Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan yang mengesankan
Adegan 1: Pertemuan di Restoran
Suasana restoran agak ramai pada malam hari. Hesti, seorang wanita berumur 25 tahun yang merantau untuk bekerja, menghampiri meja tempat Dody, pria berumur 40 tahun, duduk sendirian. Dody sedang melihat menu saat Hesti datang untuk mengambil pesanan.
Hesti tersenyum ramah"Selamat malam, Pak. Sudah siap pesanannya?"
Dody melihat Hesti dengan ramah "Belum, Mbak. Saya masih bingung mau pesan apa. Ada rekomendasi mungkin?"
Hesti tersenyum kecil "Kalau Bapak suka yang pedas, saya bisa rekomendasikan Ayam Rica-Rica. Rasanya pedas tapi pas."
"Boleh, Ayam Rica-Rica ya. Minumnya teh tawar saja." Sahut Dody
"Baik, Pak. Saya segera buatkan."
Hesti hendak pergi, tapi Dody tampak tertarik untuk melanjutkan percakapan.
"Sudah lama kerja di sini, Mbak?"tanya Dody
"Baru dua tahun, Pak."Sahut Hesty dengan sopan
"Merantau, ya? Tinggal di sini sendirian?"tanya Dody lagi
"Iya, Pak. Saya merantau. Sahut Hesty"Anak saya tinggal di kampung bersama ibu saya."Hesty pun menjelaskan soal anak nya yang ditinggal dikampung dan dirawat sama ibunya
"Wah, pasti berat jauh dari anak."
Hesti tersenyum lembut"Iya, Pak. Namanya juga demi masa depan anak. Saya harus kuat meskipun jauh dari dia."
Dody pun mengangguk dengan simpati "Hebat, Mbak. Tidak mudah pastinya, tapi semoga segala usahanya lancar ya."
Hesti tersenyum"Terima kasih, Pak. Doanya sangat berarti."
"Anak Mbak umurnya berapa?"Tanya Dody selanjutnya
"Baru lima tahun, Pak. Masih kecil, jadi saya sering kangen. Tapi, Alhamdulillah ada ibu yang bantu jagain di kampung."jelas Hesty lagi
Dody tersenyum kagum "Pasti Mbak Hesti wanita yang kuat. Semoga semua berjalan lancar untuk Mbak dan keluarga."
Hesti "Amin, terima kasih banyak, Pak. Saya permisi dulu ya, nanti saya bawakan pesanannya."
Hesti pergi untuk menyiapkan pesanan, meninggalkan Dody yang tampak terkesan. Ada sesuatu dalam percakapan itu yang menyentuh hati mereka berdua.
Setelah beberapa saat, Hesti kembali ke meja Dody sambil membawa pesanan. Restoran mulai agak sepi, membuat suasana lebih tenang. Hesti meletakkan piring di meja Dody dan tersenyum ramah.
Hesti datang dengan membawa pesanan Dody"Ini pesanannya, Pak. Silakan dicoba. Semoga cocok di lidah."
Dody mencicipi sedikit Ayam Rica-Rica"Hmm, enak sekali! Ini rekomendasi yang bagus, Mbak."
Hesty tersenyum"Alhamdulillah kalau suka, Pak. Ini salah satu menu favorit di sini."
"Saya jadi penasaran. Apa Mbak Hesti sering pulang kampung untuk ketemu anak?"Tanya Dody penasaran
Hesti terlihat sedikit sedih "Tidak terlalu sering, Pak. Biaya pulang kampung lumayan besar, jadi biasanya saya hanya bisa pulang setahun sekali. Itupun kalau ada cuti."
Dody terlihat terkejut "Wah, jarang sekali ya. Pasti kangen berat sama anak."
"Iya, Pak. Setiap hari pasti rindu, tapi saya harus sabar. Semua ini demi dia juga, supaya masa depannya lebih baik." jawab Hesty sambil tersenyum tipis
Dody mengangguk dengan empati "Saya paham, Mbak. Kadang hidup memang menuntut kita untuk berkorban, apalagi untuk anak."
Hesti terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh kata-kata Dody. Ada sesuatu dalam cara Dody berbicara yang membuat Hesti merasa dipahami.
"Kalau boleh tahu, ibu Mbak yang menjaga anak, sehat-sehat saja di kampung?"
"Alhamdulillah, Ibu sehat. Meskipun sudah agak tua, tapi beliau masih kuat jagain cucunya. Saya bersyukur ada beliau yang membantu."
Dody tersenyum "Ibu Mbak pasti orang yang luar biasa. Tidak mudah menjaga anak kecil di usia lanjut."
"Iya, Pak. Saya beruntung punya ibu yang selalu mendukung saya, meskipun saya merantau jauh."
Dody berpikir sejenak "Kadang orang tua memang menjadi kekuatan terbesar kita, ya. Saya jadi ingat almarhum ibu saya. Beliau juga selalu ada di saat-saat terberat."
Hesti terlihat tersentuh"Maaf, Pak. Saya tidak tahu."
Dody tersenyum kecil "Tidak apa-apa, Mbak. Itu sudah lama sekali. Yang penting, kita tetap menghargai apa yang mereka lakukan untuk kita."
Sejenak ada keheningan, tapi bukan keheningan canggung. Ada rasa saling mengerti di antara mereka.
"Terima kasih, Pak, sudah mau mendengarkan cerita saya."
"Mbak Hesti tidak perlu berterima kasih. Saya malah senang bisa ngobrol dengan Mbak. Kadang percakapan sederhana seperti ini bisa memberi semangat baru."
Hesti tersenyum "Iya, Pak. Saya juga merasa begitu."
Dody menatap Hesti dengan penuh penghargaan. Ada rasa kagum yang semakin tumbuh di antara mereka. Meskipun baru saling kenal, mereka merasa seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan mereka.
* Hubungan yang Mulai Terbentuk*
Beberapa hari telah berlalu sejak percakapan mereka di restoran. Dody sering datang kembali ke restoran, dan setiap kali Hesti bekerja, mereka saling menyapa dan mengobrol sedikit. Malam itu, Dody kembali duduk di meja favoritnya, dan Hesti menghampiri dengan senyum hangat.
"Selamat malam lagi, Pak Dody. Pesanan biasa, Ayam Rica-Rica dan teh tawar?" Sapa Hesti dengan ramah
Dody tertawa kecil "Sepertinya saya sudah ketagihan dengan rekomendasi Mbak. Pesan yang sama, ya."
Hesti tertawa "Baik, Pak. Saya buatkan seperti biasa."
Hesti mencatat pesanan dan berbalik hendak pergi, tapi Dody menyela sebelum dia bisa bergerak.
Dody: "Mbak Hesti, kalau tidak sibuk nanti, bolehkah kita ngobrol sebentar setelah jam kerja?"
Hesti sedikit terkejut"Oh, ngobrol lagi, Pak?"
Dody tersenyum hangat"Iya. Saya merasa senang bisa berbicara dengan Mbak. Tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin mengenal lebih dekat."
"Baiklah, Pak. Setelah saya selesai nanti, kita bisa ngobrol sebentar."
Setelah restoran mulai sepi dan jam kerja Hesti berakhir, Dody menunggu di luar. Hesti keluar dari pintu belakang restoran, tampak lelah tapi masih tersenyum.
"Maaf membuat Bapak menunggu. Saya baru bisa keluar sekarang."kata Hesty
"Tidak apa-apa, Mbak Hesti. Saya memang ingin mendengar lebih banyak cerita tentang Mbak dan perjuangan hidup di sini."
Mereka berjalan santai di dekat restoran, berbicara dengan suasana yang lebih santai dan intim.
"Jadi, Mbak Hesti sudah merasa betah di kota ini?"Tanya Dody sambil menatap Hesty
Hesti menghela napas "Sejujurnya, belum sepenuhnya, Pak. Kota ini ramai, tapi sering terasa sepi. Jauh dari keluarga, terutama dari anak saya."
Dody mengangguk memahami "Iya, saya bisa bayangkan. Kadang kita bisa dikelilingi banyak orang, tapi tetap merasa kesepian
"Betul, Pak. Saya sering merasa seperti itu. Apalagi setiap kali melihat orang lain bersama keluarga mereka."Mata Hesti mulai berkaca-kaca
"Mbak Hesti pasti merindukan masa-masa bersama anak."ujar Dody yang menyadari bahwa Hesty mulai sedih..
Dody meraih tangan Hesti
Hesti mengangguk "Iya, sangat rindu. Setiap malam saya hanya bisa berdoa agar waktu cepat berlalu, supaya saya bisa segera pulang dan bertemu dengannya lagi."
Dody tersenyum lembut "Mbak Hesti wanita yang kuat. Saya sangat menghargai apa yang Mbak lakukan demi anak."
"Terima kasih, Pak Dody. Tapi saya yakin, semua orang tua pasti akan melakukan hal yang sama untuk anaknya."
"Itu benar. Tapi tidak semua orang bisa melakukannya dengan hati sekuat Mbak. Saya bisa lihat dari cara Mbak berbicara tentang anak, ada banyak cinta dan pengorbanan."
Hesti terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh kata-kata Dody. Dia menyadari bahwa Dody benar-benar mendengarkan dan memahami perasaannya.
"Terima kasih, Pak. Saya jarang sekali bisa berbicara seperti ini dengan orang lain."
"Saya senang bisa menjadi tempat Mbak bercerita. Kadang kita hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan."Dody berkata penuh perhatian
Suasana di antara mereka semakin hangat. Hesti mulai merasa lebih nyaman di dekat Dody, dan percakapan mereka mengalir dengan mudah.
"Mbak Hesti, saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi saya merasa ada sesuatu yang istimewa setiap kali kita berbicara. Saya ingin mengenal Mbak lebih dalam, kalau Mbak berkenan."
Hesti terkejut mendengar ungkapan itu, tapi tidak merasa tidak nyaman. Ada perasaan yang sama yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Hesti tersenyum malu "Pak Dody, saya juga merasa senang setiap kali kita berbicara. Tapi... saya tidak tahu apa saya siap untuk hubungan lebih dari sekadar teman saat ini."
Dody tersenyum lembut "Saya mengerti, Mbak Hesti. Tidak perlu terburu-buru. Kita bisa mulai dari sini, perlahan-lahan. Yang penting, saya ingin Mbak tahu kalau saya ada di sini untuk mendukung."
Hesti tersenyum, merasa tenang dengan sikap Dody yang sabar dan penuh pengertian. Mereka melanjutkan percakapan, berjalan bersama dalam keheningan malam, dengan hati yang semakin dekat satu sama lain.