Semua itu karena rasa ego. Ego untuk mendapatkan orang yang dicintai, tanpa berfikir apakah orang yang dicintai memiliki perasaan yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
"Kebahagiaan orang yang beriman adalah dengan mencintai Allah. Cinta kepada Allah adalah kebahagiaan yang dasarnya lebih dalam dari setiap sesuatu yang dalam. Hanya mereka yang sungguh-sungguh berimanlah yang dapat merasakannya. Dan, perasaan itu tak bisa digantikan."
Aku selalu percaya, bahwa manusia diciptakan oleh Sang Pencipta berpasang-pasangan. Aku juga percaya bahwa jika jodoh tiada bertemu di dunia, maka jodoh itu akan bersatu di akhirat. Dan, aku juga percaya bahwa karena berjodohlah maka bertemu, bukan karena bertemu maka berjodoh.
Itulah sebabnya aku selalu santai menanggapi pertanyaan orang-orang, yang menanyakan mengenai kapan aku menikah, kenapa belum menikah, dan sebagainya yang berhubungan dengan pernikahan. Aku bukan tipe orang yang mudah terpancing emosinya, aku juga tipe orang selalu berfikiran simpel dan sederhana. Aku selalu percaya bahwa apa yang di takdirkan untukku, maka tidak akan melewatkan ku. Dan apa yang melewatkan ku maka dia bukan takdirku. Sesederhana itu.
Aku juga selalu memegang prinsip bahwa apapun itu pasti akan berakhir seperti halnya juga bermula, oleh karena itu aku lebih memilih untuk menikmati hidup apa adanya,tanpa memusingkan apa-apa yang belum dapat kumiliki untuk saat ini. Termasuk saat aku belum memiliki kekasih hati.
Aku sadar, bahwa aku merupakan bagian dari alam semesta yang fana ini, aku sadar bahwa setiap orang memiliki jatah untuk berduka, bersedih, dan bahagia. Oleh karena itu, aku santai saja jika hari ini aku belum memiliki kekasih, aku yakin suatu saat nanti Allah akan memberikanku seseorang yang akan menjadi kekasihku bahkan lebih baik dari perkiraanku.
Akan tetapi, aku tetaplah seorang anak yang memiliki keluarga, aku memiliki seorang ayah dan seorang ibu yang begitu mengkhawatirkan keberlangsungan hidupku selanjutnya. Mereka terlalu mengkhawatirkan diriku sebab di usiaku yang sudah menginjak 25 tahun ini, tapi aku belum menikah menikah juga, bahkan mereka sempat mencurigaiku sebagai orang yang mati rasa atau bahkan tidak normal.
Bagaimana tidak, sedari kecil aku tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Kepribadianku yang cukup introvert membuatku sangat sulit untuk mendapatkan teman, mendapatkan teman sesama perempuan saja sulit apalagi mendapat teman pria. Sudah pasti aku tak punya.
Masuk SMP aku mulai berubah, tidak se-introvert waktu SD dulu, aku mulai berubah menjadi ambivert alias kadang ekstrovert dan kadang introvert, hanya saja di bangku SMP aku mulai paham bahwa pacaran itu haram dalam Islam, bahkan sebagai seorang muslimah yang beriman hendaknya menjaga jarak dan tidak bermudah-mudahan dengan pria non mahram manapun. Itulah alasanku untuk tidak berteman dekat dengan pria manapun. Hingga lah saat ini, usiaku sudah mencapai 25 tahun. Dan aku tidak pernah memiliki kekasih, tidak pernah memiliki pacar, dan tidak mempunyai teman dekat laki-laki.
"Memangnya pria seperti apa yang kamu cari?" tanya ibuku berlemah lembut, ku tahu ia sudah prustasi menghadapiku namun dia tetap sabar meladeni segala inginku. Ini sudah untuk kesekian kalinya aku menolak pria yang di jodohkan oleh ibu, ayah, paman, kakak, dan yang lainnya kepadaku, semua ku tolak setelah melalui proses perkenalan singkat.
"Ibu jadi curiga kamu ini mati rasa, sedari kecil. Kamu memang berbeda dengan kakakmu, dia punya banyak teman lelaki sedangkan kamu tidak. Sejauh ini Ibu belum pernah melihat seorang pun kamu punya teman lelaki," lanjut ibuku dengan penuh selidik kepadaku.
"Ya barangkali begitu," sahutku santai, aku menyadarkan punggungku ke sandaran sofa. Lelah sekali menanggapi pertanyaan yang itu-itu saja, rasanya energiku langsung terkuras habis bila mendengar pertanyaan 'kapan menikah?'
"Kalau begitu, lebih baik kita ke dokter jiwa saja, ibu khawatir kamu tidak normal" ucap ibu, aku membelalakkan mata.
"Aku normal bu, aku suka dengan lelaki," Sejauh ini aku normal. Bahkan sangat normal. Aku menyukai seorang pria tapi ibu tak tahu. Bahkan tak seorang pun tahu kecuali diriku sendiri dan Allah SWT.
"Siapa? Siapa pria yang kamu sukai, agar ibu dan bapak lamarkan untukmu! Di jaman Nabi SAW, tidak masalah jika pihak perempuan yang lebih dahulu mengungkapkan niatnya untuk menikah," ucap ibu.
"Ya... ada..." ucapku ragu, aku tidak mungkin memberitahu ibu bahwa pria yang ku sukai adalah Adam. Seorang pria yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu denganku, seorang pria yang seumur hidupku belum pernah berkomunikasi denganku, dan pria itu telah pun menikah.
Aku pertama kali melihatnya saat masa orientasi siswa (MOS), orang-orang menyebutnya ospek. Saat itu aku masuk kelas 7 SMP, dan Kak Adam; begitulah kami para junior memanggilnya menjadi salah satu petugas OSIS yang bertugas mengospek kami. Diantara semua Abang/kakak tingkat yang bertugas mengospek kami, menurutku hanya kak Adamlah yang paling religius, baik, tampan, gagah, dan disiplin. Banyak dari kami yang kepincut dengan ketampanan dan kecerdasannya. Ia tidak sombong, ramah, rajin tersenyum dan senyumnya sangat manis, namun dibalik keramahannya ia tetap konsisten menjaga jarak dengan wanita non mahramnya.
Setelah satu tahun bersekolah di SMP, aku semakin mengenalnya, aku mengenalnya berkat teman-teman satu kelasku yang sering membicarakannya, aku mengenalnya berkat hari upacara dimana ia sering menjadi pemimpin upacara, aku mengenalnya berkat English day di mana dia sering maju ke depan podium untuk memberi tanggapan, pertanyaan, atau menjawab pertanyaan dari guru, aku mengenalnya sebab ia sering mewakili sekolah untuk menjadi kafilah MTQ tingkat Kabupaten dan Provinsi, dan aku mengenalnya sebab ia memang merupakan orang paling populer di sekolah kami.
Banyak teman-teman ku yang memfollow dan meng-add pertemanan melalui media sosial kepada Kak Adam. Tetapi tidak dengan diriku, aku tetap berusaha menahan diri untuk tidak melakukannya, sebab aku paham bahwa sebagai seorang wanita muslim maka aku punya Marwah yang harus kujaga.
Aku paham bahwa dengan menjauhi dan menjaga jarak dengannya, adalah cara yang terbaik untuk menghindarkan diri dari dosa zina. Zina hati, zina mata, zina fikiran, dan jenis zina lainnya. Bukankan zina adalah jalan yang buruk? Dan sebagai muslimah beriman aku harus menjauhinya. Tidak perduli, jika aku harus merasakan sakit sebab menahan perasaanku sendiri. Dan aku percaya bahwa jatuh cinta dan menahannya sebab ingin menghindari dosa adalah zihad. Dan pahala itulah yang aku harapkan.
Hingga suatu hari, aku memberanikan diri untuk menstalking salah satu media sosialnya, dan betapalah berduka dan sakitnya hatiku tat kala melihat postingannya. Jika jatuh cinta kepada yang belum halal dan kita menahannya adalah jihat, maka saat itu pula cintaku telah Sahid. Sebab dia telah memilih bersama dengan wanita lain. Dia menikah di daerah tempatnya menimba ilmu, yaitu pulau Jawa. Sedangkan aku berada di pulau Sumatra.
Setelah beberapa lama aku tidak lagi mencari tahu tentang dirinya, hatiku patah sangat patah, padahal sedari awal aku sudah tahu bahwa aku pasti tak akan bisa mendapatkannya. Dan aku juga tahu bahwa semua yang ada di dunia ini adalah ujian dari-Nya, begitupula perasaan cinta. Rasa cinta hanyalah ujian, baik dapat dimiliki maupun tidak. Namun, yang namanya patah hati logikapun akan patah karenanya.
Karena jiwa ingin tahuku kembali meronta-ronta, aku ingin tahu apakah dia hidup bahagia dengan pernikahannya atau tidak. Dan saat itu, semua medsosnya telah dia kunci. Barangkali, ia ingin terhindar dari penyakit ain, atau ia sangat mencintai istrinya hingga ia tidak ingin banyak orang melihatnya.
Dia Adam, aku mengaguminya dalam diam, entah sampai kapan.
"Ya siapa? Beritahu ibu, kalau memungkinkan ibu akan melamarkannya untukmu," ucap ibu lembut membelai kepalaku yang tertutupi oleh jilbab.
Aku menunduk.
Mendapatkan kak Adam sama saja seperti mimpi bagiku, bahkan dalam mimpipun aku belum pernah mendapatkannya. Dan tidak mungkin pula aku meminta ibu untuk melamarkannya untukku, selain kami tidak sekufu dia pun telah beristri.
Dua tahun lalu dia telah menikah. Lagipula aku tidak mau dipoligami, aku ingin menjadi satu-satunya istri dan di hati suamiku nanti.
"Tidak ada, aku tidak menyukai siapapun, ibu cari saja calon yang cocok untukku, kali ini aku berjanji tidak akan menolak siapapun pria yang ibu jodohkan untukku," ucapku pasrah.
"Ya sudah, besok akan ada pemuda yang datang bertamu ke rumah ini, dia ingin berkenalan denganmu, bapak sudah meminta tolong kepada kiyai Nasir untuk mencarikan calon suami untukmu. Seperti perkataanmu barusan, kamu tidak akan menolak lagi pria pilihan ibumu. Jadi, bapak harap jika pun perjodohan itu batal, maka yang membatalkan nya bukan kamu tetapi pria itu. Lagipula bapak yakin, laki-laki pilihan kiyai Nasir pastilah seorang laki-laki yang baik dan shaleh, jadi bapak harap kamu tepati janjimu," tiba-tiba bapak datang menyela, entah darimana datangnya padahal sedari tadi aku hanya duduk berdua dengan ibu di dapur ini.
"Kamu dengar itu apa kata bapakmu?" tanya ibu memperjelas, aku mengangguk.
Mencoba hidup dengan orang yang tidak dicintai tidak terlalu buruk bukan?