Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan Belas
Di saat yang bersamaan, Raka baru saja kembali dari Perusahaan. Ia pulang lebih awal dari biasanya, meskipun hari sudah sore. Sesampainya di rumah, ia langsung naik ke kamar di lantai paling atas. Saat membuka pintu, ia melihat Aeri dan Rio sudah menunggu di dalam.
"Hai, Sayang," sapa Aeri dengan ceria, menghampiri Raka dan memberi ciuman di kedua pipinya.
Raka terdiam, tidak berusaha membalas ciumannya. Ia melangkah mendekati Rio yang duduk cemberut di sofa. Wajah putranya terlihat murung, tidak seperti biasanya yang selalu menyambutnya dengan antusias.
“Kenapa kamu tampak begitu tidak senang?” tanya Raka sambil menatap Rio dengan penuh perhatian.
“Aku tidak mau pergi ke pesta!” Rio menjawab dengan nada ketus, melipat tangannya di dada.
“Kenapa tidak?” Raka mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres.
“Aku tidak mau ada wanita yang mencium dan mencubit pipiku!” Rio menjawab sambil mengerucutkan bibirnya, mengingat trauma dari pesta sebelumnya di mana pipinya terasa sakit dan penuh noda lipstik.
“Tenang saja, nanti kamu akan bersama ayah. Mereka tidak akan berani mengganggumu,” Raka berusaha menenangkan sambil mengusap kepala Rio dengan lembut.
“Ada anak-anak juga?” tanya Rio, matanya berbinar sedikit.
“Tenanglah, Sayang. Ibu sudah mengundang teman-teman untuk membawa anaknya juga,” Aeri menyela sambil sibuk memilih baju untuk malam itu.
“Baiklah, tapi aku ingin kita pergi bersama,” Rio bersikeras, menginginkan kehadiran Raka di sisinya. Mereka sering pergi terpisah, dan itu membuatnya merasa kehilangan.
“Tentu saja, Sayang,” jawab Raka dengan senyum, merasa lega.
Ketika mereka berbincang, Raka merogoh saku kemejanya dan tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar. Ia membuka pesan dan terkejut. Pesan dari Bibi Xia, yang jarang sekali menghubunginya.
[Tuan, saya khawatir dengan Nona Karin. Hari ini dia tidak mau makan sama sekali sejak pagi. Saya khawatir Nona Karin akan jatuh sakit. Saya juga menemukan botol minuman kosong di ruangan itu. Sepertinya Nona Karin mabuk. Tidak bisakah Anda kembali ke sini?]
Raka membaca pesan itu dengan cermat. Sejak pagi, ia memang tidak menghubungi Karin. Hari ini sangat sibuk dengan pertemuan investor yang akan berinvestasi di Perusahaannya.
Ia segera keluar dari kamar menuju ruang kerjanya dan mencoba menghubungi Karin, namun tidak ada jawaban.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi," suara operator terdengar membosankan di telinga Raka.
"Karin, tolong jawab," gumam Raka, berharap mendengar suara Karin di seberang sana.
Tak lama setelah itu, panggilan Raka akhirnya terjawab.
“Halo,” suara Karin terdengar serak dan lemah.
“Sayang, apa yang terjadi padamu?” Raka merasa lega mendengar suara gadis itu setelah beberapa kali panggilan tak terjawab.
“Siapa kau?” Karin bertanya dengan nada lesu, seolah tidak mengenali suaranya.
“Ini aku Raka. Kamu sakit?” Raka merasa bingung mengapa Karin tidak tahu siapa dia.
“Ah, itu kamu. Jangan khawatirkan aku, jaga dirimu baik-baik,” jawab Karin, suaranya terdengar semakin lemah.
“Apa kau mabuk?” Raka menebak. Ia merasa pasti Karin sedang dalam keadaan tidak baik.
“Itu bukan urusanmu!” jawab Karin dengan ketus.
“Karin, kamu tidak akan pergi ke pesta malam ini? Aku ingin kamu datang karena aku ingin memperkenalkanmu kepada semua orang,” Raka menjelaskan, berusaha meyakinkannya.
“Pesta? Aku tidak akan pergi ke mana pun. Apa kau ingin terus membuat hatiku sakit melihatmu bersama Aeri bermesraan seperti kemarin? Aku benar-benar muak. Hatiku sakit, hiks hiks hiks. Raka, ini benar-benar sakit.” Suara Karin mulai terisak, jelas terlihat ia sedang berjuang menahan tangis.
Raka terdiam mendengar curahan hati Karin. Ia tahu gadis itu sedang mabuk, tapi perasaannya tetap menghujam. Ia tidak bisa kembali ke vila karena sudah berjanji pada Rio untuk pergi bersama.
“Karin, maafkan aku,” Raka berkata lirih, merasa tidak berdaya.
“Jangan khawatirkan aku. Urus saja hidupmu bersama Aeri!” Karin langsung memutuskan sambungan telepon.
“Karin, Karin!” Raka memanggil namanya, tetapi tidak ada jawaban.
Dengan cepat, Raka memanggil seseorang untuk mengecek kondisi Karin di vila. Ia berharap orang itu bisa membantunya agar Karin mau datang ke pesta.
Setelah mengurus semuanya, Raka kembali ke kamar. Ia merasa bingung. Meskipun ingin membantu Karin, ia lebih memilih untuk tetap bersama Rio malam ini. Kembali ke vila hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
“Ada apa, Sayang?” Aeri menanyakan ketika melihat Raka kembali dengan wajah cemas.
“Tidak ada, aku hanya memeriksa berkas. Sepertinya ada yang kurang,” Raka menjawab, berusaha menyembunyikan pikirannya.
“Kau bisa mengambilnya kembali setelah pesta selesai,” Aeri menanggapi, tidak terlalu memedulikan.
“Hmmm, sebaiknya aku mandi dulu,” Raka merasa kepanasan dan perlu menyegarkan diri.
“Tunggu sebentar!” Aeri berkata sambil mengambil jas untuk Raka. “Kamu harus pakai yang ini supaya kita bertiga kelihatan serasi,” katanya, menunjukkan pakaiannya yang berwarna cokelat muda.
“Terserah kamu,” Raka menjawab sambil pergi ke kamar mandi, membiarkan Aeri dengan rencananya.