menceritakan seorang anak perempuan 10tahun bernama Hill, seorang manusia biasa yang tidak memiliki sihir, hill adalah anak bahagia yang selalu ceria, tetapi suatu hari sebuah tragedi terjadi, hidup nya berubah, seketika dunia menjadi kacau, kekacauan yang mengharuskan hill melakukan perjalanan jauh untuk menyelamatkan orang tua nya, mencari tau penyebab semua kekacauan dan mencari tau misteri yang ada di dunia nya dengan melewati banyak rintangan dan kekacauan dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YareYare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Anak Ku Menangis Ketakutan
Kerajaan Magi adalah sebuah negara besar tempat tinggalnya para penyihir yang berbakat, sehingga banyak sekali orang dari berbagai tempat datang ke Kerajaan Magi untuk mempelajari sihir. Selain banyaknya orang-orang hebat, di Kerajaan Magi terdapat banyak hal-hal yang indah, mulai dari perkotaan hingga pedesaan. Meski Kerajaan Magi adalah tempatnya para penyihir, ada juga rakyat biasa yang tidak memiliki sihir. Setiap rakyat kerajaan tidak memandang kekuatan, mereka yang memiliki sihir dan yang tidak memiliki sihir bisa saling berbaur dengan damai dan saling membantu satu sama lain.
Pada siang hari yang cerah di sebuah pasar besar, di tengah kerumunan orang, terlihat seorang anak perempuan sedang berlari sambil loncat-loncat. Dia memiliki tinggi badan yang kecil, rambut panjang berwarna putih, mata yang berwarna merah, dan ekspresi yang ceria. Orang-orang di sekitar melihat anak itu yang membuat mereka ingin sekali menggendong dan mengelus kepalanya.
"Ibu, Ayah, lihat air mancur itu! Sangat indah sekali, hahaha."
"Hill, awas! Hati-hati kalau kamu lari-lari begitu, nanti jatuh. Aduh, Ayah, hentikan dia! Aku khawatir dia terjatuh."
"Tidak apa-apa, sayang. Kita jarang berbelanja ke kota, biarkan anak kita bersenang-senang. Lagian, kita kan berbelanja untuk pesta ulang tahun anak kita yang ke-10, aku tidak sabar menunggu malam hari. Hei, Hill, tunggu! Ayah juga ingin ikut bersenang-senang, hahahaha."
"Aduh, ya ampun, anak dan ayah sama saja! Ya ampun, kalian ini, hentikan! Jangan membuat ibu khawatir."
Waktu pun berlalu. Pada sore hari menjelang senja, di sebuah pedesaan yang indah, terdengar suara hembusan angin. Terlihat tiga orang yang sedang berjalan di antara rumput-rumput hijau.
"Ayah, Ibu, hari ini sangat menyenangkan sekali. Apakah nanti kita akan pergi berbelanja bersama lagi?"
"Aaaaa, anak Ayah lucu sekali kalau tersenyum! Oke, besok mari kita pergi lagi. Apa sih yang enggak buat Hill?"
"Hey, Ayah, kamu nggak bisa. Besok kan ada pekerjaan yang harus kamu lakukan."
"Aaaahhh, Ibu tegas banget deh! Libur aja sehari tidak apa-apa kan? Yang penting aku bisa melihat Hill tersenyum, karena senyuman Hill itu imut banget."
"Aduh, jangan manja ah, udah gede."
"Hahaha, Ayah seperti anak kecil."
Waktu pun berlalu, malam sudah tiba. Di sebuah rumah sederhana, yang tidak kecil dan tidak besar, rumah itu diterangi oleh berbagai macam bola-bola sihir. Terdapat beberapa orang yang sedang melakukan pesta."
"Aku sebagai ayah Hill ingin mengucapkan terima kasih kepada semuanya karena telah hadir di pesta ulang tahun anakku, Hill, yang ke-10."
Para tamu yang hadir mulai memberikan tepuk tangan dan memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Hill.
"Hill, ayo berbicara! Ucapkan terima kasihmu kepada tetangga kita."
Hill, dengan ekspresi bahagia dan merasa semangat, pun berteriak.
"Paman, Bibi, Kakak, semuanya, terima kasih karena sudah datang menemui Hill. Aku sayang kalian semua."
Para tamu pun ikut semangat ketika melihat Hill, lalu berkata,
"Seperti biasa, melihat Hill semangat membuat kita juga ikut semangat. Hey, semuanya, ayo kita berpesta!"
Mereka pun berpesta untuk merayakan ulang tahun Hill yang ke-10. Mereka berdansa, bernyanyi, sementara para orang dewasa berkumpul sambil minum. Hill dan teman-temannya sedang bermain.
Saat Hill bermain, Ayah dan Ibu Hill memanggilnya, lalu mereka memberikan sebuah hadiah kepada Hill.
"Hill, Ibu ingin memberikanmu buku ini."
Ibu Hill memberikan sebuah buku dengan sampul putih polos yang ringan tetapi sedikit tebal. Hill pun merasa senang.
"Terima kasih, Ibu. Aku sangat suka dengan buku bergambar."
"Hey sayang, apakah kamu yakin memberikan itu sekarang? Umurnya baru 10 tahun."
"Tidak apa-apa, Ayah. Dia tidak akan mengerti, kok."
"Tapi bagaimana jika dia mengerti?"
"Kalau gitu, bagus dong! Hill akan langsung menjadi anak yang hebat."
"Aaahh, justru itu yang aku tidak mau. Aku ingin Hill tetap menjadi anak manja yang imut."
"Ayah, Ibu, kalian sedang membicarakan apa?"
"Ayah dan Ibu sedang membicarakan betapa imutnya kamu."
Sang Ayah bercanda dengan Hill sambil mencubit-cubit pipi Hill.
"Hahaha, Ayah, hentikan! Ngomong-ngomong, mana hadiah Ayah?"
"Hehe, hadiah Ayah adalah ini."
Ayah Hill memberikan sebuah tas kecil berwarna putih. Tas itu memiliki bentuk seperti kepala kelinci yang lucu.
"Lucu sekali! Hill sangat menyukai ini. Ini sangat lembut, hahahaha. Lihat, lihat, buku Ibu bisa ku masukkan ke dalam tas ini. Wow."
"Aaahhh, Ayah sudah tidak tahan melihat keimutan Hill, Ayah ingin pingsan!"
Setelah Ayah dan Ibu Hill memberikan hadiahnya, Hill pun pergi mendatangi teman-temannya sambil memperlihatkan tas dan bukunya.
Waktu terus berlalu, pesta pun sudah selesai. Para tetangga sudah pulang, rumah pun menjadi sepi, hanya ada mereka bertiga.
"Hey, Ayah, lihat, Hill tertidur di kursi. Sepertinya dia kelelahan karena sudah bermain. Tolong gendong dia ke kamar, aku mau membersihkan meja."
Ayah Hill menggendong Hill ke dalam kamar. Hill, yang sedang tertidur, mengucapkan sesuatu.
"Ayah, tadi itu sangat menyenangkan. Aku senang menjadi anak Ibu dan Ayah."
Ayahnya yang mendengar itu pun tersenyum, lalu menidurkan Hill di kasurnya.
Keesokan harinya, di pagi hari...
"Sayang, aku berangkat kerja dulu."
"Hati-hati di jalan."
"Ayah, aku ingin makan kue. Nanti belikan Hill kue."
"Baiklah, nanti sore waktu pulang Ayah belikan kue yang besar buat Hill."
"Horee!"
Ayah Hill pun pergi bekerja. Waktu pun berlalu di siang hari, terlihat anak-anak pedesaan memanggil Hill dan mengajak Hill bermain.
"Ibu, Hill ingin bermain."
"Baiklah, tapi jangan jauh-jauh ya."
"Baiklah."
Hill dan teman-temannya pergi bermain di desanya. Mereka bersenang-senang bersama.
"Hey Hill, ini bunga untukmu."
"Terima kasih, Kevin."
"Hill, ketika aku sudah besar nanti, aku akan menjadi penyihir agung dan akan selalu melindungimu."
"Aduh, aduh, inilah kenapa aku tidak suka bermain dengan anak laki-laki. Mereka selalu lebay kalau ada wanita di dekatnya. Ayo kita pergi, Hill."
Mereka pun lanjut bermain. Teman-teman Hill menunjukkan beberapa sihir kepada Hill. Hill, yang melihatnya, merasa sangat senang dan terpukau. Di antara mereka, hanya keluarga Hill yang tidak memiliki kekuatan sihir, tetapi mereka tidak saling merendahkan. Waktu pun berlalu.
Di sore hari, ketika Hill sedang berjalan pulang menuju rumahnya, para tetangga menyapa Hill dengan tersenyum.
"Hill, ini buah stroberi. Silakan dimakan."
"Terima kasih, Paman."
Tetangga Hill yang melihatnya selalu menyapanya sambil memberikan sesuatu. Hill adalah anak yang ceria dan murah senyum. Semangatnya membuat orang-orang ikut bersemangat.
"Ibu, aku pulang. Apakah Ayah sudah pulang?"
"Hill, kamu kotor sekali! Ya ampun, ayo mandi dulu."
"Ayah belum pulang, ya?"
"Sebentar lagi dia pulang, kok. Mandi dulu aja."
"Baiklah."
Waktu berlalu, malam sudah tiba. Hill terus menanyakan Ayahnya kepada Ibunya.
"Ibu, kok Ayah belum pulang sih?"
"Hmm, tunggu aja ya, nanti juga datang."
"Lama sekali, tidak seperti biasanya."
Ibu Hill merasa khawatir kepada suaminya karena tidak biasanya Ayah pulang terlambat. Hill dan Ibunya menunggu di ruang tengah. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang seperti dipukul dengan keras oleh seseorang, membuat Hill dan Ibunya kaget. Ibu Hill tidak ingin membuat Hill takut. Sambil tersenyum, Ibu Hill menyuruh Hill untuk menunggu, lalu Ibu Hill berjalan menuju pintu.
Saat Ibu Hill berada di depan pintu, suara ketukan yang keras mulai terdengar lagi. Dia pun memberanikan diri lalu membuka kunci pintunya. Seketika, pintu pun langsung terbuka. Muncul benda besar yang terlihat aneh, membuat sang Ibu kaget.
"Aaahhh, akhirnya sampai juga! Lelah sekali membawa kue yang sangat besar. Aku harus cepat-cepat melihat isinya. Semoga kue-nya tidak rusak. Kue-nya terlalu besar, tidak akan masuk. Aku harus memotongnya juga. Sayang, tolong ambilkan pisau."
"Ya ampun, kamu membuatku kaget!"
Hill, setelah mendengar suara Ayahnya, langsung berlari ke depan rumah dengan senang.
"Ayah, lama sekali."
"Wuaaaa, Hill, ku sayang. Maaf, Ayah telat pulang, tapi Ayah sudah membawakan kue untukmu. Kue yang besar, saking besarnya, kue-nya tidak bisa masuk ke dalam rumah, harus dipotong. Hahaha."
Mereka pun memotong kue-nya dan memakannya di dalam rumah. Waktu pun berlalu, kue yang mereka makan masih tersisa banyak. Mereka sudah kenyang, dan mereka bertiga pun pergi ke kamar untuk tidur.
"Oh, Hill, kamu mau tidur menggunakan tas dari Ayahmu?"
"Iya, aku menyukainya. Aku akan tidur menggunakan ini. Buku yang Ibu berikan juga ada di dalam tas ini, tetapi aku tidak mengerti ini buku bergambar apa, tetapi aku tetap menyukainya. Aku akan tidur dengan keduanya malam ini. Apakah tidak boleh?"
"Aaahhh, Hill sayang, tentu saja boleh."
Mereka pun tidur bersama di kasur yang sama.
"Ayah, Ibu, apakah besok kita bisa pergi ke kota lagi?"
"Oke, baiklah, besok kita akan ke kota."
"Aduh, kamu ini, besok kan kerja."
"Eehh, tidak apa-apa kan, libur sehari demi Hill."
"Aduh, kalian ini... Mau gimana lagi, cuma untuk besok, ya. Baiklah, mari kita ke kota lagi besok."
"Horee! Terima kasih, Ayah, Ibu. Aku senang kalian adalah Ibu dan Ayahku. Aku tidak sabar menantikan hari esok."
Hill pun perlahan mulai tertidur.
Di sebuah tempat yang gelap, terlihat sosok pria dengan wajah yang tidak terlihat karena gelapnya tempat itu. Tidak diketahui di mana dia berada, dan siapa dia. Sosok pria itu berbicara.
"Sudah waktunya kita mulai."
Di desa tempat Hill dan orang tuanya yang sedang tidur, di tengah malam itu, desa sangat sunyi. Para penduduk sudah tertidur, tidak ada suara apapun di desa itu. Hill pun terbangun, lalu membangunkan Ayahnya.
"Ayah, aku ingin ke toilet, antar aku."
Ayah Hill pun bangun, dan mereka berdua pergi ke toilet. Waktu berlalu, Hill dan Ayahnya berjalan kembali ke kamar.
"Hill, bahkan ke toilet pun kamu masih menggunakan tas itu? Apakah kamu sangat menyukainya?"
"Aku sangat menyukainya, bahkan di dalam tas ini ada buku dari Ibu. Semua yang kalian berikan, aku menyukainya."
Saat berbicara sambil kembali ke kamarnya, Hill dan Ayahnya tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang berada di dekat rumah mereka. Terdengar banyak sekali langkah kaki.
"Hill, kamu pergi duluan ke kamar."
Tak lama kemudian, saat Ayah berjalan dua langkah ke depan, tiba-tiba sebuah ledakan muncul dari samping dan mengenai Ayah Hill. Seketika, Hill kaget melihat Ayahnya terhempas ke samping dengan tubuh yang dipenuhi api. Ayahnya pun berteriak.
"Hill, lariiiiii!"
Hill dengan wajah ketakutan terduduk diam, matanya terpaku pada Ayahnya yang terbakar.
Air mata mengalir deras dari mata Hill. Dengan suara gemetar, dia bertanya pelan.
"Ayah, Ayah, apakah Ayah baik-baik saja?"
Hill yang masih sangat ketakutan dan bingung, hanya bisa duduk di tempatnya, terus memanggil-manggil Ayahnya yang terbakar. Tak lama kemudian, Ibu Hill tiba di tempat itu dan melihat suaminya dalam keadaan terbakar. Ibu Hill terkejut dan berteriak panik, mencoba mendekati suaminya. Namun, tiba-tiba terdengar ledakan keras dari luar rumah, disusul dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Sebuah anak panah tiba-tiba melesat dan mengenai kaki Ibu Hill.
Dengan ketakutan yang semakin memuncak, Ibu Hill segera menggendong Hill yang sedang menangis ketakutan dan menahan rasa sakit di kaki nya. Dia berlari cepat menuju pintu belakang rumah, berusaha melarikan diri dari serangan yang datang. Hill terus menangis, sambil memanggil-manggil Ayahnya.
Di luar, suasana sangat kacau. Orang-orang bersenjata anak panah dan sihir menyerang tanpa ampun. Suara teriakan dan ledakan terdengar di seluruh desa. Di tengah kekacauan itu, beberapa orang yang menyerang melihat Ibu Hill yang sedang berlari sambil menggendong Hill. Mereka segera mengejar mereka.
Ibu Hill yang menyadari dirinya sedang dikejar, semakin cepat berlari menuju hutan yang terletak tak jauh dari desa. Namun, setelah satu jam berlari tanpa henti, tubuh Ibu Hill mulai kelelahan. Dia terjatuh bersama Hill yang masih menangis ketakutan. Ibu Hill, dengan sisa tenaga yang tersisa, menatap Hill dan tersenyum, meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.
"Hill hill, tidak apa apa, ibu ada disini, jangan menangis, kamu harus kuat, anak ibu kan selalu ceria tersenyum dan semangat".
Hill melihat mata ibu nya.
"Tidak apa apa ok, semua nya akan baik baik saja".
Hill mulai berhenti menangis, lalu kaget melihat kaki ibu nya.
"Ibu kaki mu".
"Oh ini tidak apa apa, ibu akan mencabut nya".
Dengan menahan rasa sakit agar hill tidak merasa cemas, ibu nya mencabut anak panah dari kaki nya secara perlahan sambil menahan rasa sakit, anak panah itu tercabut lalu seketika ibu hill sadar, bahwa dia sudah meninggal kan jejak darah, ibu hill mulai berdiri dan akan menggendong hill, seketika sebuah anak panah muncul dan menusuk pergelangan tangan ibu hill, lalu anak panah muncul lagi dan menusuk kaki ibu hil, ibu hill pun terjatuh lalu berteriak kepada hill.
"Hill, cepat lari! Cepat, lari! Ibu akan baik-baik saja. Cepat, lari!"
Hill kembali menangis, ketakutan yang begitu besar menghimpit dirinya. Ibu Hill, dengan sisa tenaga yang ada, memaksakan diri untuk bangun, meskipun tubuhnya sangat lemah. Ia menarik Hill agar segera bangun, dan saat Hill terbangun, Ibu Hill mendorongnya dengan lembut namun tegas, sambil tersenyum penuh kasih.
"Berjanjilah, anak Ibu, jangan menangis. Lari, lari demi Ibu. Kamu harus hidup."
Hill, meski masih diliputi rasa takut, menatap wajah Ibu yang penuh harapan, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mulai berlari.
Namun, saat berlari, Hill tidak bisa menahan rasa takutnya dan melihat ke belakang. Di antara deretan pohon-pohon, di bawah langit yang cerah dengan pemandangan bintang-bintang yang berkelip, Hill melihat banyak orang yang menghampiri Ibu-nya. Cahaya bulan menyinari wajah Ibu yang tampak penuh kasih, namun juga terluka. Hill melihat Ibu tersenyum, meski air mata mengalir di wajahnya.
"Hill, hiduplah... Ibu dan Ayah akan selalu menyayangimu. Selamat tinggal..."
Hill terus berlari, namun semakin jauh ia pergi, tubuhnya semakin lelah. Tak tahu sudah berapa lama ia berlari, Hill mulai kehilangan kesadaran. Tenaga yang tersisa pun habis, dan akhirnya Hill terjatuh ke tanah, pingsan dalam ketidakberdayaan.
Sebuah kegelapan, tidak terlihat apa-apa saat itu. Namun, kegelapan itu perlahan menghilang, dan seketika semuanya menjadi putih terang. Malam telah berlalu. Hill pun membuka matanya, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Ia menatap ke kanan dan kiri, kebingungannya semakin dalam. Tiba-tiba, matanya membelalak, kedua tangan memegang kepala, mulutnya terbuka seakan ingin berteriak.
Hill mengingat kembali apa yang baru saja terjadi padanya, dan perlahan ia mulai berjalan. Tubuhnya lemas, langkahnya lambat, tetapi ia terus melangkah, berbicara dengan suara pelan.
"Ibu, Ayah, aku harus kembali. Semoga Ibu dan Ayah ada di rumah. Jika aku terlalu lama bermain, mereka pasti akan khawatir. Kita sudah berjanji akan pergi ke kota hari ini. Aku sudah menantikannya."
Hill terus berjalan, kepala menunduk. Langkahnya terseok-seok, dan waktu pun berlalu. Ia melangkah di antara pepohonan, hingga ia tiba di sebuah pohon yang dipenuhi darah. Dengan ketakutan yang mulai menyelimuti hatinya, Hill terus berjalan.
Tak lama kemudian, ia sampai di desa. Namun, desa yang dilihatnya kini bukanlah desa yang ia kenal. Banyak rumah yang hancur, asap mengepul di udara. Hill terus berjalan ke rumahnya, tetapi semakin ia mencari, semakin sulit ia menemukannya. Ketika itu, ia pun terduduk di tanah, kelelahan dan kebingungannya semakin dalam. Matanya kosong, tetapi saat menyadari sesuatu, ekspresi wajahnya berubah. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya.
Hill melihat sekelilingnya dan menemukan banyak mayat tergeletak di dekatnya. Dengan ketakutan yang semakin meningkat, ia berdiri dan berlari ke hutan, mencari ibunya. Waktu berlalu, dan Hill tiba di tengah hutan lagi. Di sana, ia melihat sebuah pohon yang penuh darah, yang membuatnya ingat bahwa ia dan ibunya berpisah di tempat ini.
Hill pun berhenti, terjatuh di tanah, dan menangis. Kenangan yang menyakitkan kembali menghantui dirinya. Namun, beberapa saat kemudian, ia teringat akan kata-kata terakhir ibunya. Hill pun berhenti menangis, perlahan menyeka air mata, lalu tersenyum dan berbicara dengan penuh keyakinan.
"Ibu, jangan khawatir. Saat ini aku yakin ibu sedang berada di suatu tempat, menunggu aku. Aku berjanji akan mencari ibu. Aku yakin ibu masih ada di dunia ini. Dimanapun ibu berada, aku akan menemukanmu. Tidak seperti ayah dan penduduk desa lainnya, aku tidak melihat ibu di manapun sekarang. Ibu tetaplah bersembunyi sampai aku menemukannya. Dan aku berjanji, aku tidak akan menangis ataupun tersenyum dan berbahagia lagi. Ini adalah terakhir kalinya. Aku ingin ibu lah yang melihat senyum canda tawa ku, suatu hari nanti, saat kita bertemu."
Sebuah tekad yang kuat membuat semangat Hill menyala-nyala seperti api. Hill tidak ingin emosi kesedihan atau kebahagiaan menghancurkan tekadnya untuk mencari ibunya.
Tak lama kemudian, sebuah cahaya kecil terbang mengelilingi tubuh Hill. Cahaya itu kemudian berkata:
"Aku suka dengan semangatmu, Hill. Kalau begitu, biarkan aku membantu mencari ibumu."
"Siapa kamu?" tanya Hill, heran.
Cahaya itu tiba-tiba berubah menjadi sosok kecil, yang terlihat seperti seorang wanita mungil, seukuran gelas minum. Sosok itu memiliki empat sayap kecil di punggungnya dan telinga yang panjang. Rambutnya pendek dan berwarna merah terang, sementara matanya tertutup kain putih yang mengikatnya.
"Aku adalah Levia, salah satu peri yang menjaga hutan ini. Aku melihat segala sesuatu yang terjadi padamu, dan aku mengetahui apa yang terjadi di desamu juga. Aku turut berduka atas kehilangan ayahmu."
"Jika hanya itu yang ingin kau ucapkan, pergilah. Aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu," kata Hill sambil melangkah maju, tidak ingin diganggu.
"Hey, aku belum selesai berbicara! Tunggu!" Levia berkata sambil terbang mendekat, berhenti di depan Hill. "Aku sudah bilang, aku ikut denganmu. Dan soal ibumu, memang benar dia masih hidup, dan aku tahu di mana dia sekarang."
Hill berhenti berjalan, memalingkan wajahnya dan menatap Levia dengan ekspresi serius. Setelah beberapa detik diam, Hill berkata:
"Kalau begitu, beritahu aku."
Hill pun mulai berjalan lagi, menjauh dari desanya, diikuti oleh Levia yang terbang di dekatnya. Mereka berjalan sambil berbicara.
"Ibumu dibawa oleh mereka."
"Sebenarnya, siapa mereka? Dan dibawa ke mana ibuku?" tanya Hill, penasaran.
"Mereka adalah tentara dari Kerajaan Yidh. Perang sudah dimulai. Banyak kerajaan yang sedang berperang sekarang. Bahkan saat kita berbicara, peperangan sedang berlangsung. Serangan Yidh terhadap Magi adalah serangan mendadak. Kita bisa melihatnya dari sini. Lihat banyak asap di sana? Itu Kota Magi. Mereka sedang berperang untuk melindungi kerajaan mereka. Peperangan ini terjadi sangat mendadak, dan tidak hanya Yidh dan Magi yang terlibat. Negara lain juga sedang berperang, dan itu semua terjadi bersamaan dengan kejadian malam tadi. Sepertinya semua ini sudah direncanakan oleh seseorang. Tidak peduli seberapa kuat sihir penduduk Magi, dalam perang tetap saja mereka kesulitan. Setiap negara memiliki kelebihan masing-masing. Apalagi yang menyerang Magi adalah Yidh, yang juga merupakan negara penyihir, meskipun mereka berada di benua yang berbeda."
"Kamu banyak bicara, Levia. Cukup jelaskan intinya saja."
"Maaf, Hill. Jadi begini, perang sedang terjadi di berbagai tempat, dan ibumu saat ini berada di negara Yidh, yang jaraknya sangat jauh. Kalau kita berjalan kaki menuju ke sana, dibutuhkan waktu setahun—itu pun kalau tidak ada hambatan dan kita terus berjalan tanpa beristirahat."
"Aku tidak peduli. Meskipun butuh waktu satu atau dua tahun, aku akan menemukan ibuku."
"Jika kamu terus begini, kamu akan mati dalam perjalanan. Kamu masih kecil, umurmu baru 10 tahun. Aku tahu kamu juga hanya manusia biasa, tanpa kekuatan sihir sedikit pun. Kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi di perjalanan. Bisa saja kita diserang monster atau terjebak dalam peperangan. Meskipun aku seorang peri, aku tidak punya kemampuan untuk bertarung. Jadi tolong, tenangkan dirimu, dan mari kita pikirkan baik-baik bagaimana caranya agar kita bisa pergi ke Yidh dengan aman."
"Kenapa kamu peduli padaku? Aku bahkan tidak mengenalmu."
"Tiga tahun yang lalu, kamu pernah menolongku, jadi aku ingin membalas budi padamu."
"Maaf, aku tidak mengingatnya. Kamu tidak perlu membalas budi. Kamu bisa tinggalkan aku. Aku sudah cukup sendiri, selama aku tahu di mana ibuku berada. Aku tidak ingin ada beban yang menghalangi perjalanan ini."
Setelah mendengar perkataan itu, Levia pun mulai membuka kain yang menutupi matanya, mata berwarna merah seperti warna rambut nya, levia sambil tersenyum, lalu berkata:
"Hei, Hill, aku memiliki satu kekuatan yang hanya bisa digunakan sekali dalam setahun. Saat aku membuka kain ini, aku akan melihat segala sesuatu yang ada dalam dirimu selama lima detik. Aku bisa mendengar isi hatimu, membaca pikiranmu, merasakan perasaanmu, masa lalumu, impianmu, bahkan masa depanmu selama beberapa hari dari sekarang, mulai dari sekarang. Dan sekarang, aku akan menggunakannya untukmu. Aku tahu apa yang ada dalam dirimu. Kamu sangat ingin menolong ibumu. Kamu memang berniat pergi ke Yidh. Kamu sadar kamu tidak bisa apa-apa, tapi tetap memaksakan dirimu untuk segera menolong ibumu dan bertemu dengannya. Kamu menyuruhku pergi, seakan-akan aku hanya beban, tapi aku tahu, kamu hanya tidak ingin melihatku terlibat dalam bahaya karena dirimu. Meskipun kamu tidak mengingatku, meskipun kamu membuang sebagian emosi dan perasaanmu, kamu tetap seorang gadis kecil yang baik. Aku akan tetap mengikuti dan membantu kamu."
"Baiklah, Levia, aku minta maaf, dan terima kasih karena sudah mau membantu aku. Aku akan mendengarkan saranmu."
"Hahaha, bagus, Hill. Oke, jadi begini, meskipun aku sudah melihat masa depanmu, aku tidak bisa memberitahumu. Aku juga tidak bisa memberikan berbagai ekspresi, karena jika aku memberitahumu, atau kamu menyadari sesuatu dari ekspresiku, maka kita berdua akan mati."
"Kekuatanmu berbahaya sekali, lain kali gunakan dengan benar, jangan digunakan kepada orang seperti aku."
"Hill, seandainya malam tadi aku segera menolongmu, pasti semua ini tidak akan terjadi. Saat itu, aku ingin menolong kamu dan orang tuamu, tetapi Ratu Peri tidak membiarkan aku pergi. Maafkan aku."
"Levia, kamu tidak bersalah, tidak perlu minta maaf."
"Baiklah, Hill, terima kasih. Kalau begitu, kita akan membicarakan bagaimana cara kita pergi ke sana. Hill, pertama-tama, kita tidak bisa hanya berjalan ke sana. Kamu masih kecil, dan kamu tidak bisa menggunakan sihir. Itu mustahil. Jadi, kita harus mencari seorang penyihir yang bisa menggunakan sihir teleportasi untuk membantu kita. Pengguna sihir teleportasi di dunia ini sangat sedikit. Yang ku tahu, hanya ada lima orang yang bisa melakukannya: dua dari bangsa manusia, dua dari bangsa elf, dan satu lagi dari yang ku dengar dia adalah monster yang sangat jahat."
"Jadi, bagaimana kita mulai?"
"Dua pengguna sihir teleportasi berada di dua negeri sihir besar. Kamu tahu kan di mana itu? Satu ada di Yidh, satu lagi ada di Magi, yaitu di negeri kamu. Itulah sebabnya tentara Yidh bisa berada di sini. Kita hanya perlu mencari pengguna sihir teleportasi di kerajaan Magi, lalu meminta dia untuk mentransportasikan kita ke Yidh. Pengguna sihir teleportasi adalah orang yang sangat kuat. Mereka berbeda dengan penyihir lainnya, mereka memiliki tanda sihir di leher mereka."
"Apakah kamu yakin bisa semudah itu dia membantu kita? Kau tahu, saat ini sedang banyak peperangan. Hal ini tidak semudah yang kau bayangkan."
"Aahhh, iya juga... kamu pintar juga ya. Bahkan jika kita pergi ke kota, sebelum kita bertemu penyihir itu, kita pasti akan langsung dibawa ke tempat pengungsian dan dijaga oleh banyak prajurit."
"Apakah kamu yakin bisa membantu aku?"
"Hahahaha, tenang saja, tidak usah khawatir. Untuk sekarang, teruslah berjalan menuju kota sambil kita memikirkan caranya. Pastikan kita lewat hutan saja, sepertinya melewati jalan utama tidak akan aman."
Waktu terus berlalu, Hill dan Levia terus berjalan. Tak lama kemudian, semakin dalam mereka memasuki hutan, terdengar suara aneh yang sangat berisik mendekati mereka. Hill dan Levia terkejut, lalu berlari ke belakang pohon besar dan menemukan sebuah lubang. Mereka bersembunyi di dalamnya.
Suara itu semakin mendekat, hingga akhirnya seolah-olah berada tepat di belakang mereka. Di dalam persembunyian, Hill menemukan sebuah celah kecil di pohon. Dengan hati-hati, ia mencoba mengintip melalui celah tersebut. Betapa terkejutnya Hill ketika ia melihat sebuah tangan yang sangat besar, dipenuhi cakar panjang dan tajam, serta cairan merah seperti darah yang menetes dari cakar itu. Makhluk itu begitu besar, hingga Hill hanya bisa melihat satu tangannya saja.
Ketakutan, Hill tidak sengaja menggoreskan tangannya ke serpihan kayu yang ada di dalam pohon. Suara gesekan itu membuat makhluk tersebut mendengar gerakan mereka. Hill dan Levia semakin panik, berusaha berdiam dengan hati-hati di dalam pohon. Tak lama setelah itu, sebuah bayangan muncul di depan mereka, dan sebuah jari raksasa, yang masih meneteskan darah, muncul melalui celah lubang tempat persembunyian mereka.
Jari besar itu mulai masuk ke dalam lubang tempat mereka bersembunyi, dan tetesan darahnya mengenai kaki Hill.