Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Pernikahan kedua
Inara menyeret langkahnya menuju ballroom, tempat dimana acara pernikahan sang Suami akan berlangsung. Sebenarnya, Inara tidak harus menghadiri acara tersebut. Hanya saja, ibu mertuanya memaksa hadir, sebagai sebuah bukti jika Inara benar-benar rela untuk dimadu.
"Kamu harus datang. Jangan sampai orang-orang mengira jika kamu tidak dengan sukarela membagi Arjuna. Padahal, kamu saja yang tak kunjung hamil hingga pernikahan kedua Arjuna harus digelar," ucap Mama Azni, sang ibu mertua.
Ya. Pernikahan Inara sudah berjalan hampir lima tahun. Tetapi, Inara tak kunjung diberi momongan oleh Yang Maha Kuasa. Menurut syariat, memang tidak ada larangan karena sang Suami ingin memiliki keturunan.
Walau sesak sekaligus kecewa karena harus berbagi suami, Nara mencoba menguatkan hati. Seperti janji suaminya tempo hari, anak yang akan lahir dari istri kedua, akan menjadi anak Nara juga. Namun, untuk membayangkannya saja Nara tidak sanggup.
Tidak ingin terlihat menyedihkan di tengah keramaian, Nara duduk di antara tamu undangan yang ingin menyaksikan pernikahan itu berlangsung.
Banyak tatapan mata iba tertuju kepadanya. Mungkin, mereka sudah mengetahui jika Nara merupakan istri pertama dari seorang Arjuna Bagaswara.
Gamis panjang yang Nara gunakan seakan sudah tak mampu meningkatkan kepercayaan diri Nara. Padahal, gamis itu didesain dengan sangat indah walau Nara memilih warna hitam sebagai dasarnya.
Ya. Ini adalah hari berkabung itu hidup Nara.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ranadya binti Bapak Beni Anggara, dengan maskawin yang tersebut, tunai!"
"Para saksi sah?"
"SAH!"
Saat itu juga Inara kembali menitikkan air mata. Apalagi ketika melihat suaminya tengah mencium kening Nadya, sang Istri kedua. Bagai ada ribuan belati yang menghunus jantung Nara.
Dunia Nara seakan berhenti berputar. Nyawanya seperti ditarik paksa untuk menerima kenyataan pahit di depan sana. Namun, ketika tatapnya bertemu dengan mata sang Suami, Nara memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
"Selamat," gumam Nara dengan menguatkan hatinya sekeras baja. Arjuna yang berada beberapa meter darinya, balas tersenyum iba. Nara tidak suka ditatap seperti itu seakan dia adalah seorang wanita yang payah.
Tak tahan lagi, Nara memilih bangkit lalu berniat pergi dari sana. Dia ingin mengasingkan diri terlebih dahulu sebelum hari esok tiba.
Waktu bergulir, Nara masih bertahan dalam kamarnya dengan mata yang tak berhenti mengeluarkan cairan bening. Merasa lelah duduk di sisi ranjang, Nara memilih menuju balkon kamar. Siapa tahu, angin malam bisa membuat perasaan Nara menjadi lebih baik lagi.
Namun, belum sempat kakinya melangkah, ponsel yang tergeletak di atas ranjang berdering panjang. Ketika mengetahui siapa sang Penelepon, Nara memilih untuk mengubah setelan menjadi senyap. Dia tidak ingin berbicara dengan suaminya itu.
"Aku bahkan ragu jika cintamu tidak akan berubah seperti yang kamu katakan padaku, Mas. Nadya begitu cantik dan lebih muda dariku. Wajar jika kamu langsung mau ketika Mama menjodohkan kamu," gumam Nara tersenyum getir.
Nara masih ingat ketika ibu mertuanya memaksa Arjuna untuk menikah lagi. Mereka menginginkan calon penerus usaha besarnya karena selain Arjuna anak laki-laki satu-satunya, Arjuna juga pewaris tunggal dari usaha Bagaswara Group.
"Sampai kapan kamu mau menunggu Nara hamil? Ini sudah lima tahun lihat, Jun. Bagaimana jika Nara ini mandul? Siapa yang akan meneruskan bisnis Papa kamu," ucap Bu Azni ketika semua sedang berkumpul untuk sarapan.
Nara hanya sanggup menunduk. Dia tidak memiliki alasan untuk menolak saran ibu mertuanya. Namun, Nara yakin jika Arjuna bisa menolak karena cinta kepadanya.
"Bagaimana lagi, Ma? Arjuna tidak masalah jika Nara tidak memiliki anak," jawab Arjuna yang membuat perasaan Nara menjadi lebih baik.
"Pokoknya, Mama tidak mau tahu. Kamu harus menikah lagi agar memiliki keturunan. Dari dulu Mama sudah sabar karena pernikahan kalian belum lima tahun. Sekarang terbukti, pernikahan kalian sudah lima tahun dan tak kunjung memiliki anak. Jadi, menurut agama bukankah sah saja jika mau poligami?" ucap Bu Azni dengan santainya, seakan lupa jika Nara masih berada di sana.
"Mama jangan seperti itu. Kasihan Mbak Nara, Ma," sahut suara yang tidak lain adalah milik adik ipar Nara, yaitu Beta. Ada tawa mengejek yang Nara tangkap dari pembelaan tersebut.
"Mama tidak peduli. Lebih baik Mama bicara di depan Nara langsung daripada di belakang. Mama harap, kamu tidak menolak lagi. Kali ini, calon yang Mama pilih sangat berbeda dari calon yang dulu-dulu. Mama yakin, kamu pasti suka," ucap beliau lagi yang membuat tenggorokan Nara bagai tercekat. Makanan di hadapannya tak lagi menarik minatnya.
Suaminya itu menoleh pada Nara sebentar. "Baik, Ma. Aku setuju untuk menikah lagi. Namun, aku juga memiliki syarat," jawab Arjuna dingin.
Nara yang mendengar pernyataan Arjuna sampai terperangah tidak percaya. Tidak ada angin tidak ada hujan, suaminya itu memutuskan sepihak. Rasa kecewa seakan menghantam perasaan Nara saat ini.
Bu Azni tersenyum simpul. "Apa syaratnya? Mama pasti akan setuju."
"Aku harap, setelah aku mau menikah lagi, pembahasan soal anak tidak lagi terdengar. Aku tidak mau Nara selalu menjadi bahan olok-olokkan kalian. Aku harap, kalian bisa lebih menghargai Nara karena dia adalah istriku," putus Arjuna yang segera mendapat anggukan dari Bu Azni.
"Baik. Itu tidak akan sulit."
"Siapa bilang kita mengolok-olok? Kita hanya berbicara tentang kenyataan, Jun," sahut Antika, kakak dari Arjuna. Raut wajahnya sudah tampak bengis setelah mendengar penuturan sang Adik.
"Jangan pikir aku tidak tahu ya, Kak. Aku tahu semuanya," kesal Arjuna berniat ingin membela Nara.
"Ternyata selain benalu, Nara juga tukang ngadu!" pekik Antika ikut kesal.
"Cukup! Coba pikir siapa yang menjadi benalu sebenarnya!" Arjuna tak kalah memekik. Amarahnya sudah berada di ubun-ubun.
Nara yang namanya banyak disebut, hanya terdiam dengan isi kepalanya sendiri. Suaminya akan menikah lagi? Lalu, dimana janji setia yang pernah Arjuna katakan dulu? Ternyata, janji-kanji itu hanya palsu.
"Tolong kamu jangan salah paham dulu. Aku melakukan ini agar ibu dan saudaraku tak lagi menghinamu. Ini demi kamu," bujuk Arjuna yang sayangnya tidak mampu menenangkan gemuruh di hati Nara.
Entah sudah berapa lama Nara bertahan duduk di balkon hingga suara ketukan pintu di depan berhasil menyadarkan lamunannya. Nara menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Dia keluar dan memilih untuk membuka pintu lebih dulu.
Ceklek.
Ketika pintu terbuka, Nara bisa melihat wajah Arjuna yang tampak kelelahan. "Nara. Kenapa tidak menjawab telepon dariku?" cecarnya yang hanya Nara balas dengan senyuman.
"Nara tolong! Jangan tersenyum seperti itu. Jangan membuatku semakin merasa tertekan. Ini demi cinta kita," pinta Arjuna sambil mengusap wajahnya kasar.
Nara lagi-lagi tersenyum. "Demi kita? Kamu yakin? Bukan demi baktimu pada Mama?" tanyanya menohok.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...selamat datang di novel baruku......
...semoga suka ya... ...
...Mampir juga kesini yuk👇...