NovelToon NovelToon
Cahaya Terakhir Senja

Cahaya Terakhir Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Allamanda Cathartica

Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.

Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.

#A Series

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25: Titik Balik Perasaan

Abyan mengantarkan Aletta pulang seperti janjinya. Sepanjang perjalanan, Abyan terus berbicara membuat Aletta tertawa kecil meskipun lelah setelah seharian di sekolah. Tawa mereka sedikit mereda saat hujan gerimis mulai turun, menciptakan aroma khas hujan yang menyegarkan jalanan kota. Akhirnya, mereka tiba di depan pagar rumah Aletta.

Saat Aletta hendak turun dari motor, pintu rumah terbuka perlahan. Sosok seorang wanita paruh baya muncul, menyambut mereka dengan senyum lembut yang menenangkan. Wanita itu mengenakan pakaian santai berupa baju rumah yang rapi, dipadukan dengan syal tipis melingkari lehernya. Dia adalah Viona.

“Aletta? Kok pulangnya bareng temen? Siapa ini?” tanya Viona sambil mendekat dengan senyum ramah, melirik Abyan yang berdiri di dekat motornya.

“Oh, ini Abyan, Bun,” jawab Aletta sambil melepas helmnya dan menyerahkannya kembali kepada Abyan.

Viona mengangguk sambil menatap langit yang mulai gelap. Hujan gerimis perlahan berubah menjadi lebih deras. “Abyan, kan? Kalau gitu, mampir dulu aja, ya. Hujannya makin deras. Tante nggak enak kalau kamu pulang dalam keadaan begini. Nanti malah sakit.”

Abyan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa sedikit canggung. “Wah, nggak usah repot-repot, Tante. Saya pulang aja, nggak apa-apa kok. Hujannya nggak terlalu deras ini.”

Namun, Viona menggeleng dengan tegas. “Nggak, hujan deras gini rawan banget. Lagi musim sakit, Abyan. Mampir dulu sebentar, ya. Tunggu hujannya reda.”

Abyan akhirnya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Ya sudah, kalau Tante nggak keberatan.”

Viona tersenyum hangat lalu mempersilakan Abyan masuk. “Ayo, masuk. Aletta, bawa temanmu ke ruang tamu dulu. Bunda bikin teh hangat, ya.”

“Oke, Bun,” jawab Aletta dengan semangat.

Mereka melangkah masuk ke ruang tamu yang terasa hangat dan nyaman. Ruangan itu dihiasi sofa empuk berwarna abu-abu yang tampak bersih dan terawat dengan meja kayu di depannya yang elegan. Di atas meja, sebuah vas berisi bunga mawar segar menambahkan sentuhan keindahan dan aroma lembut yang menyegarkan. Abyan duduk dengan perlahan. Matanya sesekali menyapu dekorasi sederhana yang penuh kehangatan, mencerminkan suasana kekeluargaan yang erat di rumah tersebut.

“Rumah kamu bagus banget, Let,” komentar Abyan sambil menyandarkan punggungnya ke sofa.

“Ah, biasa aja kok. Nggak sebagus itu,” ujar Aletta sambil tersenyum.

Tidak lama kemudian, Viona datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan beberapa potong kue bolu. Dia meletakkan nampan di atas meja dan duduk di kursi seberang.

“Silakan diminum dulu tehnya, Abyan. Tadi kamu dari mana, ya? Kok bisa sampai nganterin Aletta pulang?” tanya Viona dengan nada hangat sambil menuangkan teh ke cangkir Abyan, gerakannya lembut dan penuh perhatian.

“Oh, tadi saya habis makan sama temen. Nggak sengaja ketemu Aletta di sana. Jadi ya, sekalian nganterin pulang,” jawab Abyan dengan sopan.

Viona tersenyum tipis, tampak puas dengan jawaban Abyan. “Oh, gitu. Makasih banyak, ya, udah nganterin Aletta. Tante senang kalau dia punya teman yang perhatian kayak kamu.”

Abyan hanya mengangguk kecil, merasa sedikit canggung. Kemudian, dia menyesap teh hangat yang dihidangkan. Kehangatan teh perlahan mengusir dingin yang dibawa hujan. Sementara itu, Aletta diam memandangi hujan deras yang turun di luar jendela, tetes-tetesnya menciptakan irama alami di atas atap. Keheningan melingkupi mereka sesaat, hanya diselingi oleh suara gemericik air hujan yang menenangkan suasana.

“Oh iya, Abyan. Kamu kelas berapa, ya? Apa kamu teman satu kelas sama Aletta?” tanya Viona lagi, mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan.

“Iya, Tante. Kami satu kelas,” jawab Abyan singkat sambil tersenyum sopan.

Viona mengangguk-angguk, raut wajahnya tampak terkesan. “Wah, berarti kamu pasti pintar, ya?” ujarnya sambil tersenyum.

Abyan balas tersenyum lalu menggelengkan kepala dengan rendah hati. “Ah, nggak juga, Tante. Saya masih banyak belajar kok.”

Aletta yang sejak tadi memperhatikan, tertawa kecil sebelum menyela. “Abyan ini rendah hati banget, Bun. Tapi sebenarnya dia memang pintar. Dia sering banget bantuin aku kalau ada tugas yang susah,” katanya sambil melirik Abyan seolah mengungkapkan rasa terima kasih tersirat.

Viona tersenyum makin lebar. “Wah, syukurlah kalau begitu. Tante senang Aletta punya teman yang bisa saling membantu seperti kamu.” Suasana di ruang tamu terasa hangat, dipenuhi dengan percakapan yang ringan dan akrab.

Sebelum percakapan mereka berlanjut, suara dering ponsel Abyan tiba-tiba memecah keheningan di ruang tamu. Abyan buru-buru merogoh saku jaketnya dan melihat nama Alfariel tertera di layar.

“Sebentar ya, Tante. Saya izin angkat telepon dulu,” kata Abyan sopan sambil berdiri dan berjalan menuju teras rumah agar tidak mengganggu.

“Halo, Al? Ada apa?” tanya Abyan setelah mengangkat panggilan.

Dari ujung telepon, terdengar suara Alfariel yang bernada datar. “By, lo di mana? Udah sampai rumah belum?”

“Belum, ini lagi di rumah Aletta. Hujan deras banget, jadi disuruh nunggu sampai reda,” jawab Abyan santai sambil sesekali melirik ke langit yang mendung.

Hening sejenak terdengar dari ujung telepon sebelum Alfariel merespons. “Oh, gitu. Ya udah, hati-hati aja. Kalau udah sampai rumah, kabarin gue.”

“Oke, santai aja, Bro. Nggak usah khawatir,” balas Abyan mencoba mencairkan suasana. Dia menutup telepon setelah mengucapkan salam singkat.

Abyan menarik napas pelan, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam nada bicara Alfariel tadi. Namun, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Abyan kembali masuk ke ruang tamu sambil tersenyum tipis, berusaha mengalihkan fokusnya kembali ke percakapan dengan Viona dan Aletta.

Viona menatapnya dengan ramah. “Abyan, hujannya masih lama kayaknya. Kalau kamu mau, istirahat aja dulu di sini.”

Abyan tersenyum, merasa bersyukur atas kebaikan Viona. “Wah, makasih banyak, Tante. Tapi saya nggak apa-apa kok, sebentar lagi juga reda.”

Aletta yang mendengarkan hanya tersenyum kecil. Dia tidak menyangka Abyan dan ibunya bisa begitu akrab dalam waktu singkat. Di balik senyumannya, dia tidak bisa menahan rasa penasaran tentang siapa yang baru saja menelepon Abyan. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang muncul di hatinya.

Hujan mulai reda, meninggalkan jejak genangan air di jalanan. Abyan menghela napas lega saat pamit kepada Viona. “Terima kasih banyak, Tante, untuk teh dan kuenya. Saya pamit dulu, ya.”

“Iya, hati-hati di jalan, Abyan. Kalau kapan-kapan main lagi, Tante pasti akan sangat senang bertemu denganmu,” balas Viona ramah.

Aletta mengantarkan Abyan hingga ke gerbang rumah. Dia tersenyum hangat, meskipun udara dingin setelah hujan masih terasa. “Makasih banget, By, udah nganterin gue. Hati-hati di jalan, ya,” ucap Aletta dengan tulus.

Abyan mengangguk sambil membalas senyumnya. “Sama-sama, Let. Lo juga, istirahat yang cukup,” katanya sebelum menaiki motor. Sebelum benar-benar pergi, dia melambaikan tangan yang segera dibalas oleh Aletta dengan senyuman kecil.

Saat perjalanan pulang, Abyan melintasi rumah Alfariel yang terletak di depan rumah Aletta. Tanpa sengaja, pandangannya terangkat ke arah balkon rumah itu. Di sana berdiri Alfariel yang mengenakan hoodie abu-abu dengan ekspresi datar yang sulit diartikan.

Abyan dengan gerakan santai seperti biasa, melambaikan tangan ke arah temannya. “Al,” panggilnya. Namun, reaksi Alfariel membuatnya tertegun. Tanpa membalas atau mengisyaratkan apapun, Alfariel justru memalingkan wajahnya dan berbalik masuk ke dalam rumah.

Abyan mengerutkan kening, merasa ada yang janggal. “Kenapa dia?” gumamnya, suara pikirannya tertelan oleh suara mesin motornya sendiri. Dia menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran, dan menancap gas lebih cepat meninggalkan rumah Alfariel.

***

Di tempat lain, Alfariel duduk merenung di dekat jendela kamarnya. Matanya kosong, menatap titik tidak tentu di luar sana. Di balik tatapan dinginnya, hatinya penuh gejolak. Dia tidak mengerti perasaan asing yang tiba-tiba muncul setiap kali mendengar nama Abyan atau Aletta.

Ketukan pelan di pintu kamarnya memecah keheningan. Agisha masuk dengan langkah hati-hati. “Kak, masih mikirin hal yang tadi, ya?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.

Alfariel tidak menjawab, hanya menghela napas panjang.

Agisha tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kak, gue ngerti mungkin ini berat buat Kak Ren. Tapi kalau Kak Ren memang suka sama seseorang, kenapa nggak dicoba aja untuk jujur?”

Mata Alfariel beralih ke arah Agisha dengan tatapan tajam. “Kamu nggak ngerti, Ca. Ini nggak semudah itu. Aku nggak bisa ... aku nggak mau.”

“Kak, gue tahu Kak Ren masih sering keinget Mama,” ujar Agisha lembut. “Tapi Kak Ren nggak bisa terus-terusan hidup di masa lalu. Kalau Kak Ren suka sama seseorang, ya coba aja buka hati. Nggak ada salahnya, kok.”

Alfariel menggeleng tegas, memotong pembicaraan adiknya. “Gue nggak mau, Ca. Gue nggak butuh perasaan itu. Kalau gue terikat sama orang lain, gue cuma takut ... kehilangan lagi.”

Agisha terdiam. Dia tahu Alfariel keras kepala, apalagi jika itu menyangkut perasaan. Namun, dia juga tak ingin kakaknya terus hidup dalam bayang-bayang trauma kehilangan.

“Aku cuma mau Kak Ren bahagia,” bisik Agisha sebelum berdiri. Dia melangkah keluar kamar, meninggalkan Alfariel dengan pikirannya sendiri.

Alfariel mengepalkan tangannya erat-erat. Dia merasa dirinya seperti terjebak dalam labirin. Di satu sisi, dia ingin melepaskan beban masa lalu. Namun, di sisi lain, perasaan takut kehilangan lebih kuat dari apapun.

***

Bersambung ….

1
Oryza
/Speechless/
Hindia
nah kan bener ada backingannya
Hindia
pantes aja ya ternyata dia punya backingan
Hindia
sok sok an banget
Hindia
parah banget mita
Hindia
sumpah bu tya ini sangat mencurigakan
Hindia
lah berarti selama ini alfariel ngode gak sihh kalau emang ekskul tari itu ada sesuatu
Hindia
Alurnya ringan, sejauh ini bagusss
Hindia
Walahhh alfariel mah denial mulu kerjaannya
Hindia
Gass terus abyan
Hindia
Tumben banget nih si Fariz agak bener otaknya
Gisala Rina
🤣🤣
Gisala Rina
udah lupa ajah nih anak 🤣🤣
Gisala Rina
mungkin ada alasan yang bikin papa lu ga bicara jujur.
Gisala Rina
jangan gitu. begitu juga itu papa lu alfariel 🤬
Gisala Rina
mang eak mang eak mang eak sipaling manusia tampan 1 sekolah 😭
Gisala Rina
cowok bisa ngambek juga yaa ternyata hahaha
Gisala Rina
Kwkwkwkwk kalian kok lucu
Gea nila
mending kamu fokus ajah alfariel. emang sih bakal susah. tapi ya gimana lagi 😭
Gea nila
wkkwkwk sabar ya nasib jadi tampan ya gitu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!