Raisa, seorang gadis berparas cantik, adalah primadona desa yang hidup dalam kesederhanaan bersama ayahnya. Kehidupannya yang bahagia berubah drastis ketika suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil pada awal pernikahan mereka. Raisa terpaksa harus menjanda dan menghadapi tantangan hidup yang lebih besar.
Di desa kecil mereka, di mana kabar berita menyebar dengan cepat, gosip dan fitnahan dari masyarakat selalu menghampiri Raisa. Kehadirannya yang sebagai pengantin baru dan langsung ditinggalkan oleh suaminya yang meninggal membuatnya menjadi sasaran ejekan dan celaan. Dia merasa terisolasi dan terpinggirkan.
Namun, Raisa adalah seorang wanita yang kuat dan tegar. Dia tidak menyerah pada keadaan dan bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari penderitaan yang menimpanya.
Bagaimana kisah Raisa dalam menjalani kehidupannya? Ikuti ceritanya di novel yang berjudul "Janda Tapi Perawan Tulen"
Jangan lupa kasih like, subcribe, vote rate 5...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25 - Belum nyadar juga
Pagi-pagi sekali, Raisa bangun dan berniat melakukan sesuatu untuk membantu Radit yang sedang dalam pemulihan setelah mengalami luka bakar akibat tersiram air panas.
Dia ingin memberikan perhatian khusus kepada Radit sebagai bentuk terima kasih atas perawatan yang telah diberikan kepada ayahnya selama ini.
Raisa segera bergegas ke dapur dan mulai memasak bubur. Dia memilih bahan-bahan yang sehat dan bergizi agar bisa membantu mempercepat proses penyembuhan Radit.
"Sepertinya sudah matang dan siap."
Setelah bubur matang dan terlihat lezat, Raisa menyiapkannya dalam sebuah mangkuk dan memastikan suhu bubur sudah cukup hangat. Dia memasukkannya ke dalam tas termos untuk menjaga kehangatannya selama perjalanan menuju rumah Radit.
Raisa memilih pakaian yang nyaman dan praktis, kemudian mengambil termos dan segera melangkah ke luar rumah. "Ayah..., Ica pergi dulu ke rumah Radit ya... Gak lama kok!," ucap Raisa seraya berteriak namun tidak ada sahutan dari ayahnya yang tidak ia ketahui jika ayahnya itu sudah pergi ke ladang.
Udara pagi terasa segar, dan semangat Raisa semakin membara karena tujuannya yang mulia. Dia berjalan dengan cepat menuju rumah Radit, hatinya penuh dengan harap dan doa agar Radit segera pulih sepenuhnya.
Sesampainya di depan rumah Radit, Raisa mengetuk pintu dengan lembut. Radit membuka pintu dengan wajah yang masih mencerminkan rasa sakit dan ketidaknyamanan akibat luka bakarnya.
Namun, senyum lembut muncul di wajahnya saat melihat Raisa dengan termos di tangannya. "Raisa?."
"Radit, bagaimana lukamu? Sudah lebih baik?."
"Oh masih terasa sakit, ayo masuk."
"Kamu sudah sarapan? Aku bawakan bubur untukmu," kata Raisa sambil melangkah masuk rumah.
Radit terharu mendengar kata-kata Raisa dan melihat kebaikan hatinya. Dia merasa dihargai dan terbantu dalam proses penyembuhannya. Lalu Raisa menyerahkan termos berisi bubur kepada Radit dengan perhatian.
Kini keduanya duduk di ruang tamu, sambil menikmati kehangatan bubur yang disajikan oleh Raisa. Mereka berbicara dengan akrab, saling berbagi cerita, dan terkadang hanya menikmati keheningan di antara mereka.
"Apa tidak sebaiknya kamu ke rumah sakit saja?," tanya Raisa khawatir.
"Tidak perlu, lukanya sudah mulai kering... Sebentar lagi juga sembuh, itu karena kamu yang segera merawat lukaku, terima kasih Raisa."
"Tidak masalah."
Sambil mengobrol, Raisa juga memperhatikan kondisi luka bakar Radit. Dia memastikan bahwa perawatan yang diberikan telah sesuai dengan anjuran dokter.
Raisa memberikan beberapa saran tentang perawatan kulit dan memberikan semangat kepada Radit agar tetap tabah dalam menghadapi proses penyembuhan.
"Raisa, kamu tidak akan pergi ke kota lagi kan?." Raisa terdiam sejenak dan menjawab, "Setelah ayah sembuh total, aku berencana pergi ke kota lagi, keluarga tempatku bekerja, mereka adalah orang-orang yang baik dan berharap agar aku kembali bekerja lagi disana."
Mendengar hal itu Radit merasa kesal dan mencoba menenangkan diri lalu berkata, "Raisa, bisakah kamu tetap disini saja? Bersamaku?... Maksudku, tinggal bersama ayahmu dan tidak meninggalkannya?."
"Radit, meskipun kampung ini tanah kelahiranku dan tempat aku di besarkan yang sangat aku cintai... Tapi aku merasa jika saat ini aku harus pergi dari kampungku, aku harus mencari jati diriku dan melanjutkan hidup."
"Kalau begitu, ikutlah denganku dan hidup bersamaku... Aku akan selalu ada di samping dan melindungimu."
"Apa maksudmu Radit?."
"Raisa, aku rasa, aku tidak perlu menyembunyikan hal ini lagi darimu... Aku menyukaimu bahkan aku sangat mencintaimu, aku ingin menikah denganmu."
Raisa merasa terkejut saat mendengar pernyataan Radit yang tiada pernah dia duga sama sekali. "A ha ha ha ha ha...." Raisa pun tertawa karena merasa lucu dan tidak menganggapnya dengan serius.
Melihat ekspresi Raisa yang seolah tidak percaya padanya, Radit meraih tangan Raisa lalu memegangi pundak Raisa sehingga gadis di hadapannya itu terdiam dan terpaku karena melihat sorot mata Radit yang serius.
"Aku serius Raisa."
.....
.....
Setelah hening sejenak, Raisa merasa gelagapan dan mengipas ngipaskan tangannya karena merasa kepanasan. Gerakannya yang aktif membuat tangan Radit terlepas darinya dan mundur beberapa langkah dari Radit.
"Panas sekali, aku akan ambil minum," kata Raisa sambil beranjak menuju dapur. Radit pun tersenyum karena senang dengan sikap Raisa yang salah tingkah di hadapannya. Jelas-jelas air minum ada di meja hadapan mereka tapi Raisa mencari alasan untuk menyembunyikan rasa malu ya, sangkaan Radit.
"Ada apa dengan Radit? Apa dia salah makan obat?," gumam Raisa. "Huh! Kenapa gerah sekali...."
Tidak lama kemudian, Raisa keluar dari dapur dan hendak berpamitan pada Radit sambil melangkah menuju pintu. Namun, Radit segera meraih tangan Raisa dan bertanya apakah Raisa akan menerima cintanya.
Perlahan Raisa melepaskan tangan Radit dan mencoba bicara baik-baik. "Radit, untuk saat ini, aku belum memikirkan tentang cinta ataupun pernikahan... Kamu tau sendiri, aku baru menjanda beberapa bulan ini... dan aku rasa, aku belum siap menerima orang lain di hati dan kehidupanku."
Radit mencoba menahan rasa kesalnya karena penolakan dari Raisa. Lalu ia pun tersenyum dan mengatakan untuk saat ini tidak masalah. "Aku akan menunggu sampai kamu siap."
"Radit, kamu jangan seperti itu... Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu, entah sampai kapan, atau bahkan mungkin aku tidak akan pernah membuka hatiku lagi untuk seorang laki-laki."
"Raisa~...."
"Radit, aku sangat menghargai pertemanan kita, dan aku sangat berterima kasih karena selama ini kamu sudah baik pada ayahku, hanya itu yang bisa aku katakan."
Setelah berkata demikian, Raisa pun segera keluar dari rumah Radit dengan perasaan sedikit tidak nyaman karena penolakannya yang sangat jelas. Apalagi saat melihat ekspresi Radit yang seakan tidak mempercayai dengan penolakan Raisa.
Radit merasa kesal dan meremas tangannya tapi seketika memekik saat ia merasakan perih di tangannya. "Aku pasti akan mendapatkanmu Raisa!."
Tiga hari kemudian, setelah pertemuan terakhir Raisa dan Radit di rumahnya, sampai saat ini mereka belum bertemu lagi. Hingga pada hari ini Radit berkunjung ke rumah Raisa karena ingin bertemu dengan gadis incarannya itu.
Namun ketika Radit sampai rumah Raisa, ia di kejutkan oleh Raisa yang sedang berkemas dan hendak pergi ke kota lagi. Tanpa ragu Radit segera menghampiri Raisa yang berkutat di kamarnya tanpa menghiraukan ayah Raisa yang menyapanya.
"Raisa, kamu mau kemana?."
"Radit? Kamu sedang apa?," tanya Raisa yang menoleh ke arah Radit keheranan.
"Aku bertanya padamu, kami mau kemana?."
"Aku akan ke kota lagi, kamu sudah tau itu kan?... Lagi pula ini kamarku Radit, tidak sepantasnya kamu ada di dalam sini."
Radit menelan salivanya dengan susah payah dan mencoba renang. "Maaf, tadi aku hanya reflek saja karena kita sudah lama tidak bertemu."
Percakapan Raisa dan Radit di dalam kamar itu terlihat oleh ayahnya Raisa yang juga merasa keheranan dengan sikap Radit yang tiba-tiba saja berubah menjadi agresif. "Radit, lebih baik kita bicara di ruang tamu saja, mari...," ajak Roni, Ayahnya Raisa.
Setelah mereka duduk bersama, Ayah Raisa pun memberi penjelasan yang panjang lebar pada Radit tentang situasi Raisa di kampung tersebut dan merasa lebih baik Raisa tidak seharusnya tinggal disana.
Masih dalam pembicaraan antara Radit dan ayah Raisa, ayahnya itu memberi nasihat pada laki-laki yang sudah dia duga menyukai putrinya itu jika jodoh itu ada di tangan Tuhan, jika mereka berjodoh maka kemanapun Raisa pergi maka mereka akan tetap bersatu.
Merasa jika memperpanjang bahasan itu akan membuat durasi berbincang menjadi lama, Radit pun hanya mengiyakan saja dan tidak membuang-buang waktu untuk berdekatan dengan Raisa dengan menawarkannnya tumpangan.
Pada awalnya Raisa menolak tawaran Radit namun saat Radit berkata jika ia tidak menerima penolakan maka seketika itu Raisa teringat kepada seseorang yang sering berkata seperti itu.
Kepada siapa ya??? He he he... Pasti readers sudah tau 😍
gampang cari yg tajir ,novel smuanya gini
karakter raisa terlalu lemah,
smoga raisa jd wanita yg smart
semoga hari2 kalian bahagia 🤲💪 semangat y untuk authornya 😘😘😍