Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Riana kecewa dengan kalimat itu ia tahu kalau dirinya di tolak. Riana menatap ke arah lain, air matanya sudah bercucuran membasahi pipinya membuat Vano merasa bersalah. "Na,"
"Kak, tapi aku beneran suka sama kakak."
"Ngga bisa Na, perasaan nggak bisa di paksakan. Kakak sayang sama kamu seperti kakak sayang sama Stevani. Riana menggeleng, ia langsung menghambur ke pelukan kakaknya.
"Kak Riana mohon, kita bukan sedarah. Aku mencintai kakak, huhuhu terima aku yah kak!" Riana menyerukan kepalanya pada leher Vano, tidak mau turun pada pangkuan Vano dan tidak mau melepaskan Vano membuat Vano risih sekali.
"Na jangan begini!"
"Kenapa kak? kenapa kakak nggak suka sama aku?" rengek Riana seperti anak kecil, Vano jadi gemas sendiri. Ia menyisir rambut Riana dengan jemari, menyandarkan tubuhnya pada sofa karena sudah mulai pegal menahan tubuh Riana yang duduk di pangkuannya.
"Kamu yakin perasaan yang kamu rasakan itu cinta?"
"Iyah kak, hatiku berdebar-debar terus akhir-akhir ini."
"Kamu salah Na, kamu cuma sayang sama kakak. Seperti yang sering kamu bilang, kamu kesepian. Kamu butuh kakak laki-laki yang sekarang sudah menjadi kakak kamu, seiring berjalan waktu kita semakin dewasa. Kamu merasa nyaman dengan kakak, tapi itu bukan cinta sayang tapi itu murni sayang kakak sama adik." terang Vano dengan lembut.
"Ngga kak, aku benar-benar cinta sama kakak hiks hiks."
"Dengan berat hati kakak minta maaf Na, kakak sudah punya tambatan hati."
"Bukannya dia udah mau nikah yah, kak Juwita kan?"
Dari mana Riana tahu, Vano berdecak kesal pasti Vani yang memberitahu gadis ini. Riana masih merengek agar Vano mau menjadi pacarnya dan Vano dengan sabar memberikan pengertian kalau cinta tidak bisa dipaksakan.
"Maaf Na, kakak sayang sama kamu hanya sebatas adik kakak, bukan wanita."
Jleb! Jleb!
Jadi begini rasanya di tolak untuk pertama kali oleh orang yang kita sukai. Riana mengungkapkan perasaannya, tau begini simpan saja sendiri, Riana bangkit dari pangkuan Vano dan berlari keluar ruangan tanpa berkata apapun.
"Riana!"
Vano berusaha mengejar namun terlambat karena gadis itu menghilang begitu cepat.
Riana berlari sekuat tenaga, air matanya berjatuhan dengan cepat dan menyedihkan, hatinya sakit tidak menyangka di tolak rasanya sesakit ini. Para pegawai kantor yang melihatnya bertanya-tanya dalam hati mereka tapi mereka pun terlalu takut menyimpulkan tentang yang terjadi.
Riana berhenti di trotoar, gadis itu ambruk dan menangis sendirian di sana. "Kenapa kak? kenapa?"
"Apa aku emang tidak pantas?"
Buru-buru Vano menyelesaikan pekerjaan nya karena khawatir dengan Riana. Dia takut Riana melakukan hal bodoh. Vano berlari keluar dari kantor, mencari sekitar kantor keberadaan Riana namun hasil nya nihil. Riana tidak terlihat sama sekali di sana.
"Kamu dimana Riana?"
Vano mencoba menelpon Riana namun panggilan nya di rijeck.
"Riana kamu dimana? ayolah jangan seperti anak kecil." Seru Vano berteriak memanggil gadis itu.
"Riana!"
Riana bersembunyi di balik pohon, ia merasa sangat malu, ia tidak siap menghadapi Vano sekarang. Ia terlihat sangat menyedihkan.
"Kakak tau kamu masih di sini kan? Ayolah dek, jangan kayak gini!"
Riana membekap mulutnya sendiri, ternyata dia memang di anggap adik selama ini oleh Vano. Riana memukuli kepalanya sendiri, menjambak rambutnya sendiri karena dirinya sudah baper dan merasa istimewa oleh sikap Vano kepadanya. "Bodoh! bodoh sekali kau hanya di anggap adik saja." makinya pada dirinya sendiri.
Vano lelah, ia sudah menelusuri jalan sekitar kantor namun tetap tidak menemukan Riana. Akhirnya Vano memilih kembali masuk ke dalam kantornya lagi. Ia ada janji dengan Yuna untuk memilih baju.
[Ma... Riana udah pulang belum?] Vano mengirim pesan pada ibunya.
Wita yang sedang menemani suaminya nonton acara olahraga merogoh saku bajunya karena ponselnya bergetar.
[Belum, tadi katanya mau nganter makan siang ke kantor buat kamu, emang Riana nggak ada di sana?]
[Oh tadi anaknya udah pergi mah. Mungkin mampir ke suatu tempat. Kalau Riana pulang kabari ya ma!]
"Kenapa sayang?" tanya Wira yang melihat istrinya berbalas pesan dengan seseorang.
"Ini loh Mas, Vano nyariin Riana."
"Loh bukannya tadi ke kantor kata kamu."
"Iya tapi udah pulang kata Vano udah sampe rumah apa belum?"
"Oh mas bersyukur deh Vano sayang banget sama gadis itu sama kayak sayang ke Stevani."
"Iya mas, aku aja nggak nyangka. Padahal kan dulu Vano kayak gak suka gitu yah kita angkat Riana jadi anak."
"Hhmmm waktu merubah segalanya, sayang."
Wita menatap kosong ke depan memikirkan perkataan suaminya tadi, waktu merubah segalanya tapi kenapa ibunya Riana masih tetap sama?
"Sayang."
"Hum."
"Lapar."
"Iya aku ambilin makanan dulu ya.."
"Iya sayang, makasih."
"Iya mas." Beginilah rutinitas Wira setelah pensiun, sebenarnya ia belum terlalu tua. Tapi putranya berkata sudah sanggup dan siap menggantikannya. Dan terbukti sudah dua tahun lebih Vano memimpin perusahaan semua berkembang begitu pesat.
"Assalamualaikum." Riana pulang sambil menundukkan kepalanya.
"Nak sudah pulang? sini duduk sama papa!"
"Em Riana ngantuk pa, mau tidur."
"Ya sudah, istirahat nak." Wira heran ada apa dengan gadis itu.
Wita kembali dari dapur dengan nampan berisi makanan dan cemilan untuk suaminya. "Ini mas."
"Suapin sayang."
"Iyah iyah, duh makin tua makin manja."
"Bukan tua sayang..." Wira paling tidak suka dikatain tua oleh istrinya. "Iyah makin matang maksudnya. Ini mas aaa..." Wira tersenyum menerima suapan istrinya dengan senang hati.
"Oh iya sayang."
"Hm."
"Tadi Riana sudah pulang."
"Dimana? kok aku nggak liat mas." Wita mencari-cari.
"Ada di kamar katanya ngantuk. Nanti kamu tanyain dong."
"Emangnya kenapa Mas?"
"Kayak sedih gitu anaknya, ajak ngobrol. Mas nggak mau anak-anak punya masalah dan mereka merasa sendiri."
"Iya mas, nanti aku tanya anak kita kenapa."
***
Riana membanting tubuhnya ke ranjang kembali menumpahkan tangisnya di atas bantal, demi apapun ia malu.
"Tapi aku cinta sama kamu Vano. Kenapa?" gadis itu menggila di kamarnya menghancurkan semua yang ada di meja rias nya bahkan ada yang melukai jarinya.
"Aku gak bisa, Vano harus jadi milikku!"
***
Vano menutup laptopnya, lalu melangkah keluar ruangan.
"Yuna!"
"Iya Tuan?"
"Ayo."
"Sekarang?"
"Besok! Ya sekarang lah! kau ini, cepat!" Yuna merapihkan meja nya lalu melangkah menyusul Vano keluar dari gedung kantor. Mereka melaju menuju butik tempat langganan pria itu.
"Kau pilih saja mau yang mana!"
Yuna merasa bingung, ia merasa harga di butik ini terlalu mahal.
"Jangan beli Di sini Tuan, mahal." bisiknya.
"Ini tidak ada apa-apa nya. Cepat pilih!"
"Dasar sombong!"
"Bukan sombong, tapi memang kenyataan aku kaya." Vano sudah menemukan bajunya tinggal menunggu Yuna. Wanita itu masih saja bingung mau membeli yang mana, alhasil karena tak mau membuat Vano makin lama menunggu ia memilih gaun yang paling murah saja. "Ini saja Tuan."
"Jelek sekali."
"Biar saja yang penting bisa di pakai dan sopan."
"Dasar norak! kau mau membuatku malu ya! ganti. Ambil yang lain." Vano memanggil pelayan butik agar membantu Yuna memilih baju saja, gadis itu tidak tau fashion sama sekali. Vano menunggu di ruang pas sebelum menyilangkan kaki dan menatap jam di pergelangan tangannya, jujur ia sedikit khawatir dengan adiknya Riana. Ala gadis itu sudah pulang apa belum ya?
Ia pun membuka ponselnya ternyata ia lega setelah membaca pesan dari ibunya yang bilang kalau Riana sudah kembali.
"Hah, anak itu bikin khawatir saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...