Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Hari itu berlalu, dan kembali lagi seperti biasa. Dewi, ibu Nadia, ingin mengantarkan Nadia ke sekolah, tetapi motornya mogok.
"Ya sudah, Mam, daripada saya terlambat, saya pergi dulu ya," ucap Nadia sambil mencium pipi mamanya.
Di jalan, Nadia sempat berpikir untuk tidak pergi ke sekolah lantaran Cici, siswi julid yang selalu membuatnya kesal. Namun, ia selalu memberanikan dirinya untuk menghadapi Cici dan kedua sahabatnya itu.
Steven tak sengaja melihat Nadia berjalan kaki menuju sekolah yang masih jauh.
"Nad, gerbang sekolah bentar lagi akan ditutup dua menit lagi. Apakah kau mau ikut denganku?" ucap Steven. Wajah Nadia terkejut dan memerah, tidak menyangka bahwa Steven menawarkan tumpangan kepadanya.
"Tapi saya di mana?" ucap Nadia.
"Sini, di depan saya," gumam Steven.
Nadia langsung menaiki sepeda itu dengan duduk di depan Steven, seperti biasanya perempuan duduk di motor. Namun, kali ini suasana hati Nadia semakin membaik.
"Kalau aku bolos tadi, mungkin aku tidak akan bertemu dengannya dan tak akan merasakan ketampanannya sedekat ini," ucap Nadia dalam hati dengan bahagia.
Tiba di gerbang sekolah.
"Cie, cie... habis dari mana? Kenapa lama datangnya, Ketos?" ucap sahabat Steven, Alvin. "Habis jemput adik kelas ya? Hahaha," lanjut Alvin dengan nada bercanda.
Steven tidak memberikan komentar, hanya terdiam.
"Aku pergi dulu ya. Makasih ya, Kak," ucap Nadia kepada Steven.
Cici yang melihat hal itu menjadi marah besar dan sangat iri. Ia menunggu kesempatan saat Nadia masuk ke kelas.
"Oh... jadi ini kelakuan anak beasiswa yang genit kepada kakak kelas itu? Boleh juga ya bodi gitar Indonesia-mu dipakai. Seksi dengan pakaian yang luntur serta sepatu jorokmu," ejek Cici di depan kelasnya.
"Kamu boleh mengatakan apa pun tentang aku, Cici, tapi kata-kata itu tidak akan membuatku menderita sedikit pun. Mahasiswa di sini menakutimu bukan karena mereka tidak berani melawan, tetapi karena tingkah lakumu yang gila sehingga mereka takut melawan orang gila sepertimu."
"What?! Orang gila? OMG... hello, Nadia-Nadia. Kita lihat saja siapa yang gila dan siapa yang akan merasakan pahitnya menjadi luka di sekolah ini."
Nadia tidak takut akan ancaman itu. Ia menerima semua ocehan dari Cici dengan tenang.
"Selamat pagi, anak-anak," ucap Bu Desi.
Mata pelajaran berlangsung begitu cepat. Lonceng sekolah berbunyi, menandakan para siswa sudah bisa pulang. Nadia yang tidak dapat dijemput karena motor ibunya mogok terpaksa berjalan kaki.
Nadia membereskan buku-bukunya dengan cepat dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Teman-teman sekelasnya sudah mulai keluar satu per satu. Ia tahu, kali ini ia harus berjalan kaki pulang.
Nadia menghela napas panjang. Jalan kaki sejauh itu di bawah matahari yang terik tentu bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi setelah kejadian pagi tadi dengan Cici. Tapi ia mencoba menguatkan hati. Aku bisa melewati ini, seperti yang selalu kulakukan.
Nadia mulai melangkah keluar gerbang sekolah. Suasana sore itu cukup ramai. Para siswa bergerombol, sebagian bercanda, sebagian lagi sibuk dengan ponsel mereka. Namun, Nadia memilih berjalan sendirian. Ia tidak ingin terlibat percakapan dengan siapa pun.
Sepanjang perjalanan, ia tidak bisa berhenti memikirkan kejadian pagi tadi. Wajah Steven yang begitu dekat dengannya saat ia menumpang sepeda motor itu kembali terbayang. Ia mengingat aroma segar dari seragam Steven dan bagaimana ia merasa aman meskipun duduk di depan sepeda dengan posisi yang canggung.
Saat ia menyusuri trotoar, angin sore yang hangat menyapu rambutnya. Langkahnya lambat tapi pasti. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa ringan. Ada sesuatu tentang kehadiran Steven yang membuatnya merasa berbeda—lebih berani dan percaya diri.
Ketika akhirnya sampai di depan rumah, ia mendapati ibunya sedang sibuk memperbaiki motor tua mereka bersama seorang tetangga. Dewi melambaikan tangan kepada Nadia.
"Nadia, sudah pulang? Gimana sekolahnya?" tanya ibunya sambil mengusap peluh di dahinya.
Nadia tersenyum, meski pipinya sedikit memerah mengingat perjalanan paginya bersama Steven.
"Baik, Bu. Lelah, tapi menyenangkan," jawabnya singkat.
Dewi menatap putrinya dengan curiga, tapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Nadia segera masuk ke rumah, meletakkan tasnya di meja, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
Kamar Nadia yang sederhana selalu menjadi tempat pelariannya. Dindingnya dipenuhi foto-foto keluarga dan beberapa catatan kecil yang ia tulis untuk menyemangati dirinya sendiri. Tapi sore itu, matanya langsung tertuju pada jendela. Ia memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi oranye keemasan.
"Steven..." Nadia bergumam pelan, hampir seperti berbisik. Namanya terasa asing namun hangat di lidahnya. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya terhanyut dalam pikiran tentang Steven.
Dalam lelahnya, Nadia pun tertidur pulas dan bermimpi. Mereka bukan lagi di jalan menuju sekolah, melainkan di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Steven mengayuh sepeda perlahan, sementara Nadia duduk di depan seperti pagi tadi. Angin bertiup lembut, membawa aroma bunga yang segar.
"Pegangan yang erat, Nadia," ujar Steven dengan nada lembut, tapi ada sedikit senyuman di wajahnya.
Nadia memegang lengan Steven dengan gugup, tapi senyuman itu membuatnya merasa nyaman. Mereka melewati jalan-jalan kecil yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Burung-burung berkicau di atas mereka, seakan menyambut kebersamaan itu.
Mimpi itu terasa begitu nyata, hingga Nadia hampir tidak ingin bangun. Tapi suara ibunya dari luar kamar membangunkannya.
"Nadia, makan malam sudah siap!" panggil Dewi.
Nadia membuka matanya perlahan. Ia memandang langit-langit kamarnya, mencoba mengumpulkan kesadarannya.
"Mimpi yang aneh..." gumamnya, tapi bibirnya membentuk senyum kecil. Ia berjungkir balik di kasur tiga kali sambil memikirkan Steven.
Ia turun dari tempat tidur, melangkah ke meja makan dengan perasaan yang berbeda. Meski hari itu penuh dengan cobaan, mimpinya tentang Steven membuatnya merasa lebih kuat. Mungkin, aku bisa menghadapi semuanya. Selama aku tetap berani dan jujur pada diriku sendiri.
semangat