Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stres
***
"Sudah malam, lebih baik kita tidur," ajak Mas Yaksa sambil menarik tubuhku ke dalam dekapannya.
Ibu sudah pulang beberapa saat yang lalu, kami juga sudah masuk ke dalam kamar dan kini sudah terbaring nyaman di ranjang kami. Ralat, aku tidak merasa terlalu nyaman kala mengingat obrolan dengan Ibu tadi.
Resepsi pernikahan. Itu lah yang Ibu mau secara tiba-tiba. Aku dan Mas Yaksa bahkan tidak pernah benar-benar membahas hal ini lebih lanjut. Tapi secara tidak terduga Ibu minta diadakan resepsi untuk nikahan kami. Aku benar-benar pusing memikirkannya.
"Mas, Ibu tadi cuma menggertak aku kan supaya berhenti bekerja? Apa itu artinya aku resign aja ya?"
Mas Yaksa menghela napas. "Enggak, Geya, karena cepat atau lambat Ibu pasti ingin melihat putri bungsunya berdiri di pelaminan. Mau kamu berhenti bekerja atau enggak, itu nggak akan mempengaruhi hal ini."
"Terus kita harus gimana?"
"Tidur, Geya," ucap Mas Yaksa bersungguh-sungguh, "ini sudah malam. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan soal pekerjaan kamu, tetap lakukan selagi itu bikin kamu nyaman. Kamu bisa berhenti saat sudah tidak merasakan kenyamanan. Oke?"
"Tapi Mama, Mas?"
"Mama akan mengerti, sebenarnya yang jadi masalah ada di Ibu."
Benar. Yang ingin dilakukan Ibu adalah aku membalas budi terhadap Mas Yaksa dan keluarganya. Kalau aku tetap bekerja maka aku tidak akan bisa secara optimal membalas budi kami. Selain itu kalau aku tetap bekerja, menurut ibu aku tidak terlalu menyakini pernikahan yang kami jalani. Padahal bukan karena takut pernikahan kami gagal yang menjadikan alasan aku tetap bekerja, melainkan karena aku suka melakukannya. Aku tetap ingin menjadi perempuan mandiri meski profesiku hanya seorang perawat.
"Aku pusing," keluhku saat merasakan semua.
Mendengar keluhanku, tangan Mas Yaksa terulur dan memijit pelipisku.
"Kan Mas bilang mending kita tidur, Geya, jangan terlalu dipikirin. Nanti kamu bisa sakit, kalau kamu sakit siapa yang repot? Kualitas ASI kamu juga bisa menurun, nanti Alin bisa ikutan sakit. Kamu mau?"
Aku menggeleng saat merespon kalimat Mas Yaksa. Apa yang dikatakan Mas Yaksa benar dan wajar bagi seorang ayah yang mempedulikan putrinya. Yang nggak wajar kalau aku merasa terganggu akan itu.
"Sekarang kita tidur, Geya."
"Mas, kamu malu nggak kalau aku tetap bekerja?"
Alih-alih menjawab, Mas Yaksa memilih balik bertanya. Mungkin cari aman.
"Geya, ini kamu serius nanya hal ini?"
"Jawab saja, Mas."
"Pekerjaan kamu mulia, Geya, kamu nggak nyolong atau melakukan tindakan kejahatan lainnya. Jadi kenapa Mas harus merasa malu?"
"Tapi aku cuma perawat, Mas." Aku menghela napas, "udah lah, ayo kita tidur!" ajakku kemudian.
"Oke, kita tidur. Tapi jangan coba-coba berpikir untuk berhenti bekerja karena kamu khawatir bikin Mas malu dengan profesi kamu, Geya. Kalau alasannya itu Mas akan paksa kamu untuk tetap bekerja."
Setelah mengatakan itu, Mas Yaksa memilih mengurai pelukannya dan berbaring membelakangiku.
Apa aku tersinggung? Tidak juga karena biasanya memang begini posisi tidur kami.
***
"Masih pusing?" sambut Mas Yaksa saat aku menuruni anak tangga.
Ia sudah terlihat rapi dengan kemeja dan dasinya, hanya jasnya yang belum dipakai. Tangan kanannya memegang mug, ia berjalan menghampiriku.
"Sarapan?" tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala.
Aku masih belum memiliki selera makan dan perutku juga belum terasa lapar.
"Minum?" tawarnya.
Aku menerima mug itu dan membawanya menuju ruang tengah menyesapnya sedikit lalu setelahnya ku letakkan di atas meja. Sejak bangun tidur tadi aku merasa pusing jadi ini alasan kenapa semua keperluan Mas Yaksa dia lakukan sendiri. Lalu untuk Javas aku menyerahkan pada Mbak Sita. Aku duduk di sofa dan menyandarkan badanku di sana.
"Pusing banget?"
Aku mengangguk saat menjawab pertanyaan Mas Yaksa dengan kedua mata terpejam lelah.
"Mau ke rumah sakit?" tawarnya yang tentu saja langsung kujawab dengan gelengan kepala cepat. Aku pusing karena terlalu memikirkan banyak hal sehingga semalam aku tidak benar-benar terlelap, "semalem tidur nggak sih?" Ia berdecak sedikit kesal, tapi kedua tangannya secara alamiah memberikan pijatan ringan pada kedua pelipisku.
"Tidur," ucapku berbohong, "kamu nggak ngantor? Javas mana? Udah berangkat?"
"Udah. Dianter Pak Joko. Aku nanti."
"Kenapa? Aku nggak papa loh, cuma pusing di--"
"Mama mau ke sini," potongnya membuatku reflek membuka mata.
Aku meringis. "Kita bakalan diintrogasi part dua ya, Mas?"
Mas Yaksa melanjutkan pijatannya. "Enggak, Geya, kamu tahu sendiri kan gimana Mama?"
"Tetep aja, pasti ditanya-tanya, Mas, itu sama aja diintrogasi."
"Enggak, Mas udah bilang kalau kamu lagi kurang sehat. Jadi Mama ke sini mau jenguk menantunya."
"Jenguk tapi pagi-pagi begini?"
"Kan kalau siang kamu ke rumah sakit, Geya."
Mendengar kata rumah sakit mengingatkanku pada kemarahan Ibu. Rasa pening itu kembali menyerang bahkan sekarang disertai rasa mual yang menjalar.
Gawat! Aku harus pergi ke toilet.
"Kenapa?" tanya Mas Yaksa panik.
Aku menggeleng sambil membekap mulutku dan berlari ke kamar mandi.
"Muntah?" tanya Mas Yaksa di ambang pintu.
Aku menggeleng. Susah payah aku mengeluarkan sesuatu yang bergejolak di dalam perutku, tapi hasilnya nihil.
"Stop!" seruku saat menyadari Mas Yaksa masuk ke dalam kamar mandi. Kemejanya kini sudah tergulung sampai siku.
"Kenapa?" tanyanya dengan wajah kebingungan.
"Nanti pakaian Mas Yaksa basah," cicitku ragu-ragu.
"Pakaian basah bisa diganti, Geya. Sekarang Mas bantuin. Apa mau dilepas saja jilbabnya?"
Aku menggeleng, hendak membuka suara tapi terpaksa harus kuurungkan karena rasa mual itu kembali hadir. Tak lama setelahnya aku merasakan tangan besar Mas Yaksa menyusup di balik jilbab dan memberi pijatan pada tengkukku.
Berkat pijatannya aku berhasil mengeluarkan isi perutku dan ini membuatku sedikit lega.
"Kamu stres banget ya sampai langsung jatuh sakit begini?"
"Kayaknya."
"Masih pengen muntah nggak?"
Aku menggeleng. Mas Yaksa mengangguk paham lalu mengajakku keluar dari kamar mandi. Ia langsung memberiku air hangat begitu sampai di ruang tengah. Bahkan dengan telaten ia mengoleskan minyak kayu putih di atas perutku. Karena lemas sehabis muntah aku tidak dapat menolak perlakuannya.
"Mau ke rumah sakit?"
Mas Yaksa bertanya dengan lembut dan penuh perhatian, tidak ada nada paksaan sama sekali dan itu cukup membuatku terkejut. Aku pikir dia akan memaksaku ke rumah sakit dan semacamnya.
"Abis muntah tadi kerasa lebih lega, jadi kayaknya nggak perlu."
Mas Yaksa mengangguk paham. "Sekarang masih mual?"
Aku kembali menggeleng.
"Pusing?"
"Dikit."
"Ya ampun, Ge, muka kamu pucet banget," seru Mama saat memasuki ruang tengah dan menemukanku sedang bersandar pada badan sofa, "sejak kapan sakitnya?"
"Tadi sempet ngeluh pusing, terus tiba-tiba tadi mual-muntah."
"Hah? Mual-muntah? Geya hamil?"
Mendengar pertanyaan Mama, aku dan Mas Yaksa langsung saling bertukar pandang.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.