Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan yang Tak Terhindarkan
Naya Amira duduk di sebuah kafe kecil di sudut jalan Jakarta yang selalu ramai. Hiruk-pikuk kendaraan dan suara orang-orang berlalu-lalang jadi latar belakang pikirannya yang kacau. Dia menyesap kopi hitamnya pelan-pelan, berharap rasa pahit itu bisa menenangkan gejolak di dadanya. Seharusnya pagi ini dia menyelesaikan panel terakhir komik barunya, cerita yang dia curahkan hati dan jiwanya selama berbulan-bulan. Tapi, telepon dari pengacaranya dua jam yang lalu, mengubah semuanya.
"Hak cipta karya kamu digugat sama perusahaan desain besar. Mereka klaim visual kamu melanggar konsep yang udah mereka patenkan."
Naya terdiam saat kata-kata itu menggaung di kepalanya. Gugat? Karyanya? Apa salah dia? Dia udah meneliti setiap detail karyanya dengan cermat, memastikan nggak ada yang mirip sama karya orang lain. Setiap sketsa yang dia buat adalah refleksi dari perasaannya sendiri. Mana mungkin ada yang sama?
“Studio Evander Designs,” lanjut pengacaranya, suaranya terdengar serius di ujung telepon.
Nama itu bikin jantung Naya berdegup lebih kencang. Siapa sih yang nggak kenal Studio Evander Designs? Salah satu studio desain grafis paling terkenal di Indonesia, yang kerja sama sama klien-klien besar, dan punya pengaruh kuat di industri kreatif. Tapi, nggak pernah terlintas dalam pikirannya kalau studio sebesar itu akan ngegugat karyanya—apalagi dengan alasan melanggar hak cipta.
Naya menarik napas panjang. Nggak ada waktu buat takut atau bingung. Dia hidup mandiri, hanya mengandalkan karyanya buat bertahan. Kalau ini sampai menghancurkan reputasinya, dia nggak tau harus gimana.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan yang menyelimuti dirinya. Nomor nggak dikenal muncul di layar. Dengan sedikit waspada, dia mengangkat telepon itu.
"Selamat siang, Nona Amira?" Suara di ujung sana terdengar dingin dan tegas.
"Ya, saya sendiri. Ini siapa?" jawab Naya, sedikit kaku.
"Dante Evander. Saya kira Anda sudah mendengar tentang masalah kita. Saya ingin kita bertemu hari ini untuk mendiskusikan solusinya."
Naya terdiam sejenak. Dante Evander? Pemilik studio desain yang ngegugatnya? Nama itu udah sering dia dengar di dunia kreatif—terkenal sebagai pebisnis yang licin, nggak pernah kompromi, dan punya reputasi dingin. Naya menelan ludah, berusaha buat tetap tenang.
"Saya udah dengar," jawabnya. "Tapi saya nggak yakin pertemuan ini bisa menyelesaikan masalah kita dengan mudah."
"Saya tidak mencari kemudahan, Nona Amira. Saya mencari solusi. Bisakah kita bertemu sore ini di kantor saya?" Suaranya terdengar lebih seperti perintah daripada undangan.
Naya mengerutkan kening. Dia benci didikte, apalagi oleh seseorang yang bahkan belum pernah dia temui. Tapi, di sisi lain, dia tahu kalau pertemuan ini mungkin satu-satunya cara buat mempertahankan karyanya.
"Oke, jam tiga sore saya akan ada di sana," balas Naya singkat, lalu menutup telepon sebelum pria itu sempat bicara lebih banyak.
Tepat pukul tiga, Naya melangkah masuk ke dalam gedung kaca yang megah di pusat kota. Kantor Evander Designs menjulang tinggi, memancarkan aura profesionalisme dan kekuasaan yang bikin Naya merasa sedikit terintimidasi. Ruang resepsionisnya luas, berkilauan dengan desain minimalis modern—mewah tapi tetap fungsional. Naya merasa kayak masuk ke dunia lain, jauh dari studio kecilnya yang sederhana, tempat ia biasanya bekerja.
Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum sopan dan segera meminta Naya naik ke lantai 15. Semakin dekat dia menuju kantor Dante Evander, semakin kuat perasaan tegang yang menjalar dalam dirinya.
Begitu pintu lift terbuka, Naya diantar ke sebuah ruang konferensi besar dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota. Di sana, berdiri sosok yang sudah menantinya. Dante Evander.
Pria itu persis seperti yang Naya bayangkan—tinggi, rapi, mengenakan setelan mahal, dengan tatapan mata tajam yang langsung bikin suasana terasa dingin. Rambut hitamnya tertata sempurna, tanpa ada satu helai pun yang tidak pada tempatnya, mencerminkan kepribadiannya yang penuh kendali. Naya berusaha tegak, menolak terlihat lemah di hadapan pria ini.
“Selamat sore, Nona Amira,” sapanya, suaranya lebih dingin dibanding waktu di telepon.
“Sore,” jawab Naya singkat, lalu duduk di kursi yang disediakan.
Tatapan Dante seolah-olah sedang menilai Naya, bukan sebagai manusia, tapi seperti aset bisnis yang bisa dihitung untung-ruginya. “Anda tahu kenapa Anda di sini.”
Naya mengangguk, tidak gentar. “Ya, saya tahu. Tapi saya juga yakin karya saya nggak melanggar hak cipta siapa pun. Semua ide saya orisinal.”
Dante tersenyum tipis, tapi senyum itu nggak sampai ke matanya. “Orisinalitas itu relatif, Nona Amira. Di dunia desain, kami memiliki hak cipta untuk elemen visual tertentu, dan proyek besar kami kebetulan memiliki kemiripan dengan karya Anda.”
“Kemiripan?” Naya hampir saja tertawa sinis. “Anda menggugat saya hanya karena ada sedikit kemiripan? Dunia seni nggak bisa dipatenkan dengan konsep-konsep samar kayak gitu.”
Dante menyilangkan tangannya di dada, tidak terganggu oleh ketegangan yang mulai terasa. “Anda mungkin menganggap ini masalah kecil, tapi kami tidak mengambil risiko di bisnis ini. Kami melindungi aset kami dengan segala cara, termasuk lewat jalur hukum kalau perlu.”
Naya mengepalkan tangannya di bawah meja. Ada sesuatu tentang pria ini yang bikin dia makin jengkel. Bukan hanya karena arogansinya, tapi cara bicaranya yang penuh kontrol, seolah-olah dia bisa mengendalikan segalanya sesuai keinginannya. Naya tidak akan membiarkan dirinya diremehkan.
"Anda mungkin bisa mengontrol bisnis Anda, Tuan Evander, tapi Anda nggak bisa mengontrol apa yang saya buat. Seni adalah ekspresi, bukan angka yang bisa dihitung di spreadsheet," Naya membalas tajam, menatap lurus ke mata Dante.
Ada jeda sejenak. Sorot mata Dante sedikit berubah, meski hanya sesaat. “Baiklah, kalau begitu kita lihat apakah ekspresi Anda bisa bertahan di pengadilan,” ucapnya dengan tenang.
Namun, sebelum dia sempat bicara lebih lanjut, pintu ruangan terbuka. Seorang asisten masuk membawa tumpukan dokumen. “Tuan Evander, saya rasa Anda ingin melihat ini.”
Dante memandangi dokumen-dokumen itu, lalu menarik napas pelan. “Kelihatannya kita harus menunda diskusi ini untuk sementara.”
Naya berdiri cepat. “Kalau begitu, kita selesaikan ini nanti. Tapi percayalah, saya tidak akan mundur.”
Dengan tegas, Naya berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Dante yang masih menatap pintu. Di luar ruangan, dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dante jelas bukan orang yang bisa diremehkan—bukan hanya karena kekuasaannya, tapi karena caranya meremehkan orang lain.
***
Setelah keluar dari gedung Evander Designs, Naya berjalan cepat menyusuri trotoar yang ramai. Udara panas Jakarta terasa menyengat, tapi pikirannya masih terus terfokus pada pertemuannya dengan Dante. Pria itu benar-benar membuat darahnya mendidih. Dengan rahang yang mengeras, dia bertekad tidak akan mundur dari tantangan ini.
Saat Naya masuk ke taksi yang menunggunya, ponselnya berdering. Nama di layar membuat senyumnya sedikit muncul, meski rasa kesal masih menggumpal di dadanya. Arfan. Dia selalu tahu cara menenangkan hati Naya, bahkan di saat-saat sulit.
“Halo, sayang,” jawab Naya, suaranya langsung melembut.
“Hai, Naya! Kamu di mana? Jangan bilang kamu masih di kota!” Suara Arfan terdengar ceria.
Naya mendesah, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Iya, aku baru keluar dari pertemuan. Masih di kota. Kenapa?"
Arfan tertawa. "Kamu lupa ya? Hari ini kita ada pemotretan prewedding di pegunungan. Kita harus berangkat sore ini kalau nggak mau ketinggalan cahaya matahari."
“Oh, Tuhan! Aku lupa,” Naya terkejut, memijat keningnya. Semua yang terjadi hari ini bikin dia lupa sama jadwal penting ini.
"Aku tahu kamu sibuk," suara Arfan terdengar lembut. "Tapi ini penting buat kita, kan?"
“Iya, aku tahu,” jawab Naya cepat. “Aku akan pulang dan siap-siap. Tunggu aku, ya.”
Arfan tertawa lagi. “Baik, aku jemput dalam satu jam. Siap-siap, ya? Aku nggak sabar lihat kamu di gaun cantik itu.”
Di tengah segala kekacauan hari ini, Naya merasa hatinya sedikit tenang. Arfan selalu jadi tempat aman buatnya. Setelah tiga tahun bersama, pemotretan prewedding ini jadi langkah besar menuju babak baru—pernikahan mereka yang akan datang. Meski karier Naya sering menyita waktu, Arfan selalu mendukung tanpa mengeluh.
“Aku juga nggak sabar, Fan. Sampai nanti,” ucap Naya lebih santai. Sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas, dia memandang keluar jendela, melihat hiruk-pikuk kota yang perlahan terasa lebih jauh.