NovelToon NovelToon
Filsafat Vs Sains

Filsafat Vs Sains

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Arifu

Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Filsafat & Fisika

Siang itu, suasana kantin fakultas lumayan ramai. Joko, mahasiswa jurusan Filsafat yang dikenal paling anti ribet, duduk sendirian di pojokan. Di depannya ada kopi hitam dan buku filsafat tebal yang kelihatan tua banget. Tapi Joko? Santai, duduk sambil scroll-scroll HP, seolah buku itu cuma pajangan.

Baru aja Joko mau minum kopinya, tiba-tiba—brak!

Seorang cewek nyeruduk meja Joko. Kopinya nyaris tumpah, tapi refleks Joko cepet. Dia sigap nyelamatin cangkirnya kayak pemain bola nyelamatin bola dari out.

“Eh, buset! Ngapain sih lu? Lari-larian aja kayak kampus ini sirkuit!” Joko mendelik.

Cewek itu canggung, kelihatan panik banget. Rambutnya berantakan, tasnya hampir jatuh, tapi dia buru-buru berdiri tegak dan nyengir. “Aduh, maaf banget. Gue nggak sengaja.”

Joko narik napas panjang, berusaha sabar. “Ya udah, nggak apa-apa. Tapi lain kali hati-hati, ya.”

Cewek itu malah nggak pergi. Sebaliknya, dia malah ngeliatin buku di meja Joko sambil senyum iseng. “Lu anak Filsafat, ya?”

Joko ngangkat alis. “Kelihatan banget, ya?”

“Ya kelihatan lah.” Cewek itu nyengir lebar. “Jarang-jarang gue liat orang nongkrong bawa buku setebel itu. Kalau bukan anak Filsafat, pasti anak Sastra.”

Joko senyum tipis. “Gue Filsafat. Kenapa?”

Cewek itu naruh tasnya di kursi seberang. “Gue Vina, anak Fisika. Lagi pusing banget sama tugas teori gravitasi. Gue pengen tau, menurut Filsafat, gravitasi tuh apaan?”

Joko mendelik. “Gravitasi? Lu nanya filsafat buat hal kayak gitu? Bukannya Fisika ada rumus-rumusnya?”

“Ya iya, tapi kan gue penasaran aja,” kata Vina sambil nyengir lagi. “Filsafat kan suka mikir yang dalem-dalem. Kali aja lu punya jawaban beda soal gravitasi.”

Joko menggeleng pelan. “Fisika itu soal fakta, Vin. Gravitasi tuh ada karena hukum alam, titik. Itu nggak butuh pemikiran yang ribet.”

Vina ketawa kecil. “Ah, lu kayaknya kaku banget. Gravitasi itu kan nggak cuma soal benda jatuh. Itu juga soal apa yang bikin benda bisa jatuh. Kalau Filsafat, gue yakin lu pasti mikir lebih dari itu.”

Joko nyender di kursi, tatapannya lempeng. “Filsafat itu mikir soal yang lebih gede dari gravitasi. Kayak... eksistensi atau realitas. Gravitasi itu terlalu kecil buat kita bahas.”

“Terlalu kecil?” Vina mengangkat alis. “Wah, sombong amat. Gravitasi itu alasan kenapa kita nggak melayang di udara, lho. Masa nggak penting?”

Joko ngangkat bahu. “Penting sih, tapi nggak ada yang bisa disimpulin selain fakta ilmiahnya. Lu tinggal pake rumus, selesai.”

“Rumus nggak selalu bikin semuanya jelas,” balas Vina. “Lu tuh terlalu mikir logis. Coba pake hati dikit.”

“Hati?” Joko nyengir sinis. “Lu pikir hidup ini sinetron? Filsafat nggak pake hati. Kita pake logika.”

Vina nggak nyerah. Dia majuin badannya, tatapannya serius tapi santai. “Tapi logika aja nggak cukup, Jok. Kalau semua cuma pake logika, dunia bakal kaku. Kadang lu butuh intuisi buat nemuin jawaban yang nggak ada di buku.”

Joko ngehela napas, ngerasa mulai masuk ke perdebatan yang nggak bakal ada ujungnya. “Gue tau lu anak Fisika, tapi serius deh. Hidup tuh lebih jelas kalau ada hitungannya. Kalau cuma ngandelin intuisi, itu bukan sains. Itu tebak-tebakan.”

Vina tersenyum tipis, tapi matanya penuh tantangan. “Lu boleh ngomong gitu, tapi suatu saat gue yakin lu bakal ngerti kenapa intuisi itu penting.”

“Ya, kita liat aja,” jawab Joko sambil minum kopinya yang udah dingin.

Vina berdiri sambil ambil tasnya, tapi sebelum pergi, dia sempet ngeliatin Joko lagi. “Oh iya, kita pasti ketemu lagi. Gue nggak akan nyerah sampe lu ngerti.”

Joko cuma nggeleng sambil ketawa kecil. “Terserah lu lah.”

Dan begitulah, perdebatan pertama mereka dimulai. Joko nggak tahu kalau cewek itu bakal terus muncul di hidupnya, mengusik pikirannya, dan mungkin... bikin dia berubah.

Minggu berikutnya, Joko baru aja keluar dari ruang kelas setelah dosennya membahas metafisika eksistensial. Pelajaran itu berat, bikin kepala cenut-cenut. Dengan langkah santai, dia menuju taman kampus buat ngadem sambil baca buku.

Tapi sial, baru aja mau buka halaman pertama, sosok yang nggak asing lagi tiba-tiba nongol.

“Eh, Joko! Gue bilang juga apa, kita ketemu lagi,” sapa Vina dengan semangat sambil menjatuhkan diri di kursi sebelah Joko tanpa diundang.

Joko cuma melirik malas. “Ngapain lu di sini? Kampus Fisika kan jauh.”

“Lagi ada penelitian bareng dosen di lab ini,” jawab Vina santai. “Tapi gue liat lu dari jauh, jadi gue samperin. Lagi baca apaan?”

Joko mendesah, jelas nggak antusias. “Nietzsche.”

“Nietzsche?” Vina mengernyit. “Bukan yang ngomong ‘Tuhan sudah mati’ itu, kan?”

Joko tersenyum sinis. “Ya. Tapi dia bukan cuma ngomong gitu doang. Filosofinya lebih dalem.”

Vina nyengir. “Dalem? Kayak laut gitu maksudnya?”

“Dalem kayak... cara dia lihat dunia ini absurd, tapi manusia tetep cari arti hidup,” jelas Joko dengan nada lelah.

“Tuh kan, lagi-lagi soal arti hidup,” balas Vina sambil menyilangkan tangan. “Lu Filsafat kok kayak nggak ada kerjaan lain selain mikir yang berat-berat.”

“Emang hidup itu berat,” jawab Joko singkat.

Vina ngakak kecil. “Hidup itu nggak serumit yang lu pikirin, Jok. Kadang, yang lu butuhin cuma persamaan sederhana buat ngerti sesuatu.”

Joko memutar bola mata. “Oh, jadi menurut lu Fisika punya jawaban buat semuanya?”

“Jelas!” kata Vina dengan percaya diri. “Fisika itu dasar dari segala sesuatu. Semua hal di dunia ini, dari yang lu lihat sampai yang nggak lu lihat, bisa dijelasin sama Fisika.”

Joko tersenyum miring. “Oke, coba jelasin cinta pake Fisika. Gimana tuh?”

Vina terdiam beberapa detik, tapi kemudian tersenyum licik. “Mudah. Cinta itu energi. Dan sesuai hukum kekekalan energi, cinta nggak bisa diciptain atau dimusnahkan. Itu cuma berubah bentuk.”

Joko tercengang sebentar, tapi nggak mau kalah. “Energi itu nggak punya rasa. Cinta itu bukan cuma energi, tapi juga emosi. Fisika nggak bisa ngukur emosi, Vin.”

“Emosi bisa dijelasin lewat gelombang otak dan reaksi kimia tubuh,” balas Vina dengan percaya diri. “Lu sedih, seneng, marah, itu semua reaksi di otak. Fisika dan kimia kerjasama buat ngatur itu.”

Joko nyender di bangku, berusaha keliatan santai meski agak jengkel. “Dan itu semua cuma penjelasan mekanis. Filsafat mikir lebih dalam, Vin. Kita nggak cuma nanya ‘gimana’, tapi juga ‘kenapa’.”

Vina mendengus pelan. “Yaelah, Jok. Kadang lu terlalu ribet sendiri. ‘Kenapa’ itu sering nggak penting. Yang penting ‘apa’ dan ‘gimana’. Itu lebih praktis.”

“Praktis?” Joko terkekeh kecil. “Makanya, lu anak Fisika suka males mikir dalem. Yang penting bisa dijelasin pake angka, selesai.”

Vina menunjuk Joko dengan senyum lebar. “Tapi angka itu nggak pernah salah, Jok. Fisika itu pasti. Lu Filsafat malah penuh spekulasi.”

Joko tertawa kecil, tapi nggak menahan sarkasme. “Iya, angka lu nggak pernah salah. Tapi inget, Vin, angka cuma alat. Kalau manusianya nggak ngerti konteks, angka nggak ada gunanya.”

Mata Vina berbinar. Dia suka banget kalau Joko terpancing kayak gini. “Wah, makin seru, nih. Jok, gue suka cara mikir lu, walaupun gue tetep nggak setuju.”

Joko mendengus sambil melipat buku di pangkuannya. “Ya, gue juga nggak nyuruh lu setuju.”

Vina berdiri sambil nenteng tasnya, tapi sebelum pergi, dia menunjuk Joko dengan gaya seperti dosen ngajarin mahasiswa. “Santai, Jok. Gue bakal buktikan suatu saat, Fisika bisa ngalahin semua teori Filsafat lu.”

“Good luck,” balas Joko sambil melambaikan tangan cuek.

Setelah Vina pergi, Joko tersenyum kecil sambil menggeleng. “Cewek aneh.”

Tapi jauh di dalam pikirannya, Joko tahu kalau perdebatan ini belum selesai. Dan, anehnya, dia malah nggak sabar nunggu ronde berikutnya.

1
Arifu
Filsafat vs Sains.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!