Dicintai Manager yang dingin secara tiba-tiba padahal tidak mau buka hati buat siapa pun? Lalu dihantui oleh teror masa lalu sang kakak, bagaimana perasaan Ayuni selama bekerja di tempat barunya? Terlebih ternyata Manager yang perhatian dengan Ayuni memiliki rahasia besar yang membuat Ayuni hancur saat gadis itu telah memberikan hatinya. Bahkan beberapa teror dan hal tidak terduga dari masa lalu yang tidak diketahui terus berdatangan untuk Ayuni.
Kira-kira bagaimana Ayuni akan menghadapi semua itu? Dan masa lalu apa yang membuat Ayuni di teror di tempat kerjanya? Apa ada hubungannya dengan sang kakak?
Ikuti ceritanya untuk temukan jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. KHAWATIR?
..."Kapan semua akan berakhir?...
...Layaknya rembang petang digantikan malam...
...Seperti cair es di musim semi...
...Kapan akan berakhir?...
...Bukankah sandiwaramu telah usai?...
...Jadi, kembalilah bersama hangatnya netra hitam itu."...
Pekerjaanku luar biasa banyak setelah makan siang. Aku harus pergi ke sana dan ke sini demi menyelesaikan satu pekerjaan sebelum mengerjakan pekerjaan lain yang sudah menunggu. Beberapa orang seperti Mbak Dewi dan Bobby meminta bantuanku untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, hingga membuatku tidak ada kata istirahat sama sekali. Namun herannya aku menikmati semua itu, rasanya seolah apa yang kutakutkan pagi tadi benar-benar teralihkan. Walau harus kuakui seluruh tubuhku rasanya remuk, bahkan aku bisa merasakan lelah dan mengantuk mulai menyerang. Aku butuh istirahat!
Kuambil napas panjang-panjang sebelum masuk ke ruangan Bos Juna untuk memberikan berkas sekaligus surat yang datang untuknya. Jika bukan karena Mbak Dewi yang menyuruhku, aku tidak ingin menginjakkan kaki ke sarang macan seperti ini.
“Maaf, Bos. Ini berkas yang Anda minta dari Mbak Dewi dan surat yang baru sampai,” kataku langsung begitu masuk ke ruangan, tak ingin berbasa-basi.
Bukannya menjawab, Bos Juna justru memandangku dengan tatapan yang tidak kumengerti. Jangan katakan kalau ia ingin memarahiku lagi atau melemparkan ucapan tak menyenangkan seperti pagi tadi.
“Bos?” panggilku ketika ia masih terus memandangiku.
“Taruh saja,” katanya dengan nada dingin sebelum beralih lagi dengan berkas yang sempat ia perhatikan saat aku masuk.
Kutaruh apa yang ada di tanganku seperti yang ia katakan.
"Ayuni?" panggilnya dengan nada lembut yang mengejutkanku saat mendengarnya. Bersikeras kalau aku salah dengar karena terlalu banyak pikiran.
"Ya, Bos?" sahutku.
"Katakan apa yang terjadi sama kamu pagi tadi? Kenapa kau ketakutan kayak gitu kayak ngeliat hantu?" tanyanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya, membuatku tidak bisa mengatakan kalau aku salah dengar.
"Bukan apa-apa, Bos. Hanya masalah kecil," jawabku singkat.
"Saya tahu kalau ada yang terjadi, kan? Tolong kasih tahu saya ada apa, seharian ini kamu juga keliatan nggak tenang," tanyanya dengan nada terdengar memohon.
Aku menatap lurus Bos Juna. Mencari tahu apa yang dipikirkannya lewat netra dibalik kaca mata berbingkai hitam itu. Yang kutangkap hanya satu hal, tapi aku tidak mau mengakuinya. Tidak walau itu benar sekali pun.
"Ayuni? Nggak perlu runtut, kasih tahu saja bahkan jika itu satu kata sekali pun," pintanya lagi, membuatku berpikir kenapa tiba-tiba ia seperti ini.
"Kenapa Anda jadi peduli dengan apa yang terjadi sama saya?" tukasku.
Bisa kulihat dahinya mengerut dalam, sepertinya tidak suka dengan apa yang kukatakan barusan. Apakah terlalu kasar?
"Setelah melihat kamu ketakutan setengah mati pagi tadi, apa kamu pikir nggak buat saya penasaran?" ucapnya, namun mengalihkan pandangannya ke dari mataku.
"Kalau hanya sekedar penasaran sepertinya tidak perlu tahu banyak. Anggap saja saya habis melihat hantu pagi tadi." Aku bahkan bisa merasakan betapa dingin ucapanku sendiri sekarang terhadapnya.
Kali ini Bos Juna terdiam. Seolah menahan diri untuk bertanya lebih.
"Kalau begitu kamu bisa kembali ke meja kamu," suruhnya.
Lagi-lagi aku mendapati ekspresi yang tak ingin kuakui dari paras Bos Juna. Namun hal itu membuatku bertanya-tanya kenapa ia memasang air muka tersebut. Sayangnya aku terlalu enggan untuk bertanya langsung. Karena aku tidak ingin berasumi dari sesuatu yang tidak jelas.
Kenapa dia terlihat begitu khawatir? batinku seraya melangkah pergi meninggalkan ruangannya tanpa banyak bicara.
Begitu aku kembali ke mejaku, tatapanku terarah pada Andre yang memegang ponselku. Tatapannya menajam, tak berubah bahkan ketika ia melihatku mendekat.
“Sejak kapan lo dapet pesan kayak gini?” tanya Andre seraya menunjukan pesan masuk yang belum kulihat begitu aku berdiri tak jauh darinya sekarang.
Tatapan tajam Andre membuatku tidak bisa berbohong, “Sejak gue masuk kerja lagi abis dipecat kemaren.”
“Lo diteror selama dua minggu ini dan lo diem aja? Ada penguntit yang ngikutin lo, Ayuni. Kenapa nggak lo lapor polisi atau seenggaknya bilang ke gue? Lo mau kejadian kemaren keulang lagi?” katanya dengan raut marah.
Aku hanya diam mendengar nada suaranya yang tinggi, beruntung ruangan hanya kami berdua setelah terakhir Mbak Dewi pergi ke ruang pemotretan.
“Ayuni? Kapan kamu mulai diikutin,” Andre mulai memelankan suaranya, sadar kalau nada tinggi yang ia keluarkan membuatku tak nyaman.
“Aku baru tahu pagi tadi, saat nggak sengaja sadar kalau ada yang ngikutin,” jawabku jujur.
“Darimana sampe mana dia ngikutin kamu?” Rasanya seolah Andre sedang menginterogasiku sekarang.
“Mungkin dari rumah sampe depan kantor,” jawabku lagi tanpa ada niat untuk berbohong.
“Apa Juna yang ngelakuin hal ini?” tanyanya dengan wajah yang semakin terlihat garang.
“Bukan, orang lain.”
Andre menghela napas panjang, untuk beberapa saat ia tidak bicara sama sekali. Entah apa yang ia pikirkan, wajahnya terlihat begitu serius. Tampaknya sedang mendinginkan hatinya dari amarah setelah membaca semua pesan berisikan teror tersebut.
Aku tidak terkejut jika Andre sampai marah melihat semua pesan-pesan teror yang masuk di ponselku itu. Aku saja sampai ketakutan setengah mati sejak mendapatkan pesan itu dari pertama kali, tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk mencegahnya.
“Pokoknya lo jangan kemana-mana sendirian. Pulang pergi dari kantor lo harus bareng sama dua teman lo itu. Kalau ada kerjaan yang mengharuskan lo keluar kantor, lo bisa ajak gue atau ajak Bobby, ngerti,” perintah Andre yang memandangku serius.
Tentu saja aku mengangguk, aku tidak punya nyali untuk kemana-mana seorang diri saat keadaanku saja sudah rumit seperti ini. Aku tidak segila itu sampai membiarkan diriku masuk dalam jeratan penguntit atau siapa pun yang sedang menerorku.
“Kalau ada apa-apa lo telepon aja gue, mau itu tengah malem sekalipun nggak masalah. Jangan lupa kasih tahu masalah ini sama temen-teman lo bahkan kalau bisa sama kakak lo juga,” suruhnya.
“Akan kuusahakan. Makasih,” ucapku tulus.
“Heh? Cuma makasih aja? Seengaknya beliin kakak lo ini makanan, tadi gue liat ada menu baru di cafe depan,” ujarnya dengan senyum lebar yang entah sejak kapan sudah merekah di wajahnya seakan wajah serius yang kulihat tadi hanya halusinasi.
“Arh! Lo ini bipolar atau apa, sih?! Padahal tadi lagi serius!” gerutuku yang tidak mengerti dengan segala perubahan sikap Andre dalam hitungan detik seperti ini.
“Kalau aku terlalu serius nanti kamu jatuh cinta lagi,” katanya dengan pandangan hangat. Mengelus kepalaku sebentar sebelum akhirnya pergi meninggalkanku yang masih terpaku akan ucapannya barusan.
“Dasar,” gumamku saat merasa darah di wajahku seolah mendidih.
"Mbak Ayuni?"
Aku menatap ke arah sumber suara orang yang memanggilku, mendapati kalau Putra dari Tim Perlengkapan berdiri di pintu ruangan.
"Ada apa, Put?" tanyaku penasaran.
"Dipanggil Mbak Dwi ke ruang pemotretan," katanya.
"Oh, oke, saya ke sana sekarang," kataku yang langsung mengambil ponsel dan berjalan menuju ruang pemotretan bersama Putra.
Pria itu berjalan di sampingku dengan beberapa barang di tangan. Sepertinya kebutuhan pemotretan. Setelah berjalan bersama seperti ini aku baru sadar, kalau pria yang dua tahun lebih muda dariku itu ternyata jauh lebih tinggi dari pada aku. Kurasa tingginya sama seperti Andre yang jangkung itu. Mengejutkan rasanya bagaimana orang-orang di sekitarku bertubuh tinggi semua termasuk Rini dan DIni. Menyebalkan lebih tepatnya.
"Ada apa, Mbak? Keliatannya lagi mikirin sesuatu yang nggak enak," tanyanya yang mungkin melihat gelagat tak jelasku sejak tadi.
"Ah, bukan apa-apa, hanya pekerjaan yang belum selesai aja," dustaku, tak ingin ia mendengar gerutuanku tentang tinggi badan.
"Kirain lagi ada masalah." katanya dengan senyum lembut mengembang di paras pria itu.
"Aman aja kok saya," ucapku seraya merekahkan senyum juga agar terlihat meyakinkan kalau aku memang dalam keadaan baik. Walau sepenuhnya benar.
Kuhabiskan waktu lebih banyak di ruang pemotretan dengan membantu Mbak Dewi dan beberapa karyawan lainnya. Ada begitu banyak hal yang harus dipotret. Baik model, pakaian, produk, dan lain sebagainya. Dan kali Putra-lah yang membelikan kopi dan membagikannya ke orang-orang di ruangan. Dalam hati berterima kasih untuk hal itu, karena aku masih merasa tidak nyaman kopi dan ruangan ini setelah kejadian memalukan terakhir kali.
Setelah semua pekerjaan selesai, seperti yang Andre suruh, aku pulang dan pergi bersama dengan Dini dan Rini, tak peduli jika jadwal kami tak sama. Aku pun tak mengambil pekerjaan yang berhubungan dengan luar kantor selama beberapa hari ini, menetap dalam gedung untuk menghindari hal yang tak inginkan terjadi.