Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1 : hangat dalam kesederhanaan
Pagi itu, suara air yang mengalir dari keran tua di belakang rumah menjadi pengiring ritme tangan Tiara yang sibuk merendam pakaian kotor dalam ember besar. Matahari baru saja menampakkan sinarnya yang hangat, menyinari halaman rumah sederhana mereka yang beralaskan tanah. Tiara menghela napas panjang, meremas sehelai baju dengan tenaga yang tersisa di tangannya.
“Bu, biar Tiara saja yang kerjakan. Ibu istirahatlah dulu,” katanya lembut, matanya menatap sang ibu yang jongkok di sampingnya, sibuk menyikat pakaian lain.
Senyum lelah tersungging di bibir sang ibu, wajahnya memancarkan kelelahan yang tak pernah hilang. “Gak apa-apa, sayang. Ibu masih kuat kok.”
Tiara hanya mengangguk. Meski hatinya ingin agar ibunya beristirahat, ia tahu bahwa kelelahan bukanlah pilihan bagi keluarganya. Setiap hari mereka harus bekerja keras untuk memastikan ada makanan di meja dan biaya sekolah untuk adik-adiknya.
Tiara adalah anak sulung dari lima bersaudara. Keempat adik laki-lakinya—Raka, Bayu, Dimas, dan Arman—masih duduk di bangku sekolah. Ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di minimarket kecil di ujung jalan, namun penghasilannya tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan keluarga. Itulah sebabnya, ibunya bekerja sebagai buruh cuci pakaian bagi para tetangga di sekitar rumah.
Tangan Tiara semakin cepat bergerak, berusaha mempercepat pekerjaan. Saat mereka sibuk dengan cucian, terdengar langkah-langkah kecil mendekat. Raka, adik Tiara yang paling tua, muncul. Matanya yang bulat bersinar penuh semangat meski wajahnya tampak cemas.
“Ibu, aku butuh uang untuk bayar buku di sekolah. Kata Bu Guru, minggu depan harus sudah lunas.”
Mendengar ucapan sang adik, Tiara menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Hatinya tergores. Mereka baru saja menyelesaikan pembayaran untuk seragam Raka, kini kebutuhan lain datang menyapa. Tiara tahu betapa beratnya mencari tambahan uang dengan kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas.
Ibunya meletakkan sikat cucinya, mendekati Raka, dan mengusap kepala sang anak dengan penuh cinta. “Ibu akan cari cara, Nak. Jangan khawatir. Nanti sore, Ibu akan coba pinjam ke tetangga.”
Tiara menggigit bibirnya, merasa tak berdaya. Dia tahu ibunya tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir, tapi Tiara bisa melihat kelelahan dan tekanan yang dirasakan ibunya. Menambah utang bukanlah solusi jangka panjang, pikir Tiara. Ia tahu orangtuanya sudah terlalu banyak meminjam dari tetangga, dan membayar utangnya pun terkadang sulit.
Ketika Raka kembali masuk ke rumah, Tiara menatap ibunya dengan tekad yang baru tumbuh. Ia tak bisa berdiam diri. Dalam pikirannya, ia harus melakukan sesuatu untuk membantu orangtuanya.
Tiara menoleh ke belakang dan melihat Pak Samsul, tetangganya yang bekerja sebagai satpam di sebuah klub malam. Pak Samsul adalah sosok yang ramah, sering menyapa anak-anak di lingkungan mereka dan menawarkan bantuan jika diperlukan. Beliau mendekati Tiara dengan senyum lebar.
“Bu,” kata Tiara pelan, namun pasti. “Aku mau cari kerja. Boleh kan, Bu? Tiara nggak bisa kalau cuma bantu Ibu cuci pakaian doang.”
Ibunya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Kamu mau kerja apa, sayang? Kau cuma lulusan SMP. Mencari pekerjaan di kota ini tidak mudah. Ibu tidak ingin kau susah…”
Tiara menggenggam tangan ibunya, menatap dengan keyakinan. “Tiara bakal coba, Bu. Apa pun pekerjaannya, Tiara lakukan. Yang penting Tiara bisa bantu adik-adik.”
Ibunya tidak menjawab, menatap mata putrinya dengan campuran bangga dan khawatir. Tiara tahu ibunya ingin melindunginya, namun di dalam lubuk hatinya, sang ibu juga tahu bahwa tekad putrinya sudah bulat.
Keesokan harinya, Tiara pergi dari rumah dengan semangat yang tinggi. Ia menyusuri jalan-jalan di sekitar kota kecil tempat tinggal mereka, berharap bisa menemukan pekerjaan meski hanya lulusan SMP. Namun, harapan sering kali berbeda dengan kenyataan.
Di setiap toko yang disinggahinya, jawaban yang diterima selalu sama. “Kami butuh karyawan dengan pengalaman,” atau “Maaf, kami tidak sedang mencari pegawai.” Tiara tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Ia terus berjalan dari satu tempat ke tempat lain, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada yang mau menerimanya.
Sore itu, Tiara duduk di halte bus dengan wajah lesu. Di tangannya, beberapa brosur pekerjaan yang telah ia dapatkan sejak pagi, tetapi tidak ada satu pun yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Lulusan SMP memang tidak memberi banyak pilihan.
Namun, dalam hatinya, Tiara tidak ingin menyerah. Sempat terlintas di pikirannya untuk mencoba menjadi pemandu lagu saja, meskipun pekerjaan itu sering diremehkan dan dipandang sebelah mata. Tapi baginya, mungkin itulah satu-satunya pilihan yang tersisa. Baginya, apapun pekerjaannya, asalkan bisa mendapatkan penghasilan, itu sudah lebih dari cukup.
Tiara mengambil napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku harus semangat, semua ini untuk adik-adikku,” ucapnya dalam hati, menguatkan tekadnya. Ia yakin bahwa segala sesuatu butuh pengorbanan.
Tanpa Tiara sadari, matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Ia kemudian berjalan kembali dengan perasaan hampa karena belum mendapatkan pekerjaan. Rasa lelah terlihat jelas di wajahnya, tetapi ia mencoba menutupi kegundahan hati dengan senyum kecil. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika ia mengingat kembali hasil pencariannya yang nihil. Setiap tempat yang disambanginya seolah tertutup rapat, meninggalkan Tiara dengan rasa putus asa yang semakin besar.
Akhirnya, Tiara memutuskan untuk kembali ke rumah. Saat ia berjalan menuju rumahnya, terdengar suara laki-laki memanggilnya dari arah belakang.
“Tiara! Hei, Tiara! Tunggu…”
“Gimana kabarmu, Ra? Kamu habis dari mana?” tanyanya ramah.
Tiara tersenyum tipis. “Abis nyari kerja, Pak. Tapi belum dapet,” jawabnya dengan nada sedikit lesu.
Pak Samsul mengangguk pelan, seolah mengerti betul kesulitan yang Tiara hadapi. “Zaman sekarang emang susah cari kerja. Oh iya, kalau kamu nggak keberatan, Bapak mungkin bisa bantu.”
Mata Tiara langsung berbinar, sedikit harapan muncul. “Bantu bagaimana, Pak?”
“Di tempat saya kerja, biasanya sering butuh karyawan tambahan. Coba saja kamu melamar di sana, siapa tahu diterima. Kalau nggak salah kemarin-kemarin lagi butuh karyawan. Gajinya sih nggak gede, tapi lumayan lah buat tambah-tambah. Kalau mau, ambil sampingan saja, cuma jadi pemandu lagu, di karaoke gitu. Ya, kalau kamu mau sih itu juga,” jawab Pak Samsul santai namun penuh arti.
Tiara terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat. Bekerja di klub malam bukanlah pekerjaan yang ia bayangkan, apalagi sebagai pemandu karaoke. Ia tahu stigma yang melekat pada pekerjaan itu, bagaimana orang memandang rendah profesi tersebut. Tapi di sisi lain, Tiara tidak bisa terus-menerus menunggu kesempatan yang belum pasti. Ia butuh pekerjaan, dan keluarganya sangat membutuhkan penghasilan tambahan secepatnya.
Melihat keraguan di wajah Tiara, Pak Samsul menepuk pundaknya dengan lembut. “Gak usah buru-buru. Pikirkan baik-baik. Kalau memang kamu mau, besok sore Bapak bisa bawa kamu ke sana untuk melamar.”
Malam itu, Tiara duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Suara tawa adik-adiknya yang sedang bermain di halaman terdengar samar di kejauhan. Pikirannya terus berkecamuk. Bekerja di klub malam jelas bukan pilihan yang ideal, tetapi apalagi yang bisa ia lakukan? Tiara merasa terjebak antara harapannya untuk membantu keluarga dan ketakutannya mengecewakan ibunya.
Keesokan harinya, Tiara akhirnya memutuskan untuk melamar pekerjaan di tempat Pak Samsul bekerja. Dengan tekad yang bulat, ia menemui Pak Samsul di sore hari, dan bersama-sama mereka pergi ke klub malam tempat Pak Samsul bekerja.
Setibanya di sana, Tiara diajak berbicara dengan manajer klub, seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan wajah serius. Ia mulai menanyakan pengalaman kerja Tiara. Dengan jujur, Tiara menjawab bahwa ini adalah pertama kalinya ia melamar pekerjaan. Mendengar jawaban tersebut, pria itu hanya terdiam sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya.
“Di sini memang lagi butuh karyawan, terutama waiters. Kalau kamu mau, besok kamu sudah bisa langsung bekerja. Untuk sementara, paling training dulu, tapi kamu tidak usah khawatir, meskipun hanya training, kamu tetap akan menerima bayaran,” kata manajer itu dengan nada datar.
Hati Tiara berdebar-debar. Sejujurnya, ia merasa ragu dan takut bekerja di sini. Bukan karena pekerjaan itu sendiri, tetapi karena tempatnya. Bekerja di klub malam pasti akan menjadi bahan cibiran orang-orang, meskipun hanya sebagai pelayan. Namun, ia merasa tidak punya pilihan lain. Akhirnya, Tiara menerima tawaran pekerjaan tersebut. Dengan perasaan campur aduk, ia mengucapkan terima kasih kepada Pak Samsul dan kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, Tiara disambut oleh ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarga. Adik-adiknya, seperti biasa, berlarian di sekitar rumah sambil bersenda gurau. Kehangatan suasana keluarga itu membuat hati Tiara semakin berat. Ia tahu bahwa kabar yang akan ia sampaikan bisa mengecewakan ibunya, dan ia tidak siap untuk melihat kekecewaan itu di mata ibunya.
“Bu,” panggil Tiara pelan.
Ibunya menoleh sambil tersenyum. “Ada apa, sayang?”
Tiara menguatkan hatinya dan berusaha menyembunyikan kegugupan. “Tiara diterima kerja, Bu.”
Mata sang ibu melebar, penuh dengan rasa bahagia dan lega. “Beneran? Kerja di mana?”
Tiara menelan ludah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia akan bekerja di klub malam. Ia terlalu takut jika ibunya akan kecewa dan merasa malu.
“Tiara kerja di toko pakaian, Bu. Jadi pelayan,” ucapnya berbohong dengan senyum yang dipaksakan.
Sang ibu tersenyum lebar dan langsung memeluk Tiara. “Alhamdulillah, Ibu senang mendengarnya. Semoga kamu bisa betah, ya.”
Tiara memeluk ibunya dengan erat, namun di dalam hatinya, ia merasakan perih yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kebohongannya terasa seperti beban berat di pundaknya, namun ia tidak punya pilihan lain. Demi keluarganya, Tiara rela menyembunyikan kebenaran.
Malam itu, meskipun tubuhnya terasa lelah, Tiara tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus berputar, membayangkan hari-hari yang harus ia hadapi ke depan. Di satu sisi, ia lega karena sudah mendapatkan pekerjaan, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa rahasia ini suatu hari nanti bisa terungkap dan melukai hati ibunya.
Namun, Tiara tahu satu hal: apa pun yang terjadi, ia akan terus berjuang. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga yang dicintainya.