penutupnya. Di tangan kanannya memegang sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagangnya yang panjang.
Bi Sari menyiduk air di dalamnya, dan menumpahkannya ke dalam ember yang ia bawa.
"Di sini emang masih jarang lampu, Non. Kebanyakan masyarakat masih pake damar kayak gini. Ya, karena mahal nggak punya uang buat pasangnya," ucap Bi Sari sambil terus memindahkan air panas ke dalam ember.
Seira mengernyit, ia mendekat dan duduk di sebuah amben tak jauh dari tungku. Api di tungku menghantarkan rasa hangat ke dalam tubuhnya, sedikit mengurangi rasa dingin yang membekukan tulang sum-sum.
"Bukannya ada program listrik gratis, Bi, dari pemerintah? Harusnya dapet, Bi, kalo emang layak," ujar Seira semakin bingung.
Bi Sari mendesah, ia menutup kembali panci besar tersebut setelah mengisinya dengan air dingin. Itu akan direbusnya hingga mendidih, mulai hari itu Seira harus terbiasa minum air yang dimasak yang kadang memiliki bau khas. Tak apa, itu tidak buruk. Justru malah semakin sehat.
"Yah ... ada, sih, ada. Cumanya, gimana, ya? Mungkin belum rezeki kali, Non. Bibi nggak tahu, udah lama soalnya nggak tinggal di sini," sahut Bi Sari sambil beranjak.
Wanita yang tak lagi muda itu berdiri dan bersiap membawa ember berisi air panas ke belakang rumah. Ia menatap Seira dengan senyum tersemat di bibir.
"Non kedinginan, ya? Ayo, mandi. Ini Bibi udah siapin air panasnya buat mandi," ucap Bi Sari menunjukkan air di ember padanya.
"Jadi, itu buat mandi, Bi?"
Bi Sari mengangguk kecil, tangan tuanya masih terlihat kokoh mengangkat ember tersebut dan membawanya ke sumur. Seira menatap takjub wanita paruh baya itu, meski usianya tidak lagi muda ia masih mampu melakukan pekerjaan berat seperti itu.
Ia berbalik dan kembali ke kamar mengambil handuk. Kemudian, kembali dan segera menyusul Bi Sari ke belakang rumah. Keadaan yang temaram tak membuatnya takut sama sekali. Kamar mandi terbuka itu dikelilingi tembok bambu tinggi. Tertutup meski tak ada atap.
Di bawah sana sebuah bak besar telah berisi air hangat untuknya mandi. Bi Sari meninggalkannya dan kembali ke dapur, Seira bersegera membersihkan diri karena memang sejak kemarin ia belum menyiram tubuhnya dengan air.
Hawa dingin yang menusuk tulang segera larut saat air hangat itu mengalir di seluruh tubuh. Meregangkan otot-otot yang kaku, mengendurkan syaraf yang tegang, membuat nyaman dan tenang.
Cukup lama Seira membasuh tubuh, tak ada sabun beraroma bunga, ataupun yang lainnya. Hanya taburan melati yang dipetik Bi Sari dari halaman samping rumahnya. Namun, demikian, sudah cukup baginya untuk menikmati ritual mandi pagi itu. Hingga sampai adzan subuh berkumandang, barulah ia menyudahi kegiatannya.