Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- 24 Jam
Kegelapan malam kembali menyelimuti Kota Bandung. Di sebuah rumah sederhana, suasana tegang terasa di antara Pak Budi, Ibu Ani, dan Lusi. Pak Budi mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Ia terlihat sangat panik. Hutang kepada Rangga semakin membengkak, batas waktu yang diberikan semakin dekat, dan ia masih belum menemukan solusi.
Ia telah mencoba meminjam uang dari semua teman dekatnya, namun semuanya menolak. Ia merasa semakin terpojok dan sendirian. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa telah sampai pada titik terendah dalam hidupnya. Pikirannya kacau, dipenuhi oleh rasa takut dan keputusasaan.
Ibu Ani memperhatikan suaminya dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu bahwa Pak Budi sedang mengalami masalah yang sangat besar. Ia mencoba untuk menenangkan suaminya, namun ia juga merasa sangat cemas. Ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini.
"Budi, katakan padaku apa yang terjadi. Jangan menyembunyikannya dariku," kata Ibu Ani, suaranya lembut namun tegas. Ia menatap suaminya dengan mata yang penuh keprihatinan.
Pak Budi menghela napas panjang. Ia duduk di sofa, menatap lantai. Ia merasa sangat lelah dan putus asa. Ia menceritakan semuanya kepada Ibu Ani; tentang kerugian besar dalam bisnisnya, tentang hutangnya kepada Rangga, dan tentang penolakan dari teman-temannya.
Ibu Ani mendengarkan dengan sabar. Ia mencoba untuk menenangkan suaminya, memberikan dukungan dan semangat. Namun, ia juga merasa sangat khawatir. Ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini.
"Kita harus mencari solusi, Budi. Kita tidak boleh menyerah," kata Ibu Ani, suaranya penuh keyakinan. Ia mencoba untuk tetap tegar, untuk tetap memberikan semangat kepada suaminya.
Pak Budi dan Ibu Ani terlibat dalam perdebatan panjang mengenai bagaimana cara mengatasi masalah keuangan mereka. Mereka membahas berbagai kemungkinan, dari menjual beberapa aset hingga meminta bantuan keluarga. Namun, semua solusi tersebut memiliki kekurangan dan hambatan. Mereka merasa semakin frustasi dan putus asa.
Lusi, yang selama ini memperhatikan orang tuanya dari kejauhan, mulai curiga. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh orang tuanya. Ia melihat ayahnya sering murung dan ibunya terlihat khawatir. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Ia mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ia memeriksa dokumen-dokumen di meja kerja ayahnya, mencari petunjuk tentang masalah keuangan keluarga. Ia menemukan beberapa laporan keuangan yang menunjukkan angka-angka merah yang menyayat hati. Ia juga menemukan beberapa pesan singkat yang mengindikasikan hutang yang besar kepada Rangga.
Lusi merasa sangat terkejut dan khawatir. Ia tidak menyangka bahwa keluarganya sedang mengalami masalah keuangan yang begitu besar. Ia merasa harus membantu orang tuanya mengatasi masalah ini. Ia bertekad untuk mencari solusi, untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran.
Di tengah keputusasaan Pak Budi, telepon berdering nyaring. Nomor yang tidak dikenal terpampang di layar. Pak Budi ragu untuk mengangkatnya, namun ia akhirnya mengangkat telepon tersebut.
"Pak Budi? Saya Rangga," suara di seberang terdengar dingin dan tegas. Rangga menuntut pembayaran segera. Ia memberikan ultimatum; jika hutang tidak dilunasi dalam waktu 24 jam, ia akan mengambil tindakan hukum.
Pak Budi menutup telepon dengan wajah pucat pasi. Ia merasa semakin terpojok dan tak berdaya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa telah sampai pada titik terendah dalam hidupnya. Kegelapan malam semakin terasa mencekam, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti keluarganya. Lusi, yang menyaksikan semua ini, bertekad untuk membantu orang tuanya melewati masa sulit ini.