NovelToon NovelToon
Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Single Mom / Obsesi / Ibu Mertua Kejam / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:34.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rere ernie

Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.

Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.

"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.

Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.

Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.

Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...

Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter - 10.

Davin keluar dari kamar setelah memastikan Daffa tertidur di ranjang yang empuk. Kemejanya sedikit berantakan di bagian pundak karena bekas kepala si kecil, tapi ia sama sekali tidak peduli. Justru ia menatap Alina yang berdiri terpaku di ruang tengah dengan ekspresi kompleks, antara bingung dan marah.

“Kalau kamu ingin protes padaku, silahkan. Tapi tolong... pelan-pelan. Aku tidak tahan dengan suara orang teriak-teriak." Ucap Davin dengan wajah tenang seperti biasa.

Alina mendengus pelan, “Aku tidak akan teriak, tapi aku memang ingin protes.”

Davin mengangguk pelan, ia berjalan ke arah kitchen set lalu menuang air putih ke dalam gelas dan membawanya ke arah Alina. “Minum dulu, marah sambil dehidrasi bisa bikin pusing.”

Alina menerima gelas itu dengan gerakan kaku. “Aku tidak mengerti kamu, Davin. Kenapa semua ini... terasa seperti perangkap?”

“Perangkap?” Alis pria itu terangkat, ia lalu bersandar di dinding seperti tokoh utama dalam drama Jepang yang tak tahu cara duduk santai. “Kalau ini perangkap, setidaknya ranjangnya empuk dan seprainya baru. Bukankah itu ter-upgrade dari tempat sebelumnya?”

Alina menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Kamu yang menyuruh orang menyewa kontrakan lamaku, kan?”

Davin tidak langsung menjawab.

Pria itu malah memiringkan kepalanya sedikit, seolah sedang mempertimbangkan sejauh mana ia akan jujur.

“Memangnya aku terlihat seperti pria yang sempat mengurusi urusan properti semacam itu? Tapi ya... kalau kamu ingin jawaban pasti, aku bisa bilang... mungkin.”

Alina mendekat, menurunkan suaranya agar tak membangunkan Daffa. “Kamu pikir aku tak bisa menangani hidupku sendiri?”

“Bukan itu maksudku. Aku cuma... tak mau kamu sendirian saat ada seseorang yang sedang mencarimu.”

“Apa Mas Rama berhasil menemukan ku? Darimana kamu tau?”

Davin tak menjawab, tapi diamnya sudah cukup memberi konfirmasi.

Alina menunduk, tangannya menggenggam gelas berisi air itu lebih erat dari yang seharusnya. “Aku sebenarnya bisa menghadapi Mas Rama sendiri.”

“Tidak hari ini! Bukan ketika kamu baru saja diusir dari kontrakan dan harus menggendong anak kecil sendirian jika aku tak datang.” Davin menjawab lembut tapi tegas.

Alina memejamkan mata, ia merasa lelah. Tubuhnya, pikirannya... semuanya serasa dikerumuni asap yang tak punya jalan keluar. Tapi ada hal yang tak bisa ia bantah, yaitu kehadiran Davin. Betapa pun aneh dan canggungnya, pria itu selalu muncul di saat ia benar-benar di ujung batas.

“Lalu apa sekarang?” gumamnya.

“Sebaiknya kamu tinggal di sini, sampai kamu siap bertemu dengan mantan suami mu.“

Alina menatap Davin dengan pandangan menyelidik. “Dan selama itu, kamu akan terus... menjadi pahlawan?”

Davin menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela. Matanya menatap keluar sejenak sebelum menjawab, “Apa aku tidak cocok jadi pahlawan, Lin? Aku hanya ingin menjaga kamu dan menjaga Daffa.”

“Kamu suka bertindak sesukamu.”

Davin mengangkat bahu. “Itu memang kebiasaan buruk ku. Tapi lihat sisi baiknya... kamu sekarang tinggal di tempat yang punya air panas, wifi cepat dan balkon dengan pemandangan.”

Alina mendadak tersenyum kecil.

Entah kenapa, meskipun Davin menyebalkan dan penuh kontrol tapi pria itu selalu tahu bagaimana menenangkannya dengan cara paling aneh.

Davin berjalan menuju pintu dan berhenti sejenak sebelum keluar. Dengan nada datarnya, ia berkata. “Kalau butuh sesuatu, cukup... panggil aku di unit sebelah. Tapi jangan berteriak, aku takut tetangga mengira aku penculik.”

Pintu tertutup.

Unit sebelah? Jadi ternyata dia tinggal di gedung apartemen ini juga?

Alina menghela napas, ia memandang sekeliling ruangan. Apartemen ini memang bukan rumah... tapi mungkin untuk pertama kalinya sejak lama, tempat ini bisa menjadi jeda yang dibutuhkan hatinya.

Dan... Davin?

Entah ia sekadar orang aneh yang terlalu ikut campur atau seseorang yang diam-diam sudah terlalu jauh masuk dalam cerita hidupnya.

.

.

Cahaya matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden apartemen. Aroma kopi hangat dan roti panggang samar tercium dari dapur. Alina terbangun pelan, tubuhnya sedikit kaku karena semalam ia tertidur di sofa. Daffa masih terlelap di kamar, wajah mungilnya tertutup sebagian selimut dengan napas tenang.

Alina bangkit perlahan dan berjalan ke dapur dengan langkah ringan. Tapi langkahnya terhenti begitu mendengar suara klik dari arah mesin pemanggang roti.

Davin berdiri di sana, pria itu tahu kata sandi apartemen Alina dan dengan lancang masuk.

Tapi, pria itu tak perduli.

Davin tampil cukup rapi, sih. Tapi rambutnya agak awut-awutan, seperti baru bangun tidur terus langsung nyamber spatula. Tangannya memegang alat masak itu dengan gaya seperti mahasiswa teknik yang nyasar ke dapur. Lengan kemejanya digulung sampai siku, menunjukkan otot-otot yang... ya, lumayan bikin gagal fokus.

“Selamat pagi, aku tidak membakar dapur... sejauh ini.” Sapanya, tanpa menoleh.

Alina mengedip pelan, antara kaget dan geli. “Kamu... masak?”

“Bukan masak, ini hanya proses penghangatan ulang yang aman untuk manusia.”

Ia menunjuk ke arah pemanggang yang mengeluarkan roti yang tampaknya terlalu garing.

“Kalau kamu suka roti yang bisa menggantikan fungsi batu bata, silakan ambil yang ini.“ Ucap pria itu tanpa ekspresi.

Alina menahan tawa. “Davin, kamu yakin itu masih layak makan?”

Davin menoleh padanya dengan wajah kaku penuh keyakinan. “Tingkat kematangan ini disebut ekstra proteksi gigitan, antibakteri alami karena gosong.”

Akhirnya Alina tertawa pelan.

Tawanya hangat, mengalir seperti aroma kopi pagi itu.

“Daffa masih tidur?” tanya Davin sambil menuang kopi ke cangkir putih polos.

“Masih, sorenya dia bangun dan menyesuaikan diri dengan apartemen. Malamnya, dia tidur lagi dengan tenang di ranjang itu...”

“Ya... ranjang itu sepertinya dirancang oleh para insinyur NASA. Kasurnya bisa membuat siapa pun mengaku salah, kalau tidur terlalu nyenyak.”

Alina hanya terkekeh mendengar Davin bicara seperti biasanya lagi. “Ohya, sejak kapan kamu masuk ke sini?“

Davin menyerahkan cangkir kopi pada Alina, lalu duduk di kursi dapur. Menyilangkan kaki dengan canggung, seperti orang yang belum pernah duduk di kursi makan.

“Aku terbangun jam lima pagi dan aku tidak bisa tidur lagi. Biasanya aku langsung buka laptop, tapi... ada suara kecil di kepala yang bilang, mungkin pagi ini lebih penting dari rapat jam delapan nanti.”

Alina menatapnya lekat-lekat. “Dan suara itu menyuruhmu... membakar roti?”

Davin menyipitkan mata. “Suara itu tidak spesifik soal metode penyajian, itu bagian improvisasi.”

Kali ini Alina tertawa keras, ia duduk di seberang Davin. Cangkir kopi itu ia genggam erat, ada sesuatu yang terasa berbeda. Aneh tapi menenangkan, seperti ia sedang berada dalam dunia yang sementara tapi cukup nyata untuk membantunya bernafas kembali.

Beberapa menit mereka hanya duduk diam, menikmati kopi masing-masing.

Hingga suara kaki kecil terdengar dari koridor kamar.

“Bundaaaa…” suara Daffa terdengar serak karena baru bangun, rambutnya acak-acakan.

Alina langsung berdiri dan menghampiri. “Sayang, kamu sudah bangun?”

Daffa mengangguk pelan dan langsung memeluk pinggang ibunya. Tapi matanya yang masih ngantuk itu kemudian mengarah ke Davin yang berdiri di sudut dapur dengan wajah serius... mode-on.

Daffa mengernyit. “Om Davin tidur di mana?”

Alina langsung panik. “Ehh... Om Davin enggak tidur di sini kok, sayang. Dia baru datang. Terus... eh, sekarang masakin roti buat sarapan.”

“Om tidur di markas rahasia, lokasinya rahasia. Tapi cukup dekat... untuk jaga kamu dan Bunda kamu.” Timpal Davin.

Daffa memiringkan kepala, penasaran. “Markas rahasia? Kayak superhero?”

Davin mengangguk pelan. “Kira-kira begitu, tapi tanpa jubah. Jubah akan menyulitkan kalau masuk lift...”

Anak kecil itu tampak kagum, lalu meraih tangan Davin dan berkata polos. “Kalau Om adalah superhero, Om harus jaga Bunda terus ya.”

Alina tertegun, Davin pun tampak membeku beberapa detik.

Dan dalam gaya khasnya yang dingin dan absurd, Davin pun menjawab. “Oke! Itu perintah dari komandan kecil, Om akan laksanakan.”

Daffa tertawa kecil, lalu duduk di kursi. “Daffa mau roti yang kayak batu itu!”

“Permintaan aneh, tapi kebetulan tersedia.“ Ujar Davin sambil mengambil roti gosong dan meletakkannya di piring dengan gaya layaknya menyajikan makanan mahal.

Alina hanya bisa menggeleng pelan, sambil menatap pemandangan pagi itu. Anaknya yang tertawa, pria kaku yang diam-diam tahu cara menenangkan dan roti gosong yang entah kenapa... terasa begitu hangat.

1
Warung Sembako
laki2 idiot si galang, jgn smpe dia balik ma gendis, gendis jadian aja ma rama
Zenun
takan diterima.. Jreng jreng jreng
Zenun
mamam tuh Galang
Zenun
halaaa dirimu juga berkhianat
Tiara Bella
jangan mw Galang udh ungked²an sm si Ratna.....
nonoyy
jangan lebih baik gendis & rama ajaaaaa
Ma Em
Jangan biarkan Galang kembali pada Gendis biarkan si Galang menyesal sampai mati , lebih baik Gendis sama Rama saja Thor
Aditya hp/ bunda Lia: setuju banget mbak ...
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
nonoyy
nasib gendis seperti alina
setelah ini pasti si galang akan menyesal 🤣🤣🤣
Jeng Ining
hahhh ternyata semudah itu kebenaran terkuak, belom jg info dr Rama dilempar ke muka Galang...lah malah udh tau scr langsg dr mulut Ratna.. kapok ra koe Lang👏😁
Myra Myra
jgn lebih baik hidup sendiri gedis
Hariyanti
🤦🤦🤦🤦🤦
Hariyanti
keren viola......👍👍👍 jangan biarkan parasit tumbuh disekitarmu. mending janda dari pada ketemu pria mokondo 😬
Yuli Yulianti
Galang hidup mu akan merana seperti Rama
Ma Em
Bu Ningrum punya menantu iblis mau ngacak2 rumah tangga anak2 nya sayangnya Bu Ningrum juga percaya sama omongan Ratna, sekarang Galang sdh jatuh pada godaan manusia laknat Ratna semoga Ratna dan Galang segera dapat karma .
Rita
selamat anda masuk kandang kunti
Heni Mulyani
lanjut
Jeng Ining
nahkan.. dia ngelihat bayangan dirinya sndiri di Galang.. dn gamau ada Alina yg kedua.. emng aslinya Rama itu org baik dn setia.. cm kmren² cukup be.o.de.o aja.. disetir sm mamanya
Rere 💫: Bener, kehasut Erika juga kan. Sekarang mungkin udh dpt pelajaran, lain kali kalo udh nanti punya bini lagi dia gk bakl dkt2 wanita lain meski itu teman.
total 1 replies
Jeng Ining
sudah pulihkah ingatan Rama... dn pengen menyendiri dulu sekalian melindungi Gendhis jd keukeuh gamau berobat ke kota🤔
Zeni Supriyadi
Galang kamu nuduh istrimu selingkuh tanpa cari tau kebenarannya, ehh malah kamu sdh ehem2 sm ipar kamu sesat. tp tenang saja Bang Rama siap jadi pelindung Gendis🤭 atau Bang Rama akan dijodohkan dgn Viola sm Authornya🤔
Zeni Supriyadi: oh iya ya lupa kak Re/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Rere 💫: Rama sam Viola kan saudara satu Ayah kak, lupa ya 🤣
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!