“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6 : Majikan Kejam
“Mbi, ... boleh ngobrol?”
Pertanyaan barusan, Arimbi dapatkan dari mas Rio, anak ibu Irma yang tak lain bosnya. Sosok yang juga membuat Arimbi mengenal mas Aidan. Sebab karena mas Rio menjadi korban tabrak di jalan, ibu Irma meminta bantuan mas Aidan untuk mengurus kasusnya. Tak tanggung-tanggung, jika bisa, ibu Irma sampai meminta mas Aidan untuk mengantar yang menabrak mas Rio, ke neraka. Karena akibat kecelakaan tersebut, mas Rio yang usianya sebaya mas Aidan, terancam tidak bisa berjalan dengan normal.
Tanpa bersuara, Arimbi yang langsung menatap mas Mario, segera mendekat. Arimbi sengaja menjaga jarak mereka lebih dari satu meter, walau mas Rio yang duduk di sofa panjang ruang keluarga di sana, masih memintanya untuk lebih dekat.
“Sini duduk, aku pengin ngobrol serius.”
Arimbi buru-buru menggeleng. “Enggak, Mas. Saya enggak berani. Begini saja.”
Mas Rio mengangguk-angguk, menatap Arimbi yang kembali menutupi sebagian wajahnya menggunakan masker, dengan tatapan yang begitu teduh. “Aku boleh minta sesuatu?”
Mendapat pertanyaan tersebut dari pria yang sejak awal mereka bertemu sudah kerap ia pergoki diam-diam memperhatikannya, Arimbi refleks menahan napas. Tanpa berani kembali menatap mas Rio, Arimbi berkata, “Tergantung, Mas.”
“Aku hanya ingin minta kamu tetap kuat. Aku tahu, gosip di luar sana enggak benar. Kamu harus tetap semangat apalagi kamu punya ibu yang sangat sayang ke kamu. Percayalah, alasan semua ini terjadi, karena Tuhan ingin mengangkat derajat kamu. Kamu terlalu spesial, kamu terlalu berharga, hingga Tuhan enggak izinin kamu makin dilukai oleh laki-laki picik seperti dia,” ucap Mas Rio dengan suara yang begitu lembut, lirih dan begitu tertata hingga langsung masuk ke hati seorang Arimbi. Iya, Arimbi sadar mas Rio peduli kepadanya. Masalahnya, kepedulian tersebut malah membuat Arimbi takut. Arimbi takut diamuk oleh ibu Irma yang di awal Arimbi kerja di sana sudah memberi peraturan khusus yaitu, dilarang dekat-dekat dengan mas Rio.
“Levelnya Rio harusnya nikah sama mbak Azzura, anaknya pak DPR Kalandra!” tegas ibu Irma kala itu dah tak mungkin bisa Arimbi lupa.
Mengangguk-angguk hormat, Arimbi yang cenderung menunduk sekaligus membungkuk, mengucapkan terima kasih kepada mas Rio. “Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas!”
“Sama-sama, Mbi. Setelah ini, kamu jangan pernah merasa sendiri, ya. Jangan pernah merasa begitu, karena mulai sekarang juga, aku akan selalu ada buat kamu.” Mas Mario masih menatap Arimbi penuh kepedulian.
Kali ini, Arimbi yang tidak bisa menjawab, buru-buru pergi tanpa pamit baik untuk basa-basi apalagi wujud dari rasa hormatnya. Arimbi meninggalkan mas Rio begitu saja. Sebisa mungkin Arimbi ingin segera keluar dari rumah terbilang mewah bercat putih dan berlantai marmer warna hitam itu. Karenanya, ia melangkah dengan buru-buru. Hingga ketika pintu di hadapannya terbuka dari luar, ia langsung terlonjak kaget. Membuat pelakunya dan itu ibu Irma, langsung menatapnya dengan curiga.
“Kamu kenapa?” tanya ibu Irma yang menatap Arimbi dengan tatapan menuduh.
Jantung Arimbi sudah berdetak tak karuan. Apalagi detik itu juga, ibu Irma sudah langsung menyidangnya.
“Angkat kedua tangan kamu! Kamu enggak ambil barang-barang dari rumah ini, kan?” Menggunakan kipas lipat warna merahnya, ia menekan bagian tubuh Arimbi yang baginya mencurigakan. Takut pembantu yang masih memiliki tanggungan hutang kepadanya sebanyak dua puluh juta itu, mencuri barang berharga darinya. Terlebih ketika Arimbi sampai menolak melepas jilbab untuk ia pastikan di balik sana tidak ada barang berharga yang Arimbi curi.
“Sumpah, Bu, saya enggak nyuri. Alasan tadi saya lari karena saya ingin cepat sampai rumah. Ini sudah sore dan saya belum siapin bahan pecel buat jualan besok.” Arimbi sengaja mencari alasan. Ia terpaksa berbohong karena andai ia jujur alasannya melangkah buru-buru karena mas Rio, Arimbi pasti langsung tamat.
“Iya, tapi tolong buktikan karena setiap pengelakkan wajib ada bukti!” tegas ibu Irma mulai emosi.
Dari dalam, mas Rio yang mendengar kegaduhan tertatih memastikan menggunakan tongkat bantu jalannya. Ia dapati, sang mamah yang sampai menarik paksa jilbab hitam dari kepala Arimbi, dan Arimbi hanya menunduk pasrah.
“Mah!” lantang mas Rio mempercepat jalannya bertepatan dengan sang mamah yang mengibas-ngibaskan jilbab Arimbi.
Di luar sana, mas Aidan yang semata-mata melihat ulah ibu Irma, juga buru-buru masuk. Karena bagi Mas Aidan, tindakan ibu Irma sudah menjerumus ke pelanggaran HAM.
“Ibu Irma, ini maaf ada apa?” tegur Mas Aidan langsung menyikapi keadaan dengan tegas. Toh, bukan sebuah kelancangan semacam sok ikut campur kalau keadaannya saja sudah seperti sekarang.
Ibu Irma yang langsung mengenali suara mas Aidan dan itu sangat dekat, benar-benar dari belakangnya, langsung panik. Tak kalah panik, Arimbi yang masih menunduk dalam dengan kepala tanpa pelindung, buru-buru memungut jilbabnya yang dibuang begitu saja oleh sang majikan. Ibu Irma melakukannya sambil menahan jijik. Mungkin wanita yang selalu bergaya glamor dan memenuhi setiap jemari maupun lengan tangannya menggunakan perhiasan itu tak sudi memegang barang pembantunya.
“Enggak ada apa-apa!” tegas ibu Irma meyakinkan sambil tersenyum kepada mas Aidan.
Namun, Mas Aidan yang memastikan wajah Arimbi dan wanita itu juga sampai dilepas paksa maskernya, mendapati Arimbi berlinang air mata. “Tapi tadi Ibu Irma kasar, asal lepas jilbab Mbaknya, dan ini sangat tidak dibenarkan, Bu. Dan jika Ibu menyadari itu, sekarang juga Ibu Irma meminta maaf ke Mbaknya. Jangan karena Mbak ini bekerja kepada Ibu, terus Ibu bisa semena-mena!”
Dalam diamnya, Arimbi yang sibuk menyeka air matanya menggunakan kedua jemari tangannya, langsung gemetaran. Mas Aidan sungguh luar biasa, selalu sigap tanpa mengabaikan apa pun. Pria itu sungguh menjunjung tinggi kebenaran tanpa memandang status layaknya yang ibu Irma selalu lakukan.
Menatap tak mengerti mas Aidan yang menatapnya penuh tuntutan, ibu Irma berkata, “Mas Aidan, ... Mas Aidan ini kenapa? Kok Mas Aidan berpikir, seolah saya ini jahat? Saya memang begini orangnya, kalau Mas enggak percaya, tanya saja ke Mbak Arimbi,” ucapnya bersandiwara kemudian merangkul Arimbi yang diam-diam juga sampai ia cubit kuat-kuat pinggangnya.
Namun, Arimbi yang merasa mas Aidan bisa mengamankannya, sengaja jujur. “S-sakit, Bu!”
Teriak kesakitan dari Arimbi, sontak menggemparkan kebersamaan di sana. Tak hanya mas Rio yang tertatih melangkah menggunakan tongkat bantunya, tapi juga mas Aidan yang langsung memastikan, menyingkirkan tangan ibu Irma yang awalnya tampak merangkul tapi sampai menyakiti. Lihat saja, ada bekas kuku di pinggang sekaligus perut Arimbi dan parahnya, bekas kuku tersebut sampai menghasilkan darah segar. Bisa dipastikan betapa kejinya ibu Irma selaku pelaku yang membuat keadaan itu terjadi.
tp jeje slebew cantik plus orgnya pinter jg.