"Aku akan selalu di sisimu"
Benjamin Paul, seorang remaja berusia 17 tahun yang memilih untuk kembali ke kota kecil di Alaska tempat ia lahir. 5 tahun lalu ayah dan ibunya bercerai, lalu ia tinggal di Chicago bersama ibu dan ayah sambungnya. Di usia 17 tahunnya itu, ia memilih kembali ke Sitka, kota kecil di Alaska.
Sesaat ia kembali, tidak ada hal aneh. Sampai ketika ia bertemu sebuah keluarga misterius, ayahnya yang kecelakaan, Joseph dan Damian teman kecil Benjamin bukan manusia, dan seorang gadis cantik bernama Marella.
Bagaimana kisah Benjamin? Simak kisah si tokoh utama ini agar kalian tidak ketinggalan‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Home
"Ben, bergegaslah. Kau bisa ketinggalan pesawat," seorang wanita mulai memanggil putranya. Remaja berusia 17 tahun, dengan rambut coklat dan tatapan mata yang tenang melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.
...•Benjamin Paul•...
Hi, aku Benjamin Paul. Semua memanggilku Ben, sebagai nama singkatku. Pagi ini ibu, dan daddy Robert- sibuk membantuku. Ibu sibuk mengecek barang yang akan kubawa, sementara daddy Robert mengangkat barang-barang bawaan dan memasukkannya ke bagasi mobil.
Aku harus tiba di bandara 1 jam sebelum penerbanganku hari ini. Beralih dari Chicago, dan kembali ke kota kecil tempat aku lahir. Sitka, kota kecil di wilayah Alaska. Aku akan kembali ke rumah ayah. Ya, ke rumah ayah Bernandez.
5 tahun lalu, ayah dan ibu memutuskan untuk bercerai. Hak asuh jatuh di tangan ibu, dan setelahnya aku tinggal bersama ibu di Chicago. Setahun setelah bercerai, ibu menikah dengan daddy Robert. Tidak ada hal buruk yang terjadi pada mental dan batinku.
Semuanya baik, aku mendapatkan hakku sebagai seorang anak. Orang tuaku adalah orang tua yang sangat bertanggung jawab tentunya.
Sejujurnya, ibu dan daddy Robert memperlakukanku dengan baik. Daddy Robert mengajariku olahraga tenis, dan aku menyukainya. Suatu saat, ibu memberiku kesempatan meminta hal yang aku inginkan.
Aku merindukan ayah, jadi aku membuat keputusan untuk kembali ke Sitka. Ibu tentu saja berat hati melepasku, tapi daddy Robert membantuku agar aku bisa kembali ke Sitka.
Kira-kira kehidupanku di sana selanjutnya akan seperti apa?
......................
"Ketika kau sudah sampai, segera telpon kami. Pastikan bahwa Bernan yang menjemputmu" Jane- ibu Benjamin terus menerus mengingatkan putranya.
"Aku pasti melakukannya" jawab Benjamin mengerti. Ia memeluk ibunya lebih dulu, lalu ia segera memeluk ayah sambungnya.
"Sampaikan salam kami padanya," pesan Robert mengingatkan anak asuhnya itu. "Akan kusampaikan" jawab Benjamin berjanji.
"Baik. Berhati-hatilah di perjalananmu, jangan lupa berdoa" pesan Jane ketika Benjamin mengenakan ranselnya.
"Iya, bu" Benjamin akhirnya memasuki area bandara. Dari dalam ia masih bisa melihat Robert dan Jane yang memperhatikannya. Saat itulah, Benjamin melambai pada mereka.
Benjamin memastikan semuanya sesuai. Hingga akhirnya ia sudah berhasil duduk tenang di dalam pesawat, yang akan membawanya sampai pada tujuannya. Sitka, Alaska.
Pesawat baru akan terbang 45 menit lagi. Sebuah nama kontak terlihat di layar ponsel Benjamin. Bernandez Paul- ayah kandungnya.
Sudah lama Benjamin tidak bertukar kabar dengannya. Ada rasa ragu ketika ia hendak mencoba menghubungi pria itu. Hingga akhirnya, "Ben?" panggilan masuk itu diterima Benjamin. Ia tersenyum tenang.
"Hi, ayah. Apa kabar?"
"Baik, nak. Bagaimana denganmu? Sudah lama aku tidak mendengar suara putraku"
"Baik. Maaf karena terlalu sibuk, sampai aku lupa mengabarimu"
Benjamin bisa mendengar tawa khas ayahnya. "Kau sedang di mana, nak? Aku seperti mendengar suara mesin"
"Aku di dalam pesawat"
"Pesawat? Kau mau berkunjung ke mana?"
Faktanya, Benjamin tidak memberitahu kepulangannya pada Bernandez. Mereka sudah hampir 1 tahun tidak bertukar kabar. "Ayah, bisakah ayah menjemputku? Aku kembali ke Sitka hari ini" mendengar itu Bernandez terdiam. "Maksudku, maaf aku tidak memberitahumu. Tidak masalah jika-" ujar Benjamin belum selesai berbicara.
Lalu, "Ayah akan menjemputmu. Tunggulah di sana, aku pasti akan menjemputmu" jawaban itu berhasil mengukir sebuah senyum.
"Berhati-hatilah ketika berkendara, ayah" setelahnya panggilan telepon berakhir.
6 jam, 25 menit...
Benjamin mulai melihat sekitar. Ia mencari pria itu. Ayahnya. Lalu, "Ben" panggil seseorang tidak jauh darinya. Benjamin menoleh ke sumber suara. "Ayah!!" Benjamin berlari ke arah pria itu. Bernandez Paul, ayah Benjamin tampak datang masih mengenakan seragam polisi lengkap dengan lencananya.
Benjamin memeluk ayahnya, dan Bernandez membalas pelukan itu. "Putraku sudah lebih tinggi, tapi aku akan tetap lebih tampan darimu, nak" Bernandez merangkul putranya dan mengacak-acak rambut Benjamin.
"Hahaha. Ayah selalu tidak mau kalah," jawab Benjamin menerima perlakuan itu.
Sitka, Alaska
"Dan, kita sampai" Bernandez memarkirkan mobilnya di bagasi rumah. Mereka akhirnya keluar. "Aku kira sejak kami pindah, ayah menjual rumah ini," kata Benjamin seraya tertawa kecil.
"Itu hanya akan merepotkanku" jawab Bernandez mengeluarkan barang-barang putranya yang lain dari dalam bagasi mobil.
Mereka masuk ke dalam rumah. Benjamin segera meletakkan barangnya di ruang tamu, dan mulai berkeliling memperhatikan keadaan rumah masa kecilnya.
"Tangganya berubah?" tanya Benjamin menyadari tangga rumah menuju lantai 2 yang berubah. "Sudah lapuk, jadi aku meminta Justin mencari gantinya" jawab Bernandez mengangkat barang putranya.
"Ayo naik, kamarmu masih di tempat yang sama," Bernandez mengajak putranya menuju lantai dua. Benjamin mengekori ayahnya. Mereka akhirnya sampai di depan sebuah kamar. Bernandez membukanya.
"Yah, tampak sederhana. Aku pikir, kau tidak suka benda-benda merepotkan. Ahh iya, aku juga menyediakan rak buku, untuk menyusun buku-buku yang biasa kau baca," Bernandez mulai memperkenalkan isi kamar Benjamin.
"Maaf jika-"
"Tidak, ini sangat bagus. Aku merasa kamar ini lebih nyaman dari sebelumnya," jawab Benjamin segera pada ayahnya yang sudah menyiapkan semua itu.
Bernandez tersenyum senang mendengar itu. Keduanya tampak mulai membongkar koper dan tas yang berisi barang Benjamin.
"Besok aku akan meminta Justin mencarikan sekolah untukmu," ujar Bernandez di tengah-tengah acara beres-beres mereka.
"Apa Joseph masih di sekolahkan di asrama?" tanya Benjamin, mengenai kabar teman kecilnya. "Ahk, dia bersekolah di sekolah biasa. Besok aku akan menanyakan pada Joseph dulu," jawab Bernandez baru ingat.
Justin? Joseph?
...•Benjamin Paul•...
Malam ini, rumah sedikit ramai didatangi beberapa tamu. Mereka adalah tetangga sekitar. Tapi aku belum melihat keberadaan Justin dan Joseph. Siapa mereka?
Justin Rothrout, dia pria tua seusia ayah. Dia adalah teman ayah, bisa dibilang sahabat, dan mereka saling mengenal hampir 30 tahun. Sejak kecil, aku melihat Justin sebagai pria tua yang duduk di kursi roda saja. Ia terpaksa mengenakan benda itu, karena kecelakaan mobil yang berakibat fatal padanya.
Joseph Rothrout, dia adalah putra Justin. Joseph anak bungsu, dan punya 2 orang kakak perempuan. Isabelle dan Jemma. Joseph seusiaku, dan tentu kami saling mengenal. Dia adalah teman kecilku.
"Apa Justin dan Joseph tidak ayah undang?" tanyaku pada ayah. "Tentu saja aku mengundang mereka. Kita tunggu saja," jawab ayah meyakinkanku. Aku menurut.
Tidak lama berselang, aku mendengar suara pintu rumah yang diketuk. Aku beranjak dari sofa dan segera membukakan pintu.
"Lama tidak berjumpa, sobat," sapa orang itu padaku. Joseph dan ayahnya baru saja tiba.
......................
"Jadi kau baru tiba hari ini?" tanya remaja berambut coklat dengan kulit sawo matangnya. Dialah Joseph, teman kecil Benjamin.
"Dan aku juga tidak memberitahu pada ayah. Bisa dibilang ini adalah kedatanganku yang mendadak" jawab Benjamin tertawa kecil.
"Hahaha. Aku bersyukur kau tampak sehat," gumam Joseph tersenyum lega. "Ben, maaf karena di saat susahmu aku tidak membantumu," kata Joseph terlihat bersalah.
"Hey, kau tahu. Aku baik-baik saja, seharusnya aku yang meminta maaf padamu karena tidak memberitahumu aku akan beralih ke Chicago" jawab Benjamin tidak masalah.
Mereka tertawa satu sama lain. "Ahk iya, Josh. Bagaimana kabar sepupumu? Aku lupa namanya, Mia? Maya? Mira?" tanya Benjamin seraya mengingat nama seorang gadis.
"Mia? Dia baik, dan sekarang dia sekolah di yayasan katolik" jawab Joseph menyeruput sekaleng soda.
"Kau tidak berkunjung ke rumah Charlie?" tanya Joseph mengenai Benjamin yang sudah pergi ke rumah pamannya atau belum. "Aku baru tiba hari ini, jadi kemungkinan besok aku baru berkunjung" jawab Benjamin.
Ketika hari sudah semakin larut, acara kecil itu akhirnya berakhir. "Kalian berjalan kaki?" tanya Benjamin pada Joseph ketika ia tidak menemukan ada mobil yang tersisa di sana.
"Kau lupa, nak? Rumah kita hanya berjarak 30 meter satu sama lain" jawab Justin tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Benjamin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 5 tahun ia meninggalkan Sitka, ia hampir lupa rumah Justin dan Joseph tidak terlalu jauh dari tempat ia tinggal.
"Maaf aku lupa. Kalau begitu, berhati-hatilah," pesan Benjamin ketika mereka sudah berada di luar pagar rumah.
"Ben, besok aku akan pergi memancing dengan Damian. Apa kau mau ikut? Siapa tahu kita bisa dapat beberapa ekor ikan" tawar Joseph sebelum mereka benar-benar pulang.
Benjamin beralih menatap ayahnya lalu, "Pergilah. Tapi sebelum kalian memancing, berkunjunglah ke rumah Charlie," dan Bernandez memberinya izin untuk pergi.
"Tenang saja, aku akan menemaninya besok" jawab Joseph menyetujui. Akhirnya malam itu, Justin dan Joseph kembali ke rumah mereka, sementara Benjamin dan Bernandez masih duduk di sofa ruang keluarga.
"Kau tidak langsung tidur?" tanya Benjamin pada ayahnya yang masih sibuk membereskan berbagai berkas dan dokumen. Ia mulai menyalakan televisi, hendak menonton.
"Kau tahu sendiri tugas polisi tidak mudah, nak. Jadi kurasa aku tidak akan tidur cukup malam ini" jawab Bernandez seraya menikmati kopi susunya yang masih hangat.
"Ada masalah?" tanya Benjamin menghampiri ayahnya. "Selama bulan ini, sudah 5 orang hilang. Ini tidak biasa," Bernandez mulai memperhatikan masing-masing berkas dan dokumen yang ia terima.
"Bisa saja mereka melarikan diri dari rumah" pendapat Benjamin masih bisa diterima. "Aku juga awalnya berpikir begitu, nak. Tapi setelah mendengar informasi dari pihak yang melaporkan, tidak mungkin seseorang kabur tanpa membawa apapun" jawab Bernandez, dan pendapat Benjamin terpatahkan.
"Aneh sekali," gumam Benjamin terheran.
08:00 A.M
"Ben, bangunlah" Benjamin segera tersadar. Semalaman ia tertidur di sofa. Ia terlelap begitu saja ketika menonton sebuah film.
"Bersihkan dirimu, kita pergi sarapan" Bernandez tampak sudah rapi dengan dinasnya. Benjamin bangun, dan ia segera melakukan apa yang diperintahkan padanya.
Benjamin bersiap. Setelahnya, mereka pergi berkunjung ke sebuah restoran pagi itu.
"Apa kau sudah menelpon ibumu?" tanya Bernandez teringat Jane, mantan istrinya. "Astaga. Aku terlupa, mungkin aku akan menelponnya nanti," jawab Benjamin terlupa.
"Mereka titip salam padamu," kata Benjamin mulai bersiap menyantap sarapannya, ketika makanan mereka sudah tiba. "Apa yang membuatmu kemari? Jane dan Robert orang tua yang baik bukan?" tanya Bernandez membaca koran, dan menikmati kopinya.
"Aku memikirkanmu, jadi aku pikir aku ingin kembali ke sini. Mengingat kau sudah semakin tua" jawab Benjamin berhasil membuat Bernandez terkekeh. Mereka ayah dan anak yang meniru satu sama lain.
Selesai sarapan, Benjamin mengendarai mobil setelah ia mengantar Bernandez ke kantor. Ia melajukan mobilnya menuju timur.
Ia telah sampai. Rumah keluarga Keneth. Benjamin memakirkan mobilnya. Kakinya melangkah menuju pintu masuk. Ia mengetuk pintu.
Lalu, "Ben!!" gumam seorang wanita yang membukakan pintu itu untuk Benjamin.